Senin, 16 Juli 2007

MANUAL MEDITASI VIPASSANA

To:milis_buddha@yahoogroups.com
From:"Gunawan"
Add to Address Book
Date:Fri, 27 Feb 2004 03:41:33 -0800
Subject:[MB] Manual Vipassana hari 1


BERSAHABAT DENGAN DHAMMA DAN MEDITASI
Ringkasan Khotbah S.N. GOENKA
Dari kursus 10 hari Meditasi Vipassana
Judul asli: The Discourse Summaries - S.N. Goenka
Diringkas oleh : WILLIAM HART
Alih bahasa: Dra. Vasodhara Wena Cintiawati & Dra. Sujata Lanny
Anggawati
Diterbitkan oleh: VIPASHYANA VISHODHAN VINYAS
8, Mohatta Bhavan, Dr.E. Moses Road
Worli, Bombay - 400018

Buku ini diterjemahkan bab demi bab untuk dibaca bersama sebelum acara
meditasi kelompok setiap Jumat di Wisma Sambodhi Klaten


RINGKASAN KHOTBAH HARI PERTAMA
VIPASSANA S.N. GOENKA

Kesulitan-kesulitan Awal - Tujuan Meditasi Ini - Mengapa Pernafasan
Dipilih
Sebagai Titik Mula - Alam Pikiran - Penyebab Kesulitan dan Cara
Mengatasinya - Bahaya-bahaya yang Harus Dihindari


Hari pertama selalu penuh dengan kesulitan dan ketidak nyamanan.
Sebagian,
ini disebabkan karena Anda belum terbiasa duduk sepanjang hari, belum
terbiasa mencoba bermeditasi. Tetapi ketidaknyamanan ini terutama
disebabkan
karena jenis meditasi yang telah Anda coba ini adalah kesadaran
pernapasan.
Tak ada lainnya kecuali pernapasan.

Sebenarnya dengan lebih mudah dan lebih cepat kita dapat
mengonsentrasikan
pikiran tanpa semua ketidaknyamanan ini, jika bersama dengan pernapasan
kita
mulai menyebut berulang-ulang suatu kata, suatu mantra, atau nama dewa.
Atau
jika kita mulai membayangkan suatu bentuk atau penampakan dewa. Tetapi
Anda
diharuskan hanya mengamati pernapasan saja, seperti apa adanya, tanpa
mengaturnya. Tidak boleh ada kata atau bentuk bayangan yang disertakan.

Semua itu tidak diizinkan, karena tujuan akhir meditasi ini bukanlah
konsentrasi pikiran. Konsentrasi hanya merupakan suatu pertolongan,
suatu
langkah yang membawa kita ke tujuan yang lebih tinggi, yaitu: pemurnian
pikiran untuk menghapus semua kekotoran batin dan hal-hal negatif yang
ada
di dalam. Dan dengan demikian, kita dapat mencapai pembebasan dari
semua
penderitaan. Kita dapat mencapai penerangan sempurna.

Setiap kali kekotoran batin muncul, seperti misalnya: kemarahan,
kebencian,
nafsu, ketakutan, dll., kita merasa menderita. Bila terjadi sesuatu
yang
tidak kita inginkan, kita menjadi tegang dan mulai membuat
simpul-simpul di
dalam diri kita. Dan jika tidak terjadi sesuatu yang kita inginkan,
sekali
lagi kita mengembangkan ketegangan di dalam. Sepanjang hidup kita terus
mengulang proses ini, sampai seluruh struktur mental dan fisik kita
menjadi
gumpalan simpul-simpul keruwetan. Dan celakanya, kita tidak akan
menyimpan
ketegangan ini hanya untuk diri sendiri saja. Kita pasti akan
membagi-bagikan kesengsaraan itu kepada semua orang yang berhubungan
dengan
kita. Tentu saja, ini bukanlah cara hidup yang benar.

Anda datang ke kursus meditasi ini untuk mempelajari SENI-NYA HIDUP:
bagaimana caranya agar Anda dapat hidup secara damai dan harmonis di
dalam
diri sendiri, dan dapat membangkitkan kedamaian dan keharmonisan dengan
semua orang. Bagaimana caranya agar Anda dapat hidup bahagia hari demi
hari
sambil menapak maju menuju ke kebahagiaan pikiran tertinggi yang
sepenuhnya
murni, yaitu pikiran yang diisi dengan kasih sayang yang tidak mengikat
(metta), dengan kasih sayang (karuna), dengan suka-cita atas
keberhasilan
orang lain (mudita), dan dengan ketenang-seimbangan (upekkha).

