ETNIS TIONGHOA ADALAH BAGIAN INTEGRAL BANGSA INDONESIA
(Disampaikan pada Diskusi Akbar yang diselenggarakan Perhimpunan INTI Jakarta pada tanggal 27 April 2002, bertempat di Hotel Mercure Rekso, Jakarta.)
Oleh : Benny G.Setiono
Peran politik etnis Tionghoa di Indonesia.
Ketika pada tahun 1293 kaisar Kubilai Khan dari dinasti Yuan (1280-1367) memerintahkan pasukannya untuk menyerbu pulau Jawa dan memberi pelajaran kepada raja Kartanegara dari kerajaan Singosari yang dianggap membangkang, ternyata di sepanjang pesisir utara pulau Jawa telah ditemukan koloni-koloni pemukiman etnis Tionghoa. Orang-orang Tionghoa ini yang berasal dari propinsi Hokkian di daratan Tiongkok, pada umumnya adalah para pedagang perantara, petani dan tukang-tukang kerajinan yang hidup dengan damai bersama penduduk setempat. Kemudian sebagian prajurit pasukan Kubilai Khan yang terdiri dari orang-orang Tionghoa yang direkrut dari propinsi Hokkian tidak mau kembali ke daratan Tiongkok. Mereka takut menghadapi ancaman hukuman, karena pasukannya tertipu masuk perangkap Raden Wijaya dan berhasil dihancurkan. Sebelumnya Raden Wijaya dengan bantuan pasukan Kubilai Khan berhasil mengalahkan pasukan Singosari dan setelah itu ia mendirikan kerajaan Majapahit. Selain itu banyak anggota pasukan Kubilai Khan yang takut menghadapi pelayaran kembali ke daratan Tiongkok yang penuh bahaya alam dan perompak. Akhirnya mereka memilih untuk menetap di pesisir utara pulau Jawa dan menikah dengan perempuan-perempuan setempat. Merekalah yang mengajarkan cara-cara membuat bata, genting, gerabah dan membangun galangan kapal perang serta teknologi mesiu dan meriam-meriam berukuran besar dan panjang.
Pada abad ke-15 di masa dinasti Ming (1368-1643), orang-orang Tionghoa dari Yunnan mulai berdatangan untuk menyebarkan agama Islam, terutama di pulau Jawa. Tak dapat disangkal bahwa Laksamana Cheng Ho alias Sam Po Kong pada tahun 1410 dan tahun 1416 dengan armada yang dipimpinnya mendarat di pantai Simongan, Semarang. Selain menjadi utusan Kaisar Yung Lo untuk mengunjungi Raja Majapahit, ia juga bertujuan menyebarkan agama Islam. Selain Laksamana Cheng Ho, sebagian besar dari wali songo yang berjasa menyebarkan agama Islam di pesisir pulau Jawa dan mendirikan kerajaan Islam pertama di Demak berasal dari etnis Tionghoa. Para wali tersebut antara lain Sunan Bonang (Bong Ang), Sunan Kalijaga (Gan Si Cang), Sunan Ngampel (Bong Swi Hoo), Sunan Gunung Jati (Toh A Bo) dllnya konon berasal dari Champa (Kamboja/Vietnam), Manila dan Tiongkok. Demikian juga Raden Patah alias Jin Bun (Cek Ko Po), sultan pertama kerajaan Islam Demak, adalah putera Kung Ta Bu Mi (Kertabumi), raja Majapahit (Brawijaya V) yang menikah dengan puteri Cina, anak pedagang Tionghoa bernama Ban Hong (Babah Bantong).
Ketika pada tanggal 23 Juni 1596 armada Belanda di bawah pimpinan Cornelis Houtman berhasil mendarat di pelabuhan Banten, ia tercengang karena menjumpai koloni Tionghoa yang mempunyai hubungan yang harmonis dengan penduduk dan penguasa setempat. Selain di Banten, orang-orang Belanda dan kemudian orang-orang Inggris juga menjumpai koloni-koloni Tionghoa di kebanyakan bandar-bandar Asia Tenggara seperti di Hoi An, Patani, Phnom Penh dan Manila. Pada tahun 1642 di Hoi An terdapat empat-lima ribu orang Tionghoa dan di Banten pada tahun 1600 terdapat tiga ribu orang Tionghoa.
Pada tahun 1611 Jan Pieterszoon Coen diutus Gubernur Jenderal VOC Pieter Both untuk membeli hasil bumi, terutama lada di Banten, ternyata ia harus berurusan dengan seorang pedagang Tionghoa kepercayaan Sultan yang bernama Souw Beng Kong (Bencon). Souw Beng Kong adalah seorang pedagang Tionghoa yang sangat berpengaruh dan mempunyai perkebunan lada yang luas sekali. Ia sangat dihormati dan dipercaya penuh oleh Sultan dan para petani Banten. Setiap pedagang asing seperti Portugis, Inggris dan Belanda yang ingin membeli hasil bumi dari petani Banten harus melakukan negosiasi harga dan lain-lainnya dengan Souw Beng Kong. Kemudian Souw Beng Kong coba dipengaruhi Jan Piterszoon Coen, tetapi tidak berhasil karena ia merasa Coen terlampau menekannya. Sebaliknya sultan Banten merasa puas dengan keberadaan Souw Beng Kong dan orang-orang Tionghoa lainnya, karena orang-orang Tionghoa inilah yang banyak mengajarkan teknologi baru, terutama di bidang pertanian.Mereka mengajarkan cara menanam padi di sawah yang berpetak-petak dengan mempergunakan pematang dan membajak serta mengairinya, karena sebelumnya mereka hanya menanam padi di ladang yang sudah tentu hasilnya kurang memuaskan. Namun ketika Coen pada tahun 1619 berhasil merebut Jayakarta dan berniat membangunnya menjadi Batavia, sebuah bandar yang ramai untuk menyaingi Banten, ia berhasil membujuk Souw Beng Kong untuk membawa orang-orang Tionghoa hijrah ke Batavia. Ia kemudian diberi gelar kapitein (titulair) Tionghoa pertama agar dapat memimpin dan mengarahkan orang-orang Tionghoa di Batavia serta memindahkan pendaratan jung-jung yang membawa barang dagangan dari Tiongkok ke Batavia. Berkat bantuan Souw Beng Kong dan orang-orang Tionghoa lah, Batavia berhasil dibangun menjadi Bandar yang ramai dan menjadi pusat perdagangan yang penting di Asia Tenggara. Perlu dicatat juga jasa Phoa Beng Gan (Binggam) yang atas gagasan dan prakarsanya serta dukungan dana masyarakat Tionghoa
Batavia, berhasil dibangun kanal yang membelah daerah Molenvliet (sekarang Jl.Gajah Mada dan Hayam Wuruk). Pembangunan kanal tersebut kemudian dilanjutkan untuk disambungkan dengan kali Ciliwung dengan membelah daerah tersebut menjadi Noordwijk (Jl.Djuanda) dan Rijswijk (Jl.Veteran), untuk menghindari banjir yang selalu menimpa kota Batavia.
Pada masa itu pulalah orang-orang Tionghoa yang berdiam di luar tembok kota Batavia mulai mengembangkan perkebunan tebu dan industri gula. Penggilingan tebu dilakukan dengan cara sangat sederhana yaitu dengan menaruh dua tabung kayu yang diputar oleh seekor sapi dengan perantaraan sebuah sistim roda gigi serta sebuah poros sepanjang 4.5 meter. Kedua tabung tersebut tegak lurus, kemudian batang tebu dimasukkan ke dalamnya dan diperas dua kali untuk mendapatkan sebanyak mungkin sarinya. Sari tebu tersebut kemudian dipanaskan untuk dijadikan gula. Karena kekurangan bahan bakar untuk tungku, maka sejak tahun 1815 industri gula tersebut dipindahkan ke Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Pada tahun 1740 di Batavia terjadi pembunuhan massal orang-orang Tionghoa yang dilakukan tentara VOC di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier. Lebih dari 10.000 orang Tionghoa menjadi korban pembantaian yang di luar peri kemanusiaan. Sebagai kelanjutan dari peristiwa tersebut, terjadi pemberontakan orang-orang Tionghoa yang bersekutu dengan orang-orang Jawa melawan pasukan VOC di Jawa Tengah (1740-1743). Kalau saja tidak terjadi pengkhianatan Sunan Paku Buwono II dari Mataram dan bantuan Pangeran Adipati Cakraningrat IV dari Madura, pasukan VOC yang sudah terdesak dan terkurung di kota Semarang berhasil diusir dari Jawa Tengah dan besar kemungkinan dari seluruh pulau Jawa.
Pada akhir November 1810 terjadi pemberontakan Raden Rongga, menantu Sultan Hamengku Buwono II yang mempunyai hubungan yang erat dengan kelompok-kelompok masyarakat Tionghoa di Jawa Timur. Ia menyatakan dirinya sebagai "pelindung" semua orang Jawa dan orang-orang Tionghoa yang telah diperlakukan semena-mena oleh pemerintah Hindia Belanda (ingkang kasiya-kasiya ing Gupernemen). Ia kemudian mendesak agar orang-orang Tionghoa bekerja sama mengakhiri (anyirnakna) semua pegawai Belanda yang telah merugikan kesejahteraan dan kemakmuran di Jawa. Oleh karena itu ia menyerukan agar orang-orang Tionghoa di pesisir utara menguasai kantor-kantor serta pos-pos Belanda yang telah diusir untuk menjaga dan mempertahankannya dari serangan balasan. Dalam pemberontakan itu ia mendapatkan bantuan dari orang-orang Tionghoa, terbukti ketika pasukan Raden Rongga terkepung dan dihancurkan di Sekaran yang terletak di tepi bengawan Solo, terdapat dua belas orang Tionghoa di antara seratus orang anggota pasukan yang tetap setia kepadanya.
Untuk membalas jasanya membantu Pangeran Suroyo (Sultan Hamengku Buwono III) merebut kembali tahtanya, seorang pengusaha dan kapitein Tionghoa, Tan Djin Sing pada tanggal 18 September 1813 dilantik menjadi bupati Yogyakarta dan diberi gelar Raden Tumenggung Secodiningrat. Ia juga mendapat piagam yang berisi pemberian tanah seluas 800 cacah yang meliputi 14 desa di daerah Bagelen dan Yogyakarta, termasuk Mrisi yang terletak di selatan Yogyakarta. Jumlah penduduk di 14 desa tersebut kurang lebih seribu orang. Ketika berlangsung Perang Jawa (1825-1830) ia aktif membantu Pangeran Diponegoro dengan melatih silat para pemimpin pasukannya. Ia juga membantu Pangeran Diponegoro dengan dananya untuk membantu pangeran tersebut melakukan perang gerilya melawan pasukan Belanda. Malahan kuda kesayangannya turut diberikan untuk menjadi tunggangan sang pangeran.
Pada masa itu banyak orang-orang peranakan Tionghoa yang membantu pasukan Pangeran Diponegoro, ikut berjuang bersama-sama terutama dalam menyediakan kebutuhan mereka akan uang perak,senjata, candu dan lain-lainnya. Malahan banyak orang-orang peranakan Tionghoa yang ikut bertempur, bahu-membahu melawan Belanda, seperti ketika terjadi pertempuran yang dilancarkan Raden Tumenggung Sasradilaga, ipar Pangeran Diponegoro di daerah Lasem, pantai utara Jawa Tengah tahun 1827-1828. Orang-orang Tionghoa setempat yang kebanyakan telah memeluk agama Islam dan telah lama bermukim di Jawa, secara aktif bergabung dan membantu pasukan Sasradilaga. Pasukan Sasradilaga yang dibantu orang-orang Tionghoa muslim ini bertempur dengan sengit di daerah pesisir utara pulau Jawa, sekitar Rembang, Lasem dan Bojonegoro. Akibatnya ketika pasukan Sasradilaga berhasil dikalahkan, mereka menjadi korban pembalasan dendam pasukan Belanda yang membantai mereka secara kejam dan tanpa mengenal belas kasihan.
Sementara itu pada tahun 1772 di Borneo (Kalimantan) Barat, Lo Fong-phak bersama seratus orang anggota keluarganya mendirikan "Kongsi Lanfong". Orang-orang Tionghoa yang berasal dari suku Hakka, Mei Hsien, Kwangtung mulai berdatangan ke Borneo Barat sejak tahun 1760-an karena tertarik akan tambang-tambang emas. Ternyata oleh Sultan Sambas mereka kebanyakan dipekerjakan sebagai pekerja-pekerja tambang emas yang diperlakukan secara kejam yang kemudian menimbulkan pemberontakan. Setelah pemberontakan itu Sultan memperlakukan mereka dengan lebih baik, namun karena takut akhirnya ia memberikan sebagian dari tambang-tambang emas tersebut kepada orang-orang Tionghoa dengan keharusan membayar upeti (konsesi). Kongsi Tionghoa yang didirikan di Borneo Barat adalah sebuah komunitas demokratis yang dibangun dengan tujuan memperoleh keuntungan dengan mengeskploitasi tambang emas dan intan. Komunitas tersebut yang dibentuk berdasarkan tempat asal mereka di di daratan Tiongkok, dikelola sebagaimana layaknya sebuah negara lengkap dengan sebuah dewan pemerintahan, pengadilan, penjara dan pasukan bersenjata, sehingga sering dikatakan bahwa kongsi Lanfong adalah sebuah "Republik"
Pada tahun 1816 Belanda memperoleh kembali seluruh tanah jajahannya di Hindia Timur dari Inggris dan segera berusaha kembali menguasai Borneo. Pemerintah Hindia Belanda sangat tertarik dengan pertambangan emas yang dikelola orang Tionghoa. Dengan bantuan Sultan Sambas yang telah di bayar $ 50.000.- Belanda mengirim pasukannya untuk mengambil alih tambang-tambang orang Tionghoa. Tetapi penyerbuan ke tempat pemukiman orang Tionghoa tersebut pada awalnya dapat digagalkan karena mendapatkan perlawanan bersenjata orang-orang Tionghoa dan taktik lainnya, antara lain dengan meracuni sumur-sumur dan sungai-sungai sehingga prajurit Belanda banyak yang meninggal dunia dan mengalami kesulitan air minum. Pasukan Tionghoa juga berhasil memotong jalur supply pasukan Belanda yang akhirnya memaksa mereka meninggalkan daerah tersebut. Karena pasukan Belanda harus menghadapi Perang Jawa, sejak tahun 1826 untuk jangka waktu yang cukup lama pertempuran tersebut berhenti. Namun pada tahun 1854 Belanda yang telah menguasai lautan berhasil mengalahkan pasukan Tionghoa dan kongsi-kongsi dibubarkan.
Demikianlah sekilas catatan sejarah yang menunjukkan betapa dekatnya etnis Tionghoa pada masa itu dengan penduduk setempat. Orang-orang Tionghoa yang datang bermukim di Nusantara jauh dari keinginan untuk menjajah dan menguasai daerah yang ditempatinya.
Malahan armada Laksamana Cheng Ho yang demikian besar dan kuat persenjataannya, jauh melebihi armada negara-negara Eropa manapun pada masa itu, ternyata hanya bermaksud mengadakan kunjungan persahabatan, perdagangan, menarik upeti dari daerah-daerah protektoratnya dan menyebarkan agama Islam. Orang-orang Tionghoa hidup dengan damai dan membaur dengan penduduk setempat. Karena mereka tidak membawa istri, mereka menikah dengan perempuan-perempuan setempat yang keturunannya disebut peranakan Tionghoa (babah). Memang mereka membawa kebudayaan, tradisi dan teknologi yang kemudian berakulturasi dan menghasilkan kebudayaan sendiri yang disebut kebudayaan peranakan atau babah. Mereka juga bercakap-cakap dengan menggunakan bahasa atau dialek setempat.
Di samping itu orang-orang Tionghoa telah berjasa menemukan teknik baru pengolahan padi, antara lain pada tahun 1750 memperkenalkan alat penyosoh padi yang dengan menggunakan dua-tiga ekor sapi dapat mengolah sampai 500 ton padi per hari, menggantikan sistim tumbuk tradisional memakai lesung yang hanya menghasilkan 100 ton per hari. Selain itu orang-orang Tionghoa juga memperkenalkan pompa berpedal, pemeras kelapa dan bajak serta teknik pembuatan garam. Berkat orang-orang Tionghoa lah orang-orang di Nusantara mengenal
jarum jahit, bahkan pakaian yang dijahit pun berasal mula dari Tiongkok. Mereka juga mengembangkan budi daya tanaman kacang tanah, kacang hijau, kacang kedelai, semangka dan nila atau tarum yang dijadikan bahan pewarna. Sejak tahun 1611 mereka mengembangkan penyulingan arak yang dibuat dari beras yang difermentasi, tetes tebu dan nira. Dari kacang hijau dan kedelai mereka menghasilkan taoge, tahu, tauco dan kecap.
Melihat kenyataan ini pemerintah Hindia Belanda kemudian mulai melakukan politik pecah belah atau segregasi dengan memaksa orang-orang Tionghoa bermukim di tempat-tempat tertentu (wijkenstelsel) untuk memisahkan orang-orang Tionghoa dari penduduk setempat. Untuk keluar dari permukiman tersebut orang-orang Tionghoa harus dibekali surat ijin tertentu (passenstelsel). Bagi yang melanggar akan diadili oleh politie roll, sebuah pengadilan tanpa hak membela diri. Orang-orang Tionghoa juga dilarang memakai pakaian orang-orang bumiputera atau pakaian barat sehingga mudah dikenali. Puncak politik segregasi Belanda adalah dengan membagi-bagi kedudukan hukum penduduk Hindia Belanda menjadi tiga kelompok, yaitu yang pertama kelompok orang Eropa termasuk di dalamnya orang Indo Eropa, Yang kedua kelompok Vreemde Oosterlingen atau Orang Timur Asing yang terdiri dari orang Tionghoa, Arab dan orang Asia lainnya. Yang ketiga adalah kelompok Inlander atau bumiputera. Ordonansi yang dikeluarkan pada tahun 1854 tersebut membuat ketiga kelompok itu tunduk kepada sejumlah buku undang-undang yang berbeda-beda. Tetapi khusus untuk perdagangan sejak awal VOC, bagi orang Tionghoa diberlakukan Hukum Dagang Belanda, sepanjang hukum itu masih dapat diterapkan. Namun untuk masalah kriminal, status orang Tionghoa disamakan dengan golongan inlander dan perkaranya diadili di landraad atau politie roll.
Pada tanggal 17 Maret 1900, di Batavia berdiri Tiong Hoa Hwe Koan di bawah pimpinan Phoa Keng Hek, sebuah organisasi peranakan Tionghoa yang bertujuan untuk memajukan kembali budaya Tionghoa dan agama Khonghucu serta mendidik orang-orang Tionghoa agar menghentikan kebiasaan buruk berjudi dan menghambur-hamburkan uang dalam melakukan upacara kematian. Setahun kemudian tepatnya pada tahun 1901, THHK membuka sekolah di Jl.Patekoan N0.19 (Jl.Perniagaan) bagi anak-anak Tionghoa, karena selama ini pemerintah Hindia Belanda tidak pernah menaruh perhatian kepada pendidikan anak-anak Tionghoa. Ternyata berdirinya sekolah THHK ini yang sudah tentu berorientasi ke daratan Tiongkok, mendapatkan sambutan luas dan dalam waktu singkat diikuti oleh kota-kota lainnya. Melihat perkembangan ini pemerintah Hindia Belanda merasa kuatir,lalu membuka sekolah-sekolah khusus untuk anak-anak Tionghoa dengan bahasa pengantar bahasa Belanda (HCS). Dengan dibukanya HCS dan sekolah-sekolah berbahasa Belanda lainnya (Mulo, HBS, Kweekschool dll.) pemerintah Hindia Belanda berhasil memecah-belah orang-orang peranakan Tionghoa menjadi yang berpandangan politik pro Tiongkok (kelompok Sin Po) dan yang pro Belanda (kelompok Chung Hwa Hui).
Berdirinya THHK yang menumbuhkan semangat nasionalisme Tiongkok di kalangan peranakan Tionghoa, ternyata juga berpengaruh kepada kalangan bumiputera. Suksesnya THHK sebagai organisasi modern pertama di Hindia Belanda telah mendorong lahirnya Boedi Oetomo, Sarekat Dagang Islam (kemudian menjadi Sarekat Islam), Moehammadijah dan organisasi-organisasi lainnya.