Untuk mempelajari seninya hidup secara harmonis, pertama-tama kita
harus
mencari penyebab ketidakharmonisan. Penyebabnya selalu terletak di
dalam.
Dan untuk ini, Anda harus menjelajahi realitas di dalam diri Anda
sendiri.
Teknik meditasi ini akan membantu Anda melakukan hal itu dengan cara
memeriksa struktur fisik dan mental Anda sendiri, di mana terdapat
sangat
banyak kemelekatan yang akan mengakibatkan ketegangan dan penderitaan.
Pada
tingkat pengalaman, kita harus memahami sifat alam kita sendiri, baik
mental
maupun fisik. Hanya dengan demikianlah kita dapat mengalami apa pun
yang
mungkin ada di luar materi dan batin. Jadi, teknik ini adalah teknik
realisasi-kebenaran, realisasi-diri, untuk menyelidiki realitas
mengenai apa
yang disebut 'diri'. Teknik ini dapat juga disebut teknik realisasi
Tuhan,
toh Tuhan tak lain tak bukan adalah Kebenaran, Cinta kasih, Kemurnian.

Pengalaman langsung akan realitas merupakan hal yang penting.
'Kenalilah
dirimu' - dari realitas permukaan, yang tampak, yang kasar, menuju ke
realitas yang lebih halus, sampai ke realitas materi dan batin yang
paling
halus. Setelah mengalami semuanya ini, kita kemudian dapat menjelajah
lebih
jauh lagi untuk mengalami realitas tertinggi yang berada di luar materi
dan
batin.

Pernapasan adalah titik mula yang cocok untuk memulai perjalanan
penjelajahan ini. Dengan menggunakan objek perhatian khayal yang
diciptakan
sendiri - misalnya suatu kata atau bentuk - kita akan menuju ke
khayal-khayal yang lebih besar, ilusi-ilusi yang lebih besar. Dan itu
semua
tidak akan membantu kita dalam mencari kebenaran-kebenaran yang lebih
halus
tentang diri kita. Untuk menembus kebenaran yang lebih halus, kita
harus
memulainya dengan Kebenaran, dengan realitas yang kasar dan tampak
jelas,
seperti misalnya pernapasan. Selain itu, jika digunakan suatu kata atau
suatu bentuk dewa, maka teknik ini menjadi bersifat sekte. Sauté kata
atau
bentuk akan dihubungkan dengan suatu kebudayaan tertentu, suatu agama
tertentu, dan orang-orang yang memiliki latar belakang lain tidak akan
dapat
menerimanya. Padahal, penderitaan adalah penyakit universal. Maka obat
untuk
penyakit universal ini tidak mungkin bersifat sekte. Obat ini harus
juga
universal. Kesadaran akan napas memenuhi kebutuhan ini. Karena napas
merupakan hal yang umum untuk semua orang, mengamati napas akan dapat
diterima oleh semua orang. Maka, setiap langkah di Jalan ini harus
sepenuhnya terbebas dari sekte-sekte.

Napas adalah alat yang kita gunakan untuk menjelajahi kebenaran tentang
diri
kita sendiri. Pada tingkat pengalaman, sebenarnya Anda hanya tahu
sedikit
sekali mengenai tubuh Anda. Anda hanya tahu penampilan juarnya saja,
hanya
tahu bagian dan fungsi tubuh yang dapat Anda kontrol dengan sadar saja.
Tetapi Anda sama sekali tidak tahu mengenai organ dalam yang bekerja di
luar
kontrol Anda. Anda sama sekali tidak tahu mengenai sel-sel yang
membentuk
seluruh tubuh ini, yang selalu berganti dan berubah setiap saat. Reaksi
biokimia dan elektromagnetik yang tak terhitung banyaknya muncul secara
terus menerus di seluruh tubuh, tetapi sama sekali Anda tidak memiliki
pengetahuan mengenai hal itu.

Di Jalan ini, Anda harus mengenal segala yang belum Anda ketahui
tentang
diri sendiri. Untuk tujuan ini, napas akan membantu. Napas bertindak
sebagai
jembatan penghubung dari yang dikenal menuju yang tidak dikenal, karena
pernapasan adalah satu fungsi tubuh yang sekaligus dapat disadari atau
tidak
disadari, disengaja atau otomatis. Anda mulai dengan napas yang
disadari dan
disengaja, lalu maju menuju kesadaran napas normal yang alami. Dari
sana
Anda maju lagi menuju kebenaran-kebenaran yang lebih halus tentang diri
sendiri. Setiap langkah Anda lakukan dengan realitas. Setiap hari Anda
akan
menembus lebih jauh lagi untuk menemukan realitas-realitas yang lebih
halus
tentang diri Anda sendiri, tentang tubuh dan pikiran Anda.