Melihat keadaan yang semakin tidak menguntungkan, kembali pemerintah kolonial Hindia Belanda melakukan politik segregasi, bukan saja untuk memisahkan orang-orang peranakan Tionghoa dengan orang-orang bumiputera, tetapi juga dengan golongan totok. Pada tahun 1910 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan Wet op het Nederlandsch Onderdaanschap (WNO) yang menyatakan orang-orang Tionghoa yang lahir di Hindia Belanda adalah kawula Belanda, tetapi bukan warga Negara Belanda.
Sejak akhir abad ke-19 orang-orang peranakan Tionghoa juga telah aktif mendirikan percetakan-percetakan dan menerbitkan buku-buku ceritera dalam bahasa Melayu Tionghoa atau Melayu pasar (Betawi). Demikian juga mereka menerbitkan koran-koran yang tumbuh dengan subur. Masa inilah yang disebut masa tumbuhnya kesastraan Melayu-Tionghoa dan pers Melayu-Tionghoa. Sastra Melayu Tionghoa telah mulai berkembang jauh sebelum didirikannya Balai Pustaka pada tahun 1918 untuk menampung hasil karya sastrawan-sastrawan pujangga lama.
Harian-harian atau mingguan Melayu Tionghoa berkembang dengan pesat dan tumbuh menjadi media yang ampuh dan kuat seperti mingguan/harian Sin Po dan Keng Po yang bertahan sampai beberapa dekade lamanya.
Pada tanggal 28 Oktober 1928, ditengah-tengah acara Sumpah Pemuda untuk menyatakan kebulatan tekad para pemuda menjadi satu bangsa, satu bahasa dan satu tanah air Indonesia, untuk pertama kalinya dikumandangkan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Ternyata acara sumpah pemuda tersebut diikuti juga oleh beberapa orang pemuda etnis Tionghoa. Hal ini membuktikan bahwa sejak awal tumbuhnya gerakan kebangsaan dan kemerdekaan, sekelompok etnis Tionghoa telah turut berpartisipasi dan peduli akan hari depan bangsa Indonesia.
Untuk membalas jasa koran-koran Melayu Tionghoa yang banyak memuat tulisan-tulisan para pemimpin pergerakan dan untuk menghormati serta menarik simpati kalangan etnis Tionghoa, pada tahun 1928 para pemimpin pergerakan tersebut bersepakat bahwa mulai saat itu, mereka hanya akan menggunakan sebutan Tionghoa sebagai pengganti pejoratif Cina yang mengacu kepada "Cina kunciran".
Pada tahun 1932 ditengah-tengah terpecahnya pandangan politik etnis Tionghoa yang pro gerakan nasionalis Tiongkok dan yang pro Hindia Belanda, di Surabaya berdiri Partai Tionghoa Indonesia (PTI) di bawah pimpinan Liem Koen Hian yang mempunyai visi dan misi memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda. Hal ini kembali membuktikan bahwa di kalangan etnis Tionghoa juga telah tumbuh kesadaran politik dan rasa nasionalisme yang tinggi, untuk bersama-sama komponen bangsa lainnya berjuang membebaskan diri dari pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Pada awal masa pendudukan Jepang di mana para pemimpin Indonesia, Soekarno dan Hatta berkoloborasi dengan penguasa Jepang, sekelompok etnis Tionghoa aktif melakukan gerakan bawah tanah untuk melakukan sabotase. Organisasi bawah tanah tersebut di antaranya adalah Organisasi Rahasia Chungking atau nama lengkapnya Chung Yang Hai Wei Ting Chin yang bermarkas di kota Malang di bawah pimpinan Yap Bo Chin. Anggota organisasi ini yang tersebar di seluruh pulau Jawa dan Madura berjumlah 8000 orang, termasuk 400 orang Indonesia. Organisasi rahasia ini juga mempunyai dua pemancar radio yang digunakan untuk berhubungan dengan pemerintah Tiongkok di Chungking. Banyak aksi sabotase yang berhasil dilakukan organisasi ini, antara lain pembongkaran rel kereta api dan pemutusan jaringan telpon di lapangan terbang serta informasi-informasi lainnya yang berhasil disampaikan kepada pemerintah Tiongkok di Chungking. Organisasi ini akhirnya berhasil dibongkar pihak intelijen Jepang dan kedua pemancar radionya berhasil disita, tetapi pemimpinnya Yap Bo Chin berhasil meloloskan diri.
Di samping organisasi Chungking yang banyak menggunakan tenaga-tenaga orang-orang Tionghoa totok, masih banyak lagi gerakan-gerakan bawah tanah yang dilakukan orang-orang peranakan Tionghoa untuk menentang Jepang, terutama yang dilakukan bersama orang-orang Belanda pada awal masa pendudukan Jepang. Di Surabaya ada gerakan bawah tanah yang dilakukan kelompok Dr.Colijn dan Oei Tjong Ie. Di Malang ada kelompok Tjoa Boen Tek yang bekerja sama dengan organisasi Chungking. Di Bogor dan Jakarta ada organisasi " Piet van Dam" yang terdiri dari Wernick-Tjoa Tek Swat-Lie Beng Giok. Tugas organisasi ini adalah mengumpulkan segala informasi penting seperti gerakan tentara Jepang, penjagaan, transportasi, pemindahan orang-orang interniran, gerakan kapal dllnya untuk disampaikan melalui pemancar radio mereka ke markas sekutu di Australia. Di samping itu mereka juga bertugas untuk menyediakan dan mengantar senjata, suku cadang radio, pemancar dan surat-surat keterangan. Di Jakarta organisasi ini bermarkas di toko Beng, di jalan Pecenongan dan di Bogor di toko Peng.
Karena kurang berpengalaman, pada akhir Desember 1942, organisasi ini berhasil digulung Kenpeitai Jepang. Wernick, Lie Beng Giok dan Tjoa Tek Swat ditangkap dan mengalami siksaan yang luar biasa dari Kenpeitai Jepang. Tjoa Tek Swat kemudian dihukum penggal kepala diAncol.
Pada tahun 1945, empat orang etnis Tionghoa turut serta merancang UUD RI dan menjadi anggota Dokuritu Zunbi Tyoosa Kai atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan seorang menjadi anggota Dokuritu Zunbi Inkai atau Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Pada masa perjuangan bersenjata untuk mempertahankan kemedekaan, tidak boleh dilupakan peranan etnis Tionghoa, antara lain dalam membantu supplai bahan-bahan makanan dan menyelundupkan senjata dari Singapore untuk keperluan para gerilyawan.
Dalam pertempuran Surabaya melawan pasukan Inggris pada bulan November 1945, tidak sedikit peranan pemuda-pemuda Tionghoa. Wartawan "Merah Putih" yang terbit di Jakarta menyatakan di Surakarta mengenai kunjungannya ke medan pertempuran Surabaya antara lain, seorang pemimpin Tionghoa telah berpidato di depan corong Radio Surabaya tentang kekejaman yang dilakukan tentara Inggris terhadap rakyat Surabaya. Pidato tersebut ditujukan kepada pemerintah Tiongkok di Chungking, dan sebagai jawabannya Radio Chungking menyerukan kepada para pemuda Tionghoa agar bahu membahu bersama rakyat Indonesia melawan keganasan tentara Inggris. Seruan ini akibat pemboman pasukan Inggris yang mengakibatkan lebih dari seribu orang Tionghoa menderita luka-luka dan meninggal dunia. Menyambut seruan tersebut pemuda-pemuda Tionghoa mengorganisasikan diri ke dalam pasukan bela diri di bawah bendera Tiongkok. Mereka merebut senjata dan berangkat ke front pertempuran untuk melawan pasukan Inggris.
Berkenaan dengan pertempuran Surabaya, pada tanggal 12 November 1945, Bung Karno mengucapkan pidato antara lain :
"Ratusan orang Tionghoa dan Arab yang tidak bersalah dan suka damai, yang datang di negeri ini untuk berdagang, terbunuh dan luka-luka berat. Kurban di pihak Indonesia lebih banyak lagi. Saya protes keras terhadap pemakaian senjata modern, yang ditujukan kepada penduduk kota yang tidak sanggup mempertahankan diri untuk melawan".
Demikian juga perlu dicatat peranan etnis Tionghoa dalam perjuangan politik untuk mempertahankan kemerdekaan. Pada kabinet Sjahrir ke-2, Mr.Tan Po Gwan diangkat menjadi Menteri Negara Urusan Tionghoa. Ketika Amir Sjarifoeddin membentuk kabinetnya, Siauw Giok Tjhan diangkat menjadi Menteri Negara yang mewakili etnis Tionghoa dan Dr.Ong Eng Die dari PNI sebagai Wakil Menteri Keuangan. Dalam perundingan di kapal USS- Renville di Teluk Jakarta, Dr.Tjoa Siek In ditunjuk menjadi anggota delegasi, demikian juga dalam Konperensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Dr.Sim Kie Ay diikut sertakan oleh Drs.Moh.Hatta sebagai anggota dan penasihat delegasi RI.
Sebagai hasil KMB dibentuk pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS) dan pada tanggal 15 Pebruari 1950 dibentuk parlemen. Enam orang di antara anggota parlemen RIS adalah peranakan Tionghoa. Dua orang mewakili pemerintah Republik yaitu Siauw Giok Tjhan dan Drs.Yap Tjwan Bing, seorang mewakili Negara Indonesia Timur yaitu Mr.Tan Tjin Leng, dua orang mewakili Negara Jawa Timur yaitu Ir.Tan Boen Aan dan Mr.Tjoa Sie Hwie dan Tjoeng Lin Sen mewakili Negara Kalimantan Barat.
Di masa Demokrasi Parlementer (1950-1959), delapan orang etnis Tionghoa menjadi anggota DPRS yaitu : Siauw Giok Tjhan, Tan Boen Aan, Tan Po Gwan, Teng Tjin Leng, Tjoa Sie Hwie, Tjoeng Lin Sen (pada bulan Agustus 1954 diganti Tio Kang Soen), Tjung Tin Jan dan Yap Tjwan Bing (pada bulan Agustus 1954 diganti Tony Wen alias Boen Kim To).`
Di dalam kabinet Ali Satroamidjojo I Dr.Ong Eng Die ditunjuk menjadi Menteri Keuangan dan Lie Kiat Teng menjadi Menteri Kesehatan. Dalam DPR hasil Pemilihan Umum tahun 1955 terpilih beberapa orang etnis Tionghoa yaitu Oei Tjeng Hien (Masjumi), Tan Oen Hong dan Tan Kim Liong (NU), Tjung Tin Jan (Partai Katholik), Lie Po Joe (PNI), Tjoo Tik Tjoen (PKI) dan Ang Tjiang Liat (Baperki). Sedangkan di Konstituante terpilih sebagai anggota antara lain Siauw Giok Tjhan, Oei Tjoe Tat, Yap Thiam Hien, Go Gien Tjwan, Liem Koen Seng, Oei Poo Djiang-kesemuanya dari Baperki, Tony Wen dari PNI, Oei Hay Djoen dan Tan Ling Djie dari PKI.
Di masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Siauw Giok Tjhan ditunjuk menjadi anggota DPR-GR mewakili golongan fungsional. Kemudian dalam Kabinet Kerja ke-IV, Kabinet Dwikora dan Kabinet Dwikora yang disempurnakan, Oei Tjoe Tat diangkat menjadi Menteri Negara diperbantukan kepada Presiden RI dan David Gee Cheng diangkat menjadi Menteri Ciptakarya & Konstruksi dalam Kabinet Dwikora yang disempurnakan.
Setelah berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1950 dan berdirinya Republik Rakyat Tiongkok pada tahun 1949, etnis Tionghoa di Indonesia terpecah menjadi yang memilih warga Negara Indonesia dan yang memilih warga Negara RRT. Yang memilih warga negara Indonesia kebanyakan golongan peranakan, dan yang memilih warga negara RRT golongan totok. Namun di kalangan totok juga terjadi perpecahan antara yang pro Kungchangtang/ RRT dan yang pro Kuomintang/Taiwan. Yang pro Taiwan kebanyakan memilih menjadi stateless. Perpecahan ini juga tercermin dari media massa masing-masing pihak yaitu harian Sin Po edisi bahasa Tionghoa dan "Shen Hua Pao" yang sejak awal penerbitannya pada awal penyerahan kedaulatan selalu mengambil sikap pro RI. Sedangkan yang pro Taiwan adalah harian "Thian Sheng Yit Pao" yang telah terbit sejak jaman Belanda dan diasuh oleh tokoh-tokoh Kuomintang di Indonesia. Karena Taiwan terilbat dalam pemberontakan PRRI/Permesta, Kuomintang dilarang di Indonesia dan sekolah-sekolahnya ditutup.
Di masa Demokrasi Parlementer (1950-1959) dan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) perlu dicatat peranan Baperki (berdiri tahun 1954) sebagai ormas terbesar yang mewakili etnis Tionghoa dalam memperjuangkan hak-hak dan kepentingan etnis Tionghoa, dan melawan setiap bentuk diskriminasi. Baperki secara aktif membantu orang-orang Tionghoa yang ingin memilih warga negara Indonesia. Demikian juga Baperki mendirikan sekolah-sekolah dan universitas untuk menampung anak-anak Tionghoa yang membutuhkan pendidikan terutama anak-anak Tionghoa warga negara Indonesia yang harus meninggalkan sekolah-sekolah berbahasa pengantar Tionghoa sesuai peraturan yang berlaku.
Dalam menyelesaikan "masalah minoritas Tionghoa", Baperki di bawah pimpinan Siauw Giok Tjhan, Go Gien Tjwan, Oei Tjoe Tat dllnya mengembangkan doktrin nation building dan integrasi, yaitu sebuah doktrin yang ingin membangun sebuah nation atau bangsa yang bersih dari diskriminasi rasial serta adanya kesamaan hak dan kewajiban warga negaranya tanpa mempermasalahkan asal-usulnya dan mengintegrasikan etnis Tionghoa secara utuh ke dalam haribaan bangsa Indonesia. Doktrin integrasi meyakini kebenaran konsep kemajemukan atau pluralisme bangsa Indonesia seperti yang dinyatakan para founding fathers bangsa Indonesia dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Adalah suatu kenyataan bahwa bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku,etnis, ras dan agama dengan budayanya masing-masing. Selanjutnya ia berpendapat nation yang bersih dari diskriminasi rasial hanya dapat terwujud di dalam masyarakat sosialis yang bersih dari penghisapan manusia atas manusia atau golongan mayoritas terhadap golongan minoritas dan sebaliknya.
Dalam perkembangannya, di era perang dingin Baperki ternyata harus menghadapi situasi tarik-menarik antara kekuatan-kekuatan politik kiri dan kanan. Untuk mengatasinya Baperki dengan doktrin integrasinya tidak mempunyai pilihan lain, selain berdiri di belakang Presiden Soekarno yang sedang dengan gencar melaksanakan konsep Manipol/Usdek dan persatuan Nasakom. Karena mendukung politik Presiden Soekarno, dengan otomatis Baperki berada dalam satu barisan bersama seluruh "kekuatan revolusi" pada masa itu, seperti PNI, PKI, Partindo, Perti, Partai Katholik, NU, PSII dsbnya dalam perjuangan mewujudkan masyarakat sosialis Indonesia yang bersih dari penghisapan manusia atas manusia. Situasi ini menyebabkan Baperki lebih dekat dengan PKI, Partindo, PNI dan kekuatan-kekuatan pendukung Bung Karno lainnya.
Terutama dengan PKI yang selalu mendukung Baperki dalam perjuangannya menentang diskriminasi rasial, baik di DPR maupun di forum-forum lainnya dan di media massa Harian Rakyat, atau di lapangan seperti apa yang dilakukan PKI dalam menentang Peristiwa Rasialis 10 Mei 1963 di Bandung dan kota-kota lainnya di Jawa Barat. Hal ini menyebabkan banyaknya etnis Tionghoa, khususnya anggota dan simpatisan Baperki yang bersimpati kepada PKI, Partindo dan ormas-ormasnya, kemudian ikut bergabung di dalamnya. Namun ketika terjadi Peristiwa G30S seperti banyak organisasi-organisasi dan partai-partai politik lainnya, Baperki menjadi korban keganasan rejim militer Jenderal Soeharto.
Sementara itu sekelompok peranakan Tionghoa yang kebanyakan berpendidikan Belanda eks Chung Hwa Hui yang tidak setuju dengan doktrin integrasi, mengembangkan doktrin asimilasi total. Untuk itu pada tanggal 24 Maret 1960 di Jakarta dikeluarkan "Statement Asimilasi" yang dengan tegas berpendirian bahwa masalah minoritet hanya dapat diselesaikan dengan jalan asimilasi dalam segala lapangan secara aktip dam bebas. Para penanda tangan statement tersebut adalah sepuluh orang tokoh peranakan Tionghoa yang beberapa orang di antaranya malah ikut mendirikan Baperki, namun telah meninggalkannya pada tahun 1955. Di antara penanda tangan tersebut antara lain Mr.Tjung Tin Jan, Injo Beng Goat, Drs.Lo Siang Hien, Ong Hok Ham, Drs.Lauwchuantho (H.Junus Jahya) dan Mr.Auwjong Peng Koen (P.K.Ojong). Kemudian pada tanggal 13-15 Januari 1961, di Bandungan (Ambarawa) diselenggarakan Seminar Kesadaran Nasional yang menghasilkan "Piagam Asimilasi". Di antara 30 penanda tangan piagam tersebut adalah Ong Hok Ham, Lauwchuantho dan Kwik Hway Gwan (ayah Drs.Kwik Kian Gie).
Untuk melaksanakan doktrin asimilasi total dan menandingi serta menghambat pengaruh Baperki, maka oleh para pendukungnya pada tahun 1963 dibentuk sebuah organisasi bernama Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa (LPKB) dengan ketuanya Ong Tjong Hai SH. alias Kristoforus Sindhunatha, seorang Letnan Angkatan Laut dan mendapatkan dukungan penuh dari pimpinan Angkatan Darat dan tokoh-tokoh politik seperti Letkol Harsono, Mayor Ismail Hambali, Prof.Sunario SH., Drs. Radius Prawiro, Drs.Frans Seda, Roeslan Abdulgani, Harry Tjan, Djoko Sukarjo dllnya. Salah satu program LPKB adalah pelaksanaan asimilasi di segala bidang kehidupan secara serentak dengan titik berat pada asimilasi sosial. Asimilasi setidak-tidaknya dilaksanakan dalam lima bidang kehidupan sebagai berikut : asimilasi politik, asimilasi kulturil, asimilasi ekonomi, asimilasi sosial/campur gaul dan asimilasi kekeluargaan (pernikahan). Kelima-limanya harus dilaksanakan dengan serentak (sinkron) dengan mempertimbangkan timing dan irama yang sebaik-baiknya. Setelah meletusnya Peristiwa G30S, LPKB memainkan peranan penting dalam mengeliminasi budaya, tradisi, agama dan bahasa Tionghoa seperti yang dituangkan dalam berbagai kebijaksanaan dan peraturan rejim Orde Baru.
Selama tiga puluh dua tahun pemerintahan Orde Baru, etnis Tionghoa diisolasi dari kegiatan politik. Penangkapan, penyiksaan dan pembunuhan massal terhadap orang-orang yang berindikasi G30S/PKI termasuk tokoh,anggota dan simpatisan Baperki dan organisasi-organisasi Tionghoa lainnya, telah menimbulkan trauma yang berkepanjangan di kalangan masyarakat Tionghoa. Baperki dijadikan stigma untuk menakut-nakuti etnis Tionghoa agar menjauhi wilayah politik. Setelah menghancurkan harga diri etnis Tionghoa dengan mengganti sebutan Tionghoa menjadi Cina, melarang perayaan agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina secara terbuka, melarang penggunaan bahasa dan cetakan dalam bahasa Cina dan anjuran agar mengganti nama yang berbau Cina, etnis Tionghoa hanya diberi ruang untuk melakukan bisnis semata. Kalaupun ada segelintir etnis Tionghoa yang terjun dalam politik praktis, mereka hanya dijadikan bendahara atau mesin penghasil uang saja. Memang ada beberapa orang etnis Tionghoa yang aktif terjun dalam aksi-aksi melengserkan Presiden Soekarno seperti dua bersaudara Liem Bian Kie dan Liem Bian Koen, Harry Tjan dan Soe Hok Gie. Namun dalam perkembangannya Soe Hok Gie yang merasa kecewa kepada pemerintahan otoriter Jenderal Soeharto malahan menjadi oposisi dan meninggal dalam usia muda karena kecelakaan, menghirup gas beracun di gunung Semeru. Sementara itu kedua saudara Liem dan Harry Tjan ikut mendirikan CSIS yang pada dekade pertama dan kedua pemerintahan Orde Baru, di masa jayanya Jenderal Ali Moertopo dan Jenderal Soedjono Hoemardani, memainkan peranan penting dalam menentukan kebijaksanaan pemerintahan Orde Baru. Liem Bian Koen sendiri akhirnya beralih profesi menjadi pengusaha (konglomerat) dan menjadi juru bicara pengusaha-pengusaha yang tergabung dalam Yayasan Prasetya Mulia. Sebaliknya beberapa tahun sebelum lengsernya Presiden Soeharto, secara mengejutkan Drs.Kwik Kian Gie meninggalkan Yayasan Prasetya Mulia dan menggabungkan diri dengan PDI, selanjutnya dalam konflik internal partai, ia berpihak kepada Megawati Soekarnoputeri yang mendapatkan tekanan keras dari rejim yang berkuasa.