Hari ini Anda diminta mengamati fungsi napas fisik saja, tetapi
sebenarnya
anda juga sekaligus mengamati pikiran, karena sifat alami napas sangat
erat
hubungannya dengan keadaan mental seseorang. Jika di pikiran muncul
ketidak
murnian apa pun, kekotoran batin apa pun, maka segera saja napas
menjadi
tidak normal. Anda akan mulai bernapas dengan lebih cepat, dengan
sedikit
lebih berat. Jika kekotoran batin kemudian berlalu, napas kembali
halus.
Jadi napas dapat membantu anda menjelajahi bukan hanya tubuh saja,
tetapi
juga pikiran.

Satu realitas pikiran, yang mulai Anda alami hari ini, adalah
kebiasaannya
yang SELALU MENGEMBARA DARI SATU OBJEK KE OBJEK LAINNYA. Pikiran tidak
mau
tinggal bersama napas atau satu objek apa pun. Sebaliknya, pikiran
selalu
berlari-lari dengan liar.

Dan jika pikiran berkelana, kemanakah pikiran pergi? Lewat pelatihan
ini,
Anda akan melihat bahwa pikiran berkelana ke MASA LAMPAU atau MASA
DEPAN.
Inilah pola kebiasaan pikiran: ia tidak mau tinggal di masa kini.
Padahal
sebenarnya orang harus tinggal di masa kini. Apa pun yang telah berlalu
berarti sudah lewat dan tidak dapat ditarik kembali. Sedangkan apa pun
yang
masih di masa depan akan tetap berada di luar jangkauan kita, sampai ia
menjadi masa kini. Mengingat masa lalu dan memikirkan masa depan memang
penting, tetapi hanya sebatas agar keduanya dapat membantu kita
menangani
MASA KINI. Karena kebiasaannya yang telah berakar dalam, pikiran terus
menerus mencoba melarikan diri dari realitas masa kini ke masa lalu
atau
masa depan yang tak terjangkau. Itulah sebabnya pikiran tetap gelisah,
tetap
menderita. Teknik yang anda pelajari di sini disebut SENI HIDUP. Dan
karena
kehidupan hanya dapat benar-benar dijalani di masa kini, maka langkah
pertama kita adalah mempelajari cara hidup di masa kini, dengan menjaga
pikiran pada realitas rekarang ini, yaitu: napas yang sekarang ini
sedang
masuk atau keluar dari lubang hidung. Inilah realitas saat ini,
walaupun
masih merupakan realitas permukaan. Bila pikiran lari mengembara,
dengan
tersenyum, tanpa ketegangan, kita terima kenyataan bahwa pikiran telah
mengembara karena pola kebiasaan lamanya. Segera setelah kita sadari
bahwa
pikiran mengembara, secara alami, secara otomatis, pikiran akan kembali
ke
kesadaran pernapasan.

Dengan mudah akan Anda lihat kecenderungan pikiran untuk menggelinding
ke
masa lalu atau masa depan. Nah, macam apakah buah-buah pikiran ini?
Hari ini
telah Anda lihat sendiri bahwa kadang-kadang pikiran muncul tanpa
urutan apa
pun, tanpa ujung pangkal apa pun. Tingkah laku mental semacam ini
biasanya
dianggap sebagai tanda kegilaan. Dan sekarang Anda semua telah melihat
bahwa
Anda sama gilanya, karena tersesat dalam ketidaktahuan, ilusi,
kebodohan
batin - moha. Sekalipun ada urutan pikiran, sebagai objeknya pikiran
selalu
mengambil sesuatu yang MENYENANGKAN atau TIDAK MENYENANGKAN. Jika
sesuatu
itu menyenangkan, orang mulai bereaksi dengan suka, yang lalu
berkembang
menjadi nafsu keinginan, kemelekatan - raga. Jika itu tidak
menyenangkan,
orang mulai bereaksi dengan tidak suka, yang berkembang menjadi
penolakan,
kebencian - dosa. Pikiran senantiasa dipenuhi dengan kebodohan (moha),
nafsu
keinginan (lobha), kebencian (dosa). Semua kekotoran yang lain berakar
dari
tiga penyebab dasar ini. Dan setiap kekotoran membuat orang menderita.