Aksi-aksi anarkis dan politik dikriminasi rasial anti Tionghoa.
Dari catatan sejarah kita mengetahui bahwa sebelum kedatangan orang-orang Belanda yang mendirikan VOC dan kemudian pemerintahan Hindia Belanda, orang-orang Tionghoa selama ratusan tahun telah bermukim dengan tenang, damai dan berbaur dengan penduduk di berbagai tempat di Nusantara, terutama di pesisir utara pulau Jawa dan di pesisir timur Sumatera Selatan. Demi kepentingan perdagangannya, dengan mengeluarkan berbagai peraturan pemerintah Hindia Belanda telah melakukan politik segregasi untuk memisahkan orang-orang Tionghoa dari penduduk setempat (bumiputera),
Aksi kejahatan anti TIonghoa yang pertama di Nusantara adalah pembunuhan orang-orang Tionghoa pada tahun 1740 di Batavia. Lebih dari 10.000 orang Tionghoa dibantai dengan kejam oleh pasukan VOC dan ratusan rumah dijarah dan dibakar dengan semena-mena. Darah dan mayat korban pembunuhan tersebut memenuhi sebuah sungai yang sampai sekarang dinamakan kali Angke. Kejadian kedua adalah pembantaian yang dilakukan oleh pasukan Pangeran Adipati Cakraningrat IV di pesisir utara Jawa Tengah/Jawa Timur, mulai dari Tuban, Gresik sampai ke Surabaya, saat berlangsung perang antara orang-orang Tionghoa dan sekutunya orang-orang Jawa melawan VOC. Kemudian pada tanggal 23 September 1825, pada awal Perang Jawa, di Ngawi, sebuah kota kecil di perbatasan Jawa Tengah-Jawa Timur, terjadi pembantaian terhadap orang-orang Tionghoa yang dilakukan pasukan berkuda yang dipimpin Raden Ayu Yudakusuma, puteri Sultan Hamengku Buwono I. Puluhan mayat orang Tionghoa bergelimpangan di muka pintu, di jalan-jalan dan di rumah-rumah yang penuh lumuran darah. Pembantaian di Ngawi ternyata bukan satu-satunya kejadian pada masa permulaan Perang Jawa. Di seluruh Jawa Tengah dan di sepanjang Bengawan Solo, pembantaian orang-orang Tionghoa terjadi berulang-ulang, pada saat mereka dalam keadaan terisolir diserang oleh pasukan pemberontak.
Setelah berakhirnya Perang Jawa, pemerintah Hindia Belanda telah sepenuhnya menguasai pulau Jawa dan daerah-daerah lainnya di Indonesia kecuali Aceh. Pemerintah Hindia Belanda melakukan tindakan keras terhadap setiap usaha yang bertujuan untuk melawan pemerintah atau melakukan pemberontakan. Raja-raja Jawa telah dibuat mandul dan menjadi pengikut yang jinak dan setia. Seluruh konsentrasi di lakukan untuk menjamin keamanan pelaksanaan cultuurstelsel (tanam paksa) yang sangat menguntungkan pemerintah Kerajaan Belanda. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja murah, trampil dan rajin, selama beberapa dekade pemerintah Hindia Belanda mendatangkan ratusan ribu orang Tionghoa dari bagian selatan daratan Tiongkok untuk di jadikan buruh perkebunan di Sumatera Utara (orang-orang Hokkian) dan buruh tambang timah di pulau Bangka dan Bilitung (orang-orang Hakka). Di samping itu karena tidak tahan menghadapi bencana alam (banjir) dan perang saudara yang terus berlangsung di daratan Tiongkok, banyak juga orang-orang Tionghoa yang atas kemauannya sendiri berdatangan ke Indonesia untuk mencari kehidupan baru. Migrasi besar-besaran orang-orang Tionghoa ini baru berakhir menjelang berlangsungnya Perang Dunia II. Nah, keturunan orang-orang inilah yang sekarang disebut orang-orang Tionghoa totok.
Walaupun dilahirkan di Indonesia, namun karena mereka dibesarkan di lingkungan yang terisolir dari penduduk setempat, mereka masih kental memelihara budaya Tionghoa dan setiap hari menggunakan bahasa Tionghoa atau dialek asal kampungnya di daratan Tiongkok. Karena kendala bahasa, mereka sulit membaurkan diri dengan penduduk di sekelilingnya. Ini terjadi dengan komunitas Tionghoa yang berasal dari Sumatera Utara, Jambi, Riau, Bangka-Bilitung dan Kalimantan Barat.
Walaupun terjadi gesekan-gesekan kecil antara pedagang-pedagang Tionghoa dengan pedagang-pedagang pribumi dan Arab, selama beberapa dekade tidak ada kejadian aksi-aksi rasialis anti Tionghoa yang menonjol. Baru pada tanggal 31 Oktober 1918 rumah-rumah dan toko-toko milik orang Tionghoa di kota Kudus habis dijarah dan dibakar oleh ribuan massa Sarekat Islam yang datang dari Mayong, Jepara, Pati, Demak dan daerah-daerah sekitarnya. Korban meninggal dunia enam belas orang yang terdiri dari orang-orang Tionghoa dan para perusuh, yang luka-luka ratusan orang,
Berdirinya Sarekat Dagang Islam yang diprakarsai Tirto Adhi Soerjo sebenarnya bukan bertujuan untuk melawan para pedagang Tionghoa yang dianggap menjadi pesaing utama para pedagang Islam. SDI kemudian berubah menjadi Sarekat Islam dan berkembang dengan pesat sehingga anggotanya mencapai setengah juta orang. Dalam perkembangannya SI menjadi organisasi yang militan pada masa itu dalam berjuang melawan penjajahan Belanda. Untuk mengalihkan konflik, pemerintah kolonial Hindia Belanda melakukan politik adu domba dan berusaha membenturkan kepentingan-kepentingan pedagang-pedagang Islam yang dipelopori pedagang-pedagang Arab dengan pedagang-pedagang Tionghoa yang menjadi saingan utamanya. Persaingan antara pedagang-pedagang batik dan rokok kretek Arab dengan pedagang-pedagang Tionghoa sengaja dihembus-hembuskan oleh pemerintah kolonial Belanda dengan para penasihatnya dari Biro Urusan Bumiputera, Terjadi bentrokan-bentrokan kecil antara kedua kelompok pedagang tersebut yang mencapai puncaknya pada "Peroesoehan di Koedoes".
Aksi penjarahan baru terjadi kembali pada saat bala tentara Jepang mendarat di Jawa. Tentara Belanda yang mengundurkan diri dari kota-kota besar mendobrak dan menjarah toko-toko P&D yang ditinggalkan pemiliknya untuk mengungsi. Perbuatan tersebut telah mendorong rakyat yang hidup serba kekurangan untuk meniru tindakan anggota-anggota militer Belanda tersebut. Maka terjadilah perampokan-perampokan dan penjarahan-penjarahan toko-toko dan rumah-rumah orang Tionghoa yang ditinggalkan pemiliknya untuk mengungsi. Kerugian paling banyak dialami orang-orang Tionghoa di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Ratusan pabrik milik orang Tionghoa dihancurkan pasukan Belanda yang sedang mengundurkan diri.
Tetapi puncak dari aksi-aksi anti Tionghoa adalah pada masa sebelum dan sesudah Agresi Belanda. Pada bulan Mei 1946, sebanyak 635 orang Tionghoa, termasuk 136 orang perempuan dan anak-anak di daerah Tangerang dan sekitarnya telah menjadi korban pembunuhan. 1.268 rumah etnis Tionghoa habis dibakar dan 236 lainnya dirusak. Diperkirakan ada 25.000 orang pengungsi di Jakarta yang datang dari daerah tersebut. Selanjutnya terjadi pembantaian, pembakaran dan pejarahan rumah-rumah dan harta benda milik orang Tionghoa di Bagan Siapi-Api, Kuningan, Majalengka, Indramayu, Pekalongan, Tegal, Puwokerto,Purbalingga, Bobotsari, Gombong, Lumajang, Jember, Malang, Lawang, Singosari dllnya. Ratusan orang Tionghoa menjadi korban pembantain dan ribuan toko, pabrik, kendaraan, dllnya habis dibakar atau dijarah.
Sebenarnya aksi-aksi kekerasan ini diprovokasi pihak NICA (Nederlandsch Indie Civil Administration) yang ingin menjatuhkan reputasi Republik Indonesia di dunia internasional dan sayangnya sebagian rakyat Indonesia tidak waspada dan masuk dalam perangkap tersebut.
Akibat pembantaian dan perampokan serta penjarahan tersebut, sekelompok etnis Tionghoa mendirikan sebuah organisasi untuk membela diri dan menjaga keamanan. Organisasi tersebut bernama "Pao An Tui" yang artinya barisan penjaga keamanan. Namun dalam perkembangannya sebagian dari anggota Pao An Tui yang merasa sakit hati dan dendam karena keluarganya menjadi korban, berhasil dibujuk dan dipersenjatai Belanda untuk digunakan menghadapi pasukan Indonesia. Hal inilah yang kemudian menjadi stigma negatif pertama bagi etnis Tionghoa yang selama puluhan tahun ditiup-tiupkan sementara golongan untuk mendiskreditkan etnis Tionghoa, seolah-olah seluruh etnis Tionghoa reaksioner, pro NICA dan menentang Republik.