Tujuan teknik ini adalah memurnikan pikiran, membebaskannya dari
penderitaan, dan secara bertahap menghapus hal-hal negatif yang ada di
dalamnya. Ini merupakan operasi yang dalam , menuju alam pikiran bawah
sadar
seseorang. Operasi ini dilakukan untuk membongkar dan menghilangkan
keruwetan-keruwetan yang tersembunyi di dalam. Bahkan langkah pertama
teknik
ini pun - yaitu dengan mengamati napas - sudah harus memurnikan
pikiran.
Anda telah memulainya dengan tidak hanya memusatkan pikiran saja,
tetapi
juga memurnikannya. Mungkin hari ini pikiran Anda hanya beberapa saat
terkonsentrasi penuh pada pernapasan, tetapi setiap saat seperti itu
sangat
kuat pengaruhnya dalam mengubah pola kebiasaan pikiran. Tepat pada saat
itu
Anda menyadari realitas 'saat ini', yaitu: napas yang sadang masuk atau
keluar dari lubang hidung, tanpa ilusi apa pun. Anda tidak bisa
menginginkan, tidak bisa me-lobha-I lebih banyak napas, atau merasa
benci
terhadap napas. Anda hanya sekedar mengamati saja, tanpa bereaksi
terhadapnya. Tetapi pada saat seperti itu, pikiran Anda terbebas dari
tiga
kekotoran dasar, dan itu berarti bahwa pikiran Anda dalam keadaan
murni.
Sekian detik atau mikro-detik kemurnian pada tingkat sadar ini memiliki
dampak yang sangat kuat pada ketidakmurnian yang tertumpuk di dalam
pikiran
bawah-sadar. Kontak kekuatan-kekuatan positif dan negatif ini akan
menimbulkan suatu ledakan. Sejumlah kekotoran yang tersembunyi di
pikiran
bawah-sadar naik ke alam sadar, dan mewujudkan diri dalam berbagai
ketidaknyamanan, baik secara fisik maupun mental.

Ketika orang menghadapi situasi semacam ini, ada bahaya bahwa dia lalu
menjadi gelisah dan kemudian melipatgandakan kesulitan. Tetapi sangat
perlu
diketahui, bahwa apa yang tampaknya merupakan suatu masalah sebenarnya
merupakan tanda keberhasilan di dalam meditasi, suatu petunjuk bahwa
sebenarnya teknik ini telah mulai bekerja. Operasi ke dalam pikiran
bawah-sadar telah dimulai, dan ibaratnya sejumlah nanah yang ada di
dalam
luka telah mulai keluar. Walaupun prosesnya tidak menyenangkan, inilah
satu-satunya jalan untuk terbebas dari nanah itu, untuk menghapus
ketidakmurnian itu. Jika orang terus bekerja dengan cara yang sesuai,
semua
kesulitan lambat laun akan berkurang. Besok akan sedikit lebih mudah,
hari
berikutnya lebih mudah lagi. Sedikit demi sedikit, semua masalah akan
berlalu, jika Anda benar-benar bekerja.

Tak ada orang lain yang dapat melakukan pekerjaan ini untuk Anda. Anda
harus
bekerja sendiri. Anda harus mengjelajahi realitas di dalam diri Anda
sendiri. Anda harus membebaskan diri Anda sendiri.


NASIHAT TENTANG CARA BERLATIH

Selama jam-jam meditasi, selalulah bermeditasi di dalam ruangan. Jika
Anda
mencoba bermeditasi di luar, berhubungan langsung dengan sinar dan
angin,
Anda tidak akan bisa menembus kedalaman pikiran. Tetapi selama waktu
istirahat, anda boleh pergi ke luar.

Anda harus tetap berada di wilayah batas tempat meditasi ini, di dalam
vihara. Anda sedang mengadakan operasi pada pikiran Anda. Jadi tetaplah
berada di ruang operasi.

Bertekadlah untuk tetap bertahan sampai kursus selesai, tak peduli apa
pun
kesulitan yang mungkin Anda hadapi. Bila banyak masalah yang muncul
selama
operasi pikiran ini, ingatlah baik-baik tekad Anda itu. Sangat
merugikan
bila Anda mengakhiri kursus sebelum waktunya.

Demikian juga, bulatkan tekad untuk mengikuti semua peraturan dan
disiplinnya. Yang paling penting adalah PERATURAN UNTUK DIAM. Juga
tetapkan
hati untuk mengikuti jadwal, khususnya jadwal untuk berada di aula pada
saat
meditasi kelompok, 3 kali 1 jam setiap hari.

Hindarilah bahaya makan berlebihan, dan jangan biarkan diri Anda
menyerah
terhadap rasa kantuk dan percakapan yang tidak perlu.

Bekerjalah persis seperti yang diinstruksikan. Selama periode kursus,
singkirkan dahulu segala yang pernah anda baca atau pelajari di tempat
lain,
tanpa menganggap rendah nilainya. Mencampur-adukkan teknik ini sangat
berbahaya. Jika ada yang tidak jelas bagi Anda, temui pembimbing Anda
untuk
minta penjelasan. Tetapi lakukan uji-coba yang adil. Bila demikian,
Anda
akan mendapat hasil yang sangat bagus.

Gunakan waktu, kesempatan, dan teknik ini sebaik-baiknya untuk
membebaskan
diri Anda sendiri dari semua ikatan lobha, dosa, dan moha. Dengan
demikian
Anda dapat menikmati kedamaian sejati, keharmonisan sejati, kebahagiaan
sejati.

Kebahagiaan sejati untuk Anda semua.
Semoga semua makhluk bahagia

RINGKASAN KHOTBAH HARI KEDUA
VIPASSANA S.N. GOENKA

Definisi universal tentang yang salah dan yang luhur - Jalan Mulia
Berunsur Delapan: SILA dan SAMADHI

Hari kedua telah berlalu. Walaupun hari kedua ini sudah lebih baik
daripada hari pertama, masih ada kesulitan-kesulitan. Pikiran sangat
gelisah, bergejolak, liar, seperti banteng atau gajah liar yang menimbulkan
kekacauan apabila memasuki tempat penghunian manusia. Namun jika ada
orang bijaksana yang menjinakkan dan kemudian melatih binatang liar itu,
maka semua kekuatan gajah liar yang tadinya digunakan untuk tujuan
merusak, sekarang mulai berfungsi melayani masyarakat secara membangun.
Demikian juga halnya pikiran, yang jauh lebih bertenaga dan berbahaya
daripada gajah liar, harus dijinakkan dan dilatih. Dengan demikian,
kekuatannya yang luar biasa akan mulai melayani Anda. Tetapi Anda harus bekerja
dengan sangat sabar, sangat tekun, dan sangat berkesinambungan.
Kesinambungan praktik inilah yang merupakan rahasia sukses.

Anda sendirilah yang harus melakukan pekerjaan itu. Tak seorang pun
yang bisa melakukannya untuk Anda. Dengan segala cinta kasih dan kasih
sayang, seorang manusia yang telah tercerahkan menunjukkan cara untuk
bekerja, tetapi dia tidak dapat menggendong seorang pun menuju ke tujuan
akhir. Anda harus mengayunkan langkah Anda sendiri, berjuang dan
bertempur sendiri. Anda harus bekerja keras untuk menyelamatkan diri Anda
sendiri. Tentu saja, segera setelah mulai bekerja, Anda mendapat dukungan
dari semua kekuatan Dhamma. Tetapi walaupun demikian Anda tetap harus
bekerja sendiri. Anda harus berjalan di sepanjang Jalan ini sendiri.

Pahamilah Jalan yang telah Anda tempuh. Sang Buddha menjelaskannya
dengan kata-kata sederhana:

Tidak melakukan tindakan-tindakan yang salah,
Yang tidak bermanfaat,
Melakukan tindakan-tindakan yang luhur, yang bermanfaat,
Menyucikan pikiran;
Inilah Ajaran semua Buddha.

Jalan ini sebenarnya merupakan Jalan universal, yang dapat diterima
semua orang dengan latar belakang apa pun, dari suku bangsa atau negara
apa pun. Tetapi kemudian muncul masalah dalam mendefinisikan apa yang
salah dan apa yang luhur. Apabila inti dhamma sudah hilang, maka definisi
itu menjadi berbau sekte. Dan setiap sekte memberikan definisi yang
berbeda tentang keluhuran, misalnya: yang mempunyai penampilan luar
tertentu, atau melakukan ritual tertentu, atau memeluk keyakinan tertentu.
Semuanya ini adalah definisi sekte, yang hanya dapat diterima oleh
beberapa orang, namun tidak bisa diterima oleh semua orang. Akan tetapi,
Dhamma memberikan satu definisi universal tentang apa yang salah dan apa
yang luhur:

Setiap tindakan yang merugikan orang lain, yang mengganggu ketenteraman
dan keharmonisan mereka, merupakan tindakan yang salah, yang tidak
bermanfaat. Setiap tindakan yang membantu orang lain, yang mendukung
kedamaian dan keharmonisan mereka, merupakan tindakan yang luhur, yang
bermanfaat.