Sejak pemerintahan RIS dan penyerahan kedaulatan serta terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Demokrasi Parlementernya ada usaha-usaha dari pihak tertentu dalam pemerintahan untuk menjalankan kebijaksanaan yang berbau rasis. Kebijaksanaan tersebut antara lain program "benteng" importir yang diprakarsai oleh Menteri Kesejahteraan Ir.Djuanda. Kebijaksanan yang hanya memberikan lisensi impor kepada golongan pribumi, melahirkan pengusaha-pengusaha atau importir-importir "aktentas", yaitu pengusaha yang tidak bermodal dan tidak punya kantor, dengan membawa sebuah aktentas keluar masuk kantor instansi pemerintah untuk mendapatkan lisensi impor bermacam-macam barang. Dengan mengantungi lisensi ini mereka mendatangi pedagang-pedagang Tionghoa untuk menjual lisensi tersebut. Kerja sama inilah yang kemudian terkenal dengan sebutan sistim Ali-Baba.
Walaupun dalam kabinet Ali Sastroamidjojo ke-1 terdapat dua orang menteri dari etnis Tionghoa, hal ini tidak menjamin bersihnya kebijaksanaan-kebijaksanaan yang berbau rasis. Dengan alasan untuk menjamin pengadaan dan stabilitas harga beras, pemerintah bermaksud menguasai perdagangan dan peredaran beras dan untuk itu dikeluarkan peraturan wajib giling padi pemerintah dan melarang penggilingan-penggilingan beras (huller) menggiling padi di luar pemerintah. Padahal 98 % penggilingan beras adalah milik etnis Tionghoa.
Akibatnya banyak penggilingan padi yang menganggur dan munculnya centeng-centeng yang kebanyakan dari kalangan militer untuk melindungi penggilingan-penggilingan beras yang secara illegal menggiling padi rakyat.
Pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo ke-2, muncul "Gerakan Assaat", suatu gerakan yang diprakarsai Mr.Assaat. Gerakan ini menuntut pembedaan perlakuan dan pemberian fasilitas kepada pengusaha-pengusaha "asli" dan "pribumi". Mr.Assaat yang pada saat itu menjadi anggota parlemen yang dekat dengan Masjumi, mendesak pemerintah agar mengeluarkan peraturan untuk menghentikan keterlibatan orang-orang Tionghoa, baik warga negara Indonesia maupun asing, dari berbagai bidang usaha yang dianggap menguntungkan. Dengan terus terang ia menyatakan kesiapannya untuk menjalankan program-program anti Tionghoa. Menurut pandangannya, orang Tionghoa tidak bisa dipercaya dan tidak boleh dibiarkan menguasai ekonomi Indonesia. Ia juga menyerang orang Tionghoa sebagai golongan yang tidak loyal kepada negara, malahan menyatakan bahwa golongan keturunan Arab berbeda dengan orang Tionghoa dan harus dikatagorikan sebagai "asli".
Tanpa terduga sebelumnya, Presiden Soekarno pada bulan November 1959 dengan tiba-tiba menanda tangani Peraturan Pemerintah No.10 atau yang lebih terkenal dengan sebutan P.P.-10. Peraturan ini berisi larangan bagi orang-orang asing (terutama ditujukan kepada orang-orang Tionghoa) untuk berdagang eceran di daerah-daerah pedalaman, yaitu di luar ibu kota daerah swatantra tingkat I dan tingkat II yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1960. Sudah tentu peraturan yang sangat rasis ini sangat mengejutkan dan menggoncangkan sendi-sendi kehidupan orang Tionghoa di Indonesia. Karena pada masa itu Undang-undang Kewarganegaraan tahun 1958 belum dilaksanakan, sehingga terjadi kesimpang siuran dalam menentukan yang mana asing dan yang mana WNI. Para penguasa militer di daerah-daerah dengan seenaknya mengusir bukan saja orang-orang Tionghoa asing tetapi juga orang-orang Tionghoa yang berdasarkan UU Kewarganegaraan tahun 1946 telah menjadi warga negara Indonesia. Sebenarnya P.P.-10 merupakan kelanjutan dari Peraturan Menteri Perdagangan kabinet Djuanda, Rachmat Moeljomiseno pada bulan Mei 1959 yang berisi larangan bagi orang asing untuk tinggal dan berdagang di daerah pedalaman. Akibat P.P.-10 hubungan persahabatan antara pemerintah RI dan pemerintah RRT menjadi terganggu. Pemerintah RRT mengirim kapal-kapalnya untuk mengangkut orang-orang Tionghoa yang ingin meninggalkan Indonesia untuk berdiam di Tiongkok. Hal ini membuktikan pemerintah RI masuk ke dalam perangkap negara-negara imperialis Barat yang ingin merusak hubungan persahabatan Indonesia dengan Tiongkok.
Aksi kekerasan anti Tionghoa baru muncul kembali pada tanggal 10 Mei 1963 di kota Bandung dan sekitarnya. Aksi kerusuhan tersebut diawali dengan perkelahian di kampus ITB, antara seorang mahasiswa Tionghoa dengan seorang mahasiswa pribumi yang disebabkan terjadinya senggolan sepeda motor. Kemudian dipelopori oleh mahasiswa-mahasiswa ITB dan Universitas Padjadjaran, dimulailah aksi massa perusakan toko-toko, rumah tinggal dan kendaraan milik etnis Tionghoa di kota Bandung. Ratusan toko, rumah tinggal, pabrik, kendaraan bermotor habis di bakar atau di rusak serta dijarah massa. Kemudian aksi anarkis meluas ke kota-kota lainnya di Jawa Barat, antara lain Tasikmalaya, Garut, Cianjur, Sukabumi dllnya. Sangat ironis, Yap Tjwan Bing, salah seorang tokoh Angkatan 45 yang turut mendirikan Republik ini juga menjadi korban aksi anarkis tersebut. Kejadian ini sangat mengecewakan dirinya, sehingga dengan alasan mengobati penyakit puteranya, ia sekeluarga hijrah ke Amerika sampai menghembuskan nafas terakhirnya.
Pada tahun 1967, dengan alasan menumpas Pasukan Gerilyawan Rakyat Serawak (PGRS), pasukan militer Indonesia telah berhasil memprovokasi suku Dayak di Kalimantan Barat yang mengakibatkan terjadinya aksi-aksi pembantaian dan kekerasan terhadap etnis TIonghoa di desa-desa pedalaman. Akibatnya puluhan ribu etnis Tionghoa menjadi pengungsi di Singkawang dan Pontianak yang kemudian menyebar ke Jakarta dan kota-kota besar lainnya di pulau Jawa.
Di masa Orde Baru setumpuk peraturan diskriminatif terhadap orang Tionghoa dikeluarkan oleh pemerintah rejim Soeharto tanpa mendapatkan protes atau peralawanan sedikitpun. Khusus untuk mengawasi gerak-gerik dan kegiatan etnis Tionghoa, dibentuk sebuah institusi di dalam tubuh BAKIN, yaitu Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC). Seperti nasib orang Yahudi di Jerman menjelang Perang Dunia II, etnis Tionghoa di Indonesia dibuat tidak berdaya sama sekali. Etnis Tionghoa dijadikan warga negara kelas dua yang selalu menjadi kambing hitam dalam setiap masalah yang dihadapi bangsa Indonesia. Herannya kelahiran seluruh peraturan tersebut didorong dan disponsori oleh sekelompok etnis Tionghoa sendiri (LPKB). Dalam suatu diskusi di kantor majalah Gamma pada bulan September 1999, K.Sindhunatha dengan tanpa ekspresi menyatakan bahwa konsep pelarangan perayaan agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina berasal dari dirinya. Malahan ia menyatakan bahwa Pak Harto cukup bermurah hati dengan mengijinkan etnis Tionghoa melaksanakan dan merayakannya di dalam rumah, karena konsep yang disodorkan berisi larangan total. Ia juga mengakui bahwa penggantian sebutan kata Tionghoa menjadi Cina diputuskan olehnya, ketika ia diminta memilih antara kedua kata tersebut pada saat berlangsungnya Seminar Angkatan Darat II, tahun 1966 di Bandung.
Di samping itu di masa Orde Baru aksi-aksi kekerasan anti Tionghoa berlangsung tanpa henti-hentinya dan menyebar mulai dari Medan sampai ke Makassar. Aksi-aksi kekerasan tersebut terutama di pulau Jawa bukan saja secara "kuantitas" meningkat, tetapi juga secara "kualitas" yang mencapai puncaknya pada Tragedi 13-14 Mei 1998 di Jakarta.
Anehnya walaupun pemerintah Orde Baru menerapkan kebijaksanaan politik anti RRT dan anti Tionghoa, tetapi dalam usaha membangun perekonomian di sektor riil, etnis Tionghoa di beri peran dan peluang yang sangat besar. Malahan segelintir etnis Tionghoa dijadikan kroni oleh pihak penguasa untuk melakukan KKN demi menumpuk kekayaan pribadinya. Lahirlah sejumlah kecil konglomerat-konglemerat jahat yang bersama para penguasa "merampok" kekayaan negara. Hal inilah yang kembali menjadi stigma buruk yang dilekatkan pada diri etnis Tionghoa, seolah-olah seluruh etnis Tionghoa adalah "binatang ekonomi" yang tidak bermoral.
Jadi selama ini ada tiga stigma negatif yang selalu dilekatkan untuk memojokkan etnis Tionghoa. Yang pertama stigma "Pao An Tui", yang kedua stigma "Baperki/komunis" dan yang ketiga stigma "binatang ekonomi" yang tidak bermoral.
Di samping itu, apabila kita belajar dari sejarah, aksi-aksi anti TIonghoa sebagian besar terjadi di pulau Jawa. Padahal orang-orang Tionghoa di Jawa telah cukup membaur dibandingkan dengan di daerah-daerah lain di luar pulau Jawa. Ada yang mengatakan bahwa sejak jaman Diponegoro telah tumbuh "mitos" di masyarakat Jawa bahwa orang Tionghoa adalah pembawa sial yang perlu dijauhi. Mitos ini muncul setelah Pangeran Diponegoro melarang para komandannya melakukan hubungan yang akrab dengan orang-orang Tionghoa. Ia juga melarang mereka mengambil gadis-gadis peranakan Tionghoa menjadi gundiknya, karena ia berpendapat bahwa hubungan dengan gadis-gadis Tionghoa hanya akan membawa sial dan malapetaka. Sikap Pangeran Diponegoro ini disebabkan pengalamannya sendiri ketika menghadapi kekalahan pertempuran di Gowok, di luar Surakarta pada tanggal 15 Oktober 1826. Sesuai dengan apa yang ditulisnya sendiri dalam babad Dipanegara, ia telah terjebak dan dihancurkan oleh kecantikan seorang gadis Tionghoa yang tertangkap di daerah Panjang dan kemudian dijadikan tukang pijatnya. Demikian juga ia menyalahkan kekalahan iparnya Sasradilaga, dalam pertempuran di pesisir utara, di daerah Lasem karena melanggar perintahnya dengan menggauli seorang perempuan Tionghoa di Lasem.