Definisi itu tidak hanya sesuai dengan suatu dogma tertentu saja,
melainkan sesuai dengan Hukum Alam. Dan menurut Hukum Alam, orang tidak bisa
melakukan suatu tindakan yang merugikan orang lain tanpa terlebih
dahulu menimbulkan kekotoran di dalam pikirannya, seperti misalnya:
kemarahan, ketakutan, kebencian, dll. Dan bilamana orang menimbulkan kekotoran
mental, maka dia akan menderita. Dia mengalami penderitaan neraka di
dalam dirinya. Demikian juga, orang tidak bisa melakukan suatu tindakan
yang membantu orang lain tanpa pertama-tama menimbulkan cinta kasih,
kasih sayang, dan niat baik. Dan segera setelah dia mulai mengembangkan
sifat-sifat mental yang murni seperti itu, dia mulai menikmati kedamaian
surgawi di dalam dirinya. Bilamana Anda membantu orang-orang lain,
sekaligus Anda membantu diri Anda sendiri. Bilamana Anda merugikan orang
lain, sekaligus Anda merugikan diri Anda sendiri. Demikianlah Dhamma,
Kebenaran, Hukum, Hukum Alam yang universal.

Jalan Dhamma disebut JALAN MULIA BERUNSUR DELAPAN. Disebut 'mulia'
dalam pengertian bahwa setiap orang yang berjalan pada Jalan ini pasti akan
menjadi orang yang berhati mulia dan luhur. Jalan ini terbagi menjadi
tiga bagian:

SILA
SAMADHI, dan
PANNA

SILA adalah moralitas, tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak
bermanfaat secara fisik dan vokal (kata-kata).

SAMADHI adalah tindakan yang bermanfaat karena mengembangkan penguasaan
terhadap pikiran. Mempraktikkan dua hal itu memang bermanfaat, tetapi
baik SILA maupun SAMADHI tidak dapat menghapus semua kekotoran yang
terkumpul di dalam pikiran. Untuk inilah maka bagian ketiga. Jalan itu
harus dipraktikkan, yaitu PANNA, pengembangan kebijaksanaan, pandangan
terang, yang sepenuhnya memurnikan pikiran.

Di dalam JALAN MULIA ada tiga bagian SILA:

Samma-vaca - BICARA BENAR, pemurnian tindakan vokal. Untuk bisa
memahami apa pembicaraan murni itu, orang harus tahu seperti apa pembicaraan
yang tidak murni itu. Berkata bohong untuk menipu orang lain,
mengucapkan kata-kata kasar yang menyakiti hati orang lain, bicara yang memfitnah
dan menyerang dari belakang, omong-omong yang tidak ada gunanya dan
bergosip, semuanya merupakan tindakan vokal yang tidak murni. Apabila
orang tidak melakukan hal-hal itu, maka yang tertinggal adalah BICARA
BENAR.

Samma-kammanta - TINDAKAN BENAR, pemurnian tindakan fisik. Pada Jalan
Dhamma, hanya ada satu tolok ukur kemurnian atau ketidakmurnian suatu
tindakan, entah itu bersifat fisik, vokal, atau mental. Tolok ukur itu
adalah: apakah tindakan itu membantu atau merugikan orang lain. Maka,
membunuh atau mencuri, memperkosa atau berzinah, dan mabuk-mabukan
sehingga orang tidak tahu apa yang sedang dilakukannya, semuanya merupakan
tindakan yang merugikan orang lain, dan juga merugikan dirinya sendiri.
Bila orang tidak melakukan tindakan fisik yang tidak murni itu, maka yang
tertinggal adalah TINDAKAN BENAR.

Samma-ajiva - MATA PENCAHARIAN BENAR. Setiap orang memang harus mencari
nafkah untuk menopang kehidupannya sendiri dan kehidupan orang-orang
yang bergantung padanya. Tetapi apabila sarana pendukung ini merugikan
orang lain, maka itu bukanlah mata pencaharian yang benar. Mungkin
seseorang tidak secara langsung melakukan perbuatan-perbuatan yang salah
lewat mata pencahariannya, tetapi bisa jadi dia mendorong orang lain untuk
melakukan hal itu. Apabila demikian, dia tidak mempraktikkan mata
pencaharian yang benar. Menjual minuman keras, mengoperasikan rumah judi,
menjual senjata, menjual binatang hidup atau daging binatang, misalnya,
adalah pekerjaan yang bukan merupakan mata pencaharian benar. Di dalam
profesi tertinggi sekalilpun, jika motivasi seseorang hanyalah untuk
memanfaatkan orang lain, maka dia tidak mempraktikkan mata pencaharian
benar. Apabila motivasinya adalah berperan serta sebagai anggota
masyarakat, menyumbangkan ketrampilan dan usahanya sendiri demi kebaikan orang
banyak, lalu sebagai imbalannya dia menerima balas jasa yang dapat
digunakan untuk menopang dirinya sendiri dan orang-orang yang bergantung
kepadanya, maka orang seperti itu benar-benar mempraktikkan MATA
PENCAHARIAN BENAR.

Seorang perumah tangga, umat awam, memang membutuhkan uang untuk
menopang dirinya sendiri. Tetapi bahayanya, kegiatan mencari uang ini lalu
menjadi sarana untuk mengembangkan ego atau ke-aku-annya. Orang mencari
hasil sebanyak mungkin untuk dirinya sendiri, dan memandang rendah
mereka-mereka yang berpenghasilan lebih rendah. Sikap seperti ini merugikan
orang lain dan juga merugikan dirinya sendiri, karena bila egonya makin
kuat, maka makin jauh dia dari pembebasan. Oleh sebab itu, salah satu
aspek inti dari mata pencaharian benar adalah: MEMBERIKAN DANA,
membagikan sebagian dari apa yang telah dia peroleh pada orang-orang lain.
Dengan demikian, dia mencari nafkah tidak hanya untuk kepentingannya
sendiri saja, tetapi juga untuk kepentingan orang lain.

Seandainya saja Dhamma hanya berisi nasihat-nasihat agar menjauhi
tindakan-tindakan yang merugikan orang lain, maka Dhamma tidak akan
bermanfaat. Secara intelektual orang mungkin memahami bahaya yang akan menimpa
bila mereka melakukan tindakan-tindakan yang tidak bermanfaat. Mungkin
mereka memahami manfaat-manfaat yang akan mereka peroleh bila melakukan
tindakan-tidnakan yang bermanfaat. Atau orang mungkin menerima
pentingnya sila hanya karena rasa bakti kepada mereka yang mengkhotbahkannya.
Tetapi orang toh tetap melakukan tindakan-tindakan yang salah karena dia
tidak memiliki kontrol terhadap pikiran. Karena itulah ada bagian kedua
dari Dhamma, yaitu SAMADHI: mengembangkan penguasaan terhadap
pikirannya sendiri.

Ada tiga bagian SAMADHI pada Jalan Mulia Berunsur Delapan:

Samma-vayama - USAHA BENAR, PELATIHAN BENAR. Lewat praktik telah Anda
lihat betapa lemah dan tidak menentunya pikiran itu. Pikiran selalu
bergerak dari satu objek ke objek yang lain. Pikiran semacam itu
membutuhkan latihan agar menjadi kuat. Ada empat pelatihan untuk menguatkan
pikiran:
menghilangkan dari pikiran sifat-sifat tidak bermanfaat yang mungkin
dimilikinya,
menutup pikiran dari sifat-sifat tidak bermanfaat yang tidak
dimilikinya,
menjaga, mempertahankan, dan melipat-gandakan sifat-sifat bermanfaat
yang sudah dimilikinya,
membuka pikiran terhadap sifat-sifat bermanfaat yang masih belum
dimilikinya.
Secara tidak langsung, dengan praktik kesadaran akan pernafasan
(anapana) ini Anda telah melakukan latihan-latihan ini.