Kenyataan bahwa banyak dari komandan-komandan pasukannya yang menggauli gadis-gadis Tionghoa sebagai hiburan dan banyaknya penggunaan candu di antara prajuritnya, telah menimbulkan anggapan Pangeran Diponegoro bahwa kalahnya dia dalam pertempuran dengan Belanda disebabkan oleh orang-orang Tionghoa yang telah membawa sial dan malapetaka. Pandangannya yang keliru dan bersifat rasis inilah yang seolah-olah menjadi "mitos" bahwa orang-orang Tionghoa hanya pembawa sial, yang sampai sekarang masih dihembus-hembuskan oleh kalangan tertentu, dengan tujuan memojokkan etnis Tionghoa di Indonesia.
Sejak jaman raja-raja Mataram, orang-orang Tionghoa telah dijadikan mitra untuk memungut pajak jalan, jembatan, pasar dsbnya. Pemungutan pajak ini dilakukan dengan sistim borongan, karena para raja dan bupati tidak mau berpusing-pusing melakukan pekerjaan yang tidak populer di mata rakyatnya. Oleh karena sistim pemungutan pajak ini memberikan keuntungan yang cukup menggiurkan, banyak kalangan etnis Tionghoa yang tertarik dan memberikan penawaran yang jauh lebih tinggi. Akibatnya untuk memenuhi target tersebut, pemungutan pajak dilakukan dengan lebih intensif dan hal ini menimbulkan antipati rakyat kepada etnis Tionghoa. Demikian juga hak mengelola rumah-rumah judi, pembuatan garam, pelacuran dan tempat penghisapan candu diborongkan kepada orang-orang Tionghoa dengan membayar pajak yang tinggi. Nah, hal-hal inilah yang sesungguhnya menimbulkan rasa kebencian dan antipati orang Jawa kepada etnis Tionghoa. Apalagi pemerintah kolonial Hindia Belanda juga melakukan kebijaksanaan yang sama dengan memberikan monopoli pach candu, pach judi dan pach pembuatan garam kepada etnis Tionghoa. Cara-cara ini ternyata dilanjutkan oleh pemerintah Orde Baru dengan memberikan monopoli kepada orang Tionghoa untuk membuka kasino baik legal maupun ilegal, demikian juga tempat-tempat pelacuran dan hiburan lainnya.
Di samping memberikan hak-hak monopoli tertentu, pemerintah Hindia Belanda melakukan politik segregasi untuk memisahkan orang-orang Tionghoa dengan penduduk setempat. Wijkenstelsel dan Passenstelsen justeru dilaksanakan secara intensif di masa tanam paksa (pertengahan abad ke-19 hingga awal abad ke-20). Pedagang-pedagang Tionghoa dibenturkan kepentingannya dengan pedagang-pedagang Islam/Arab sehingga menimbulkan konflik-konflik kecil pada dekade kedua abad ke-20. Sistim pendidikan di jaman kolonial juga sengaja dikotak-kotak dan memisahkan orang-orang Tionghoa dari penduduk pribumi. Sistim pendidikan ini mengakibatkan munculnya sekelompok orang Tionghoa yang mempunyai pandangan politik pro Belanda (Chung Hwa Hui).
Namun puncak politik anti Tionghoa berlangsung pada masa pemerintahan Orde Baru. Pertama yang dilakukan rejim Soeharto, selaras dengan kepentingan politik Amerika Serikat dan Inggris, adalah merusak hubungan persahabatan dan diplomatik antara pemerintah Indonesia dan RRT. Kedua dengan menuduh Baperki terlibat dalam Gerakan 30 September, seluruh etnis Tionghoa secara politik dibuat tidak berdaya dengan mengeluarkan setumpuk peraturan-peraturan yang sangat diskriminatif. Ketiga memprogram etnis Tionghoa agar menjauhi wilayah politik. Yang keempat menjadikan segelintir etnis Tionghoa menjadi kroni untuk melakukan KKN agar dapat dijadikan kambing hitam apabila pada suatu saat timbuil perlawanan dari rakyat
Solusi "masalah Tionghoa".
Setelah dari berbagai perspektif sejarah kita memahami akar "masalah Tionghoa" yang dihadapi bangsa Indonesia, marilah kita bersama-sama mencari solusinya. Solusi masalah Tionghoa harus berangkat dari keinginan untuk menyatukan seluruh komponen bangsa demi kemajuan bangsa dan negara kita, tanpa prasangka sedikitpun.
Adalah kenyataan sejarah bahwa etnis Tionghoa merupakan bagian integral bangsa kita, bagian yang tidak dapat dipisahkan dari bangsa Indonesia. Etnis Tionghoa mempunyai akar sejarah yang sangat panjang di bumi Indonesia, hampir seribu tahun lamanya. Bandingkan dengan sejarah bangsa Amerika dan Australia yang hanya beberapa ratus tahun lamanya. Budaya Tionghoa telah mengisi khasanah budaya Indonesia, baik dalam bahasa, kesenian, makanan dsbnya. Oleh karenanya seluruh bangsa Indonesia tanpa terkecuali dengan lapang dada harus menerima keberadaan etnis Tionghoa secara utuh, apa adanya. Demikian juga seluruh etnis Tionghoa harus menempatkan dirinya tanpa reserve sebagai bagian integral bangsa Indonesia. Adalah tugas dan kewajiban seluruh etnis Tionghoa di Indonesia untuk membangun bangsa dan negara menuju masyarakat yang kita cita-citakan. Sebuah masyarakat yang adil dan makmur, demokratis, bersih dari KKN, menjunjung tinggi penegakan hukum dan HAM. Sebaliknya seluruh jajaran pemerintahan baik pihak eksekutif, legislatif dan yudikatif harus memperlakukan etnis Tionghoa sama dengan komponen bangsa lainnya. Seluruh peraturan mulai dari UUD, Undang- undang, Keputusan Presiden, Instruksi Presiden, Keputusan Menteri, Gubernur dsbnya harus bersih dari hal-hal yang berbau diskriminasi. Peraturan mengenai SBKRI harus segera dicabut seperti juga BKMC harus dibubarkan. Pihak birokrat mulai dari Presiden, Menteri, Gubernur dan seluruh jajarannya maupun para elit partai politik, tokoh agama, pengamat, tokoh-tokoh LSM dllnya harus menjauhkan diri dari prangsangka rasial. Tidak boleh lagi ada ucapan atau ungkapan seperti apa yang diucapkan Gubernur Sutiyoso ketika masalah villanya di kawasan Puncak dipermasalahkan para wartawan dengan mengatakan "Mengapa villa saya yang luasnya hanya seratus meter persegi dan terbuat dari kayu diributkan, mengapa villa Cina-Cina sipit tidak dipermasalahkan ?" Atau seperti yang diucapkan seorang anggota DPR dari fraksi PDI-P ketika berselisih dengan Alvin Lie, anggota DPR dari fraksi Reformasi yang kebetulan berasal dari etnis Tionghoa.
Etnis Tionghoa jangan hanya berkonsentrasi dalam bidang bisnis saja, tetapi harus mau memasuki segala jenis profesi, mulai dari guru, dosen, peneliti, tentara, polisi, jaksa, hakim, pengacara, artis, wartawan, sastrawan, pelaut sampai politikus. Etnis Tionghoa harus berusaha keluar dari isolasi yang selama ini mengkungkungnya. Politik bukan sesuatu yang menakutkan dan perlu dijauhi, sebaliknya perlu dipelajari dan dipahami. Etnis Tionghoa harus turut berpolitik praktis secara aktif dengan cara memasuki partai politik yang sesuai dengan pilihannya atau bersama-sama komponen bangsa lainnya mendirikan partai politik untuk dijadikan alat perjuangan untuk mencapai apa yang selama ini dicita-citakan. Etnis Tionghoa jangan mau hanya dijadikan mesin pengumpul uang saja seperti apa yang dilakukan rejim Orde Baru. Memang tragedi Mei 1998 membangkitkan kesadaran etnis Tionghoa bahwa selama ini mereka secara politis tidak berdaya sama sekali. Ini terbukti setelah jatuhnya rejim Soeharto, berbagai kelompok peranakan Tionghoa segera membentuk partai politik, paguyuban, perhimpunan, LSM dsbnya, antara lain Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (PARTI), Partai Bhinneka Tunggal Ika (PBI), Paguyuban Sosial Marga Tionghoa (PSMTI), Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI), Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), Gerakan Anti Diskriminasi (GANDI), Solidaritas Pemuda Pemudi Indonesia Untuk Keadilan (SIMPATIK) dsbnya. Namun dalam perjalanannya, karena banyak menghadapi kendala semangat yang pada mulanya mengebu-gebu, perlahan-lahan mulai menyurut. Di samping itu seperti juga yang terjadi pada partai-partai politik dan organisasi nasional lainnya, perpecahan telah menjadi mode yang menimpa partai-partai politik dan organisasi-organisasi di kalangan etnis Tionghoa.
Pada masa kampanye Pemilu 1999, sejumlah partai politik menggunakan atraksi liong- barongsai untuk menarik simpati etnis Tionghoa agar memilih partainya. Sebenarnya hal ini sah-sah saja, tetapi di sisi lain hal ini membuktikan betapa signifikannya etnis Tionghoa dalam perolehan suara untuk memenangkan Pemilu. Etnis Tionghoa pada masa kampanye seperti komponen bangsa lainnya menjadi bahan rebutan.