Samma-sati - KESADARAN BENAR, kesadaran terhadap realitas masa kini.
Mengenai masa lalu, yang ada sebenarnya hanyalah kenangan. Mengenai masa
depan, yang ada hanyalah cita-cita, rasa gamang, khayalan, imajinasi.
Anda telah mulai mempraktikkan samma-sati, dengan cara melatih diri Anda
sendiri gar selalu sadar terhadap realitas apa pun yang mewujudkan diri
di masa kini, pada daerah terbatas di sekitar lubang hidung. Anda harus
mengembangkan kemampuan untuk sadar terhadap segenap realitas, dari
yang paling kasar sampai yang paling halus.
Pada mulanya, Anda telah memberikan perhatian pada napas sadar yang
disengaja, lalu pada napas lembut yang alami, kemudian pada sentuhan
napas. Sekarang Anda kana mengambil objek yang bahkan lebih halus untuk
diperhatikan, yaitu sensasi (rasa) fisik alami di daerah terbatas ini. Anda
mungkin merasakan suhu napas, yang agak dingin waktu napas masuk, agak
hangat waktu napas keluar dari tubuh. Selain itu, ada banyak sensasi
yang tidak berhubungan dengan napas itu sendiri, misalnya: rasa panas,
rasa dingin, rasa gatal, rasa berdenyut, rasa bergetar, tekanan,
ketegangan, rasa sakit, dll. Anda tidak dapat memilih sensasi macam apa yang
akan Anda rasakan, karena Anda tidak bisa menciptakan sensasi. Jadi
amatilah saja, sambil tetap menyadarinya. Nama sensasinya tidak penting.
Yang penting adalah menyadari realitas sensasi, tanpa bereaksi
terhadapnya.
Pola kebiasaan pikiran, seperti yang Anda lihat, adalah
berguling-guling ke masa depan atau ke masa lalu, menimbulkan lobha (keserakahan) atau
dosha (kebencian). Dengan mempraktikkan kesadaran yang benar, Anda
telah mulai menghancurkan kebiasaan ini. Bukan berarti bahwa setelah kursus
ini berakhir Anda akan sepenuhnya melupakan masa lalu dan tidak lagi
mempunyai buah-pikir apa pun mengenai masa depan. Hanya saja Anda akan
sadar bahwa dahulu Anda terbiasa menghambur-hamburkan energi untuk
berguling-guling secara tidak perlu ke masa lalu atau ke masa depan. Begitu
seringnya hal itu terjadi sehingga Anda tidak dapat mengingat atau
merencanakan sesuatu, bila diperlukan. Maka fokuskan pikiran Anda dengan
lebih kokoh pada realitas masa kini ini, dan akan anda dapatkan bahwa Anda
dapat dengan mudah mengingat masa lalu bila diperlukan, dan Anda dapat
membuat rencana-rencana yang baik untuk masa depan. Anda akan bisa
menjalani kehidupan yang bahagia dan sehat.

Samma-samadhi - KONSENTRASI BENAR. Konsentrasi semata bukan merupakan
tujuan teknik ini. Konsentrasi yang Anda kembangkan harus mempunyai
dasar kemurnian. Dengan dasar lobha, bosa, atau moha pun orang masih bisa
mengkonsentrasikan pikiran, tetapi ini bukanlah samma-samadhi. Orang
harus sadar akan realitas masa kini di dalam dirinya, tanpa adanya lobha
atau dosa. Pertahankanlah kesadaran secara berkesinambungan dari saat
ke saat. Inilah samma-samadhi.

Dengan mengikuti lima sila secara cermat, Anda telah mulai
mempraktikkan sila. Dengan melatih pikiran agar tetap terpusat pada suatu titik,
suatu objek nyata pada masa kini tanpda lobha atau dosa, anda telah mulai
mengembangkan SAMADHI. Sekarang teruslah bekerja dengan tekun untuk
mempertajam pikiran Anda, sehingga bila nanti anda mulai mempraktikkan
PANNA, Anda kan bisa menembus sampai ke kedalaman pikiran bawah-sadar
untuk menghapus semua kekotoran yang tersembunyi di sana, dan untuk
menikmati kebahagiaan yang murni - KEBAHAGIAAN KEBEBASAN.

Kebahagiaan sejati untuk Anda semua.
Semoga semua makhluk bahagia.


RINGKASAN KHOTBAH HARI KETIGA
VIPASSANA S.N. GOENKA

JALAN MULIA BERUNSUR DELAPAN: PANNA - Kebijaksanaan yang diterima,
Kebijaksanaan intelektual, kebijaksanaan pengalaman - Kalapa - Empat elemen
- Tiga sifat: Ketidak-kekalan (anicca), Alam ego yang menipu (anatta),
Penderitaan (dukkha) - Menembus melewati realitas yang tampak.

Hari ketiga sudah berlalu. Besok siang Anda akan memasuki bidang PANNA,
Kebijaksanaan, bagian ketiga dari Jalan Mulia Berunsur Delapan. Tanpa
Kebijaksanaan, Jalan ini tidak lengkap.

Orang mulai pada Sang Jalan dengan mempraktikkan Sila, yaitu tidak
melakukan hal-hal yang merugikan orang lain. Tetapi, meskipun mungkin dia
tidak merugikan orang lain, dia masih merugikan dirinya sendiri dengan
menimbulkan kekotoran batin di dalam pikirannya. Karena itu dia
menjalani latihan Samadhi, belajar mengontrol