Pada tanggal 16 September 1998, terbawa oleh arus reformasi Presiden B.J.Habibie mengeluarkan Instruksi Presiden No.26/1998 yang ditujukan kepada suluruh jajaran birokrasi agar menghapuskan penggunaan istilah "pribumi" dan "non pribumi". Selanjutnya pada tanggal 17 Januari tahun 2000, Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Kepres No. 6/2000 yang berisi pencabutan Instruksi Presiden No.14/1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina. Kemudian dilanjutkan dengan Keputusan Menteri Agama No.13/2001 yang menetapkan Imlek sebagai libur fakultatif dan diteruskan dengan pencabutan larangan penggunaan bahasa Tionghoa baik lisan maupun tulisan. Orang boleh tidak suka kepada Gus Dur, tetapi adalah suatu kenyataan sejarah bahwa ia telah membuktikan dirinya sebagai seorang demokrat yang percaya akan adanya kemajemukan di dalam masyarakat dan bangsa Indonesia. Ia juga telah membuktikan dirinya sebagai pengayom kelompok minoritas yang selama tiga puluh dua tahun secara politik sangat lemah dan dimarjinalkan.
Ketika menghadiri perayaan Imlek yang diselenggarakan MATAKIN pada tanggal 17 Februari 2002, Presiden Megawati Soekarnoputeri mengumumkan mulai tahun 2003 Imlek sebagai hari raya etnis Tionghoa menjadi hari Nasional. Konsekuensi Imlek sebagai hari Nasional tentunya menjadi hari libur nasional, bukan fakultatif. Namun sampai saat ini Menteri Agama sebagai instansi yang berwenang menentukan hari libur nasional belum mengeluarkan surat keputusannya. Keputusan Presiden Megawati menjadikan Imlek sebagai hari Nasional menimbulkan kontroversi. Apalagi kalau alasannya karena hari raya etnis, bagaimana dengan etnis lainnya ? Demikian juga kalau dengan alasan agama atau kepercayaan, masih banyak agama atau kepercayaan lain di Indonesia seperti agama Kaharingan, Aliran Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dsbnya yang dapat menuntut perlakuan yang sama dari pemerintah. Malahan ada yang berprasangka bahwa keputusan ini hanya untuk konsumsi politik menghadapi Pemilu 2004. Ada juga yang berpendapat bahwa keputusan ini adalah suatu keniscayaan sebagai tanggapan alamiah terhadap perkembangan ekonomi China yang terlalu massif untuk diabaikan.
Dengan dikeluarkannya Keppres Abdurrahman Wahid dan Keputusan Menteri Agama serta pernyataan Presiden Megawati tersebut, etnis Tionghoa merasa telah bebas dari "penjara" yang selama ini mengurungnya. Dalam waktu singkat ratusan perkumpulan barongsai, liong, wu shu dsbnya bermunculan di kota-kota di seluruh Indonesia. Puluhan surat kabar dan majalah serta ratusan kursus bahasa Tionghoa bermunculan bagaikan cendawan sehabis hujan. Malahan Metro TV setiap hari menayangkan acara khusus dalam bahasa Tionghoa. Demikian juga ada stasion radio komersial yang secara khusus menyiarkan acara dalam bahasa Tionghoa. Ratusan yayasan-yayasan Tionghoa totok, baik yang berdasarkan suku, asal daerah, marga, alumni sekolah dsbnya turut bermunculan. Tahun baru Imlek dirayakan secara terbuka dan meriah, demikian juga perayaan-perayaan tradisi dan agama/kepercayaan Tionghoa lainnya seperti Capgomeh, Pehcun, Tongciu, gotong tepekong dsbnya. Malahan baru-baru ini berlangsung pemilihan "Cici dan Koko" se Jakarta Barat.
Timbul kesan di masyarakat bahwa etnis Tionghoa dalam masa euphoria menyambut kebebasan ini telah bertindak berlebihan dan kebablasan. Mereka merasa bahwa masalah Tionghoa telah selesai dan rasialisme telah lenyap dari bumi Indonesia. Padahal peraturan mengenai SBKRI masih berlaku dan dilaksanakan. Di samping itu puluhan peraturan-peraturan yang diskriminatif masih tetap eksis.
Amandemen UUD 1945 belum seperti yang kita harapkan seperti juga RUU Kewarganegaraan yang disiapkan pemerintah masih terdapat point-point yang bersifat diskriminatif. BKMC belum secara resmi dibubarkan dan setiap saat dapat diaktifkan kembali. Ada perasaan yang berkembang di sementara kalangan masyarakat bahwa privileges (keistimewaan) yang diberikan kepada etnis Tionghoa telah berlebihan. Hal ini sewaktu-waktu dapat menimbulkan kecemburuan yang berbahaya yang patut disadari etnis Tionghoa. Apa yang diucapkan Gubernur Sutiyoso membuktikan bahwa di dalam hati dan benak sementara pejabat negara masih ada benih-benih rasialisme yang tanpa disadarinya sewaktu-waktu dapat terlontar keluar.
Selaras dengan kemajuan pembangunan yang dicapai RRT dan membaiknya hubungan antara pemerintah RI dan RRT, masih banyak orang-orang Tionghoa yang bersikap anasional dan merasa dirinya seolah-olah warga negara RRT. Bagi orang-orang ini mereka merasa menjadi warga negara Indonesia hanya ketika menyodorkan paspornya saat berurusan dengan pihak imigrasi. Sikap seperti ini sungguh-sungguh sangat berbahaya, karena dari pengalaman sejarah kita belajar bahwa hubungan antar negara dapat berubah-rubah setiap saat. Hari ini bersahabat, besok bisa saja bermusuhan.
Ada lagi sikap di sementara kalangan etnis Tionghoa yang membesar-besarkan solidaritas dan persatuan Tionghoa perantauan (Hua Ren) atau sementara kalangan berduit yang merasa dirinya dalam setiap saat dapat saja beralih menjadi penduduk atau warga negara lain.
Apakah dengan dicabutnya peraturan-peraturan yang bersifar diskriminatif dan Imlek dijadikan hari libur nasional, masalah Tionghoa telah berakhir dan diskriminasi rasial telah lenyap dari bumi Indonesia? Sunguh naif apabila kita berpikiran dan berpendapat demikian. Berakhirnya masalah Tionghoa dan lenyapnya diskriminasi rasial hanya dapat tercapai apabila jurang pendidikan dan ekonomi telah berhasil dihilangkan.
Hal ini baru dapat tercapai apabila kita telah berhasil membangun bangsa dan negara yang demokratis, bersih dari KKN dan selalu menjunjung tinggi penegakan hukum dan HAM. Untuk itulah etnis Tionghoa sebagai bagian integral bangsa Indonesia harus bersama-sama komponen bangsa lainnya membangun bangsa dan negara sesuai dengan apa yang kita cita-citakan tersebut. Namun harus kita sadari bahwa tugas ini tidak mudah, jangankan untuk mencapai semuanya itu, untuk keluar dari krisis ekonomi saja sampai saat ini kita belum juga berhasil.
Daftar Pustaka
Adam,Asvi Warman Cina Absen Dalam Pelajaran Sejarah. Koran Tempo, 12 Februari 2002.
Budiman, Amen Semarang Riwayatmu Dulu. jilid pertama. Tanjung Sari, 1978.
Carey,Peter Orang Jawa dan Masyarakat Cina,1755-1825, Pustaka Azet.
Groeneveld, W.P. Historical Notes on Indonesia & Malaya, Compiled From Chinese
Source. C.V.Bharatara, 1960.
Levathes, Louise When China Rules The Sea. Oxford University Press, 1994.
Muljana, Slamet Prof.DR.Runtuhnya Kerajaan Hindu-Djawa Dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara. Bharatara,1968.
Pan, Lynn The Encyclopedia of the Chinese Overseas. 1990.
Parlidungan, M.O.Tuanku Rao.Tanjung Pengharapan, 1964.
Phoa Kian Sioe Sedjarahnya Souw Beng Kong, Phoa Beng Gan, Oey Tamba Sia.
Reporter, Djakarta, 1956.
Purcell,Victor The Chinese in Southeast Asia. Second Edition, Oxford University Press,1981.
Remmelink,Willem The Chinese War and the Collpase of the Javanese State,1725 -1743 . KITLV Press, Leiden, 1944.
Siauw Tiong Djin Siauw Giok Tjhan, Riwayat Perjuangan Seorang Patriot Membangun Nasion Indonesia Dan Masyarakat Bhineka Tunggal Ika. Hasta Mitra, 199.
Soejatmiko,Basuki Etnis Tionghoa di Awal Kemerdekaan Indonesia, sorotan Bok Tok-Pers Melayu Tionghoa-Desember 1945-September 1946.
Thio Ie Soei Lie Kimhok (1853-1912). L.D. "Good Luck", Bandung
Tjiong koen Liong Peroesoehan Di Koedoes" Drukkerij Goan Hong & Co, Pasar Pisang, Batavia, 1920.
Toer, Pramoedya Ananta dkk Kronik Revolusi Indonesia. Jilid I, 1999, Kepustakaan Populer Gramedia.
Toer, Pramoedya Ananta Hoa Kiao di Indonesia.
Toer, Pramoedya Ananta Sang Pemula. Hasta Mitra, 1985.
Twang Peck Yang The Chinese Business Elite In Indonesia And The Transition To Independence 1940-1950. Oxford University Press, 1998.
Werdojo,T. Tan Jin Ding dari kapitein Cina sampai Bupati Yogyakarta. PT.Pustaka Utama,Grafiti, Jakarta 1990.
Yap Tjwan Bing Meretas Jalan Kemerdekaan-Otobiografi Seorang Pejuang Kemerdekaan. P.T.Gramedia, 1988.
Yayasan Tunas Bangsa Lahirnya Konsep Asimilasi.
Harian/Mingguan/Tabloid/Majalah/Memorandum/Makalah.
- Harian/Mingguan Sin Po.
- Harian Warta Bhakti.
- Koran Tempo. Tabloid Suar.
- Mingguan Star Weekly.
- Memorandum Outlining Acts Of Violence And Inhumanity By Indonesian Bands On Innocent Chinese Before And After The Dutch Police Action Was Enforced On July 21, 1947. Compiled by Chung Hua Tsung Hui (Federations of Chinese Associations) in Batavia 15 September 1947.
-Makalah Budi Widianarko "Mendobrak Kungkungan: Menuju Multi-Peran Tionghoa Indonesia" Disajikan dalam Seminar Pasca Kebijakan Imlek Libur Nasional" Semarang, 12 April 2002.
Senin, 16 Juli 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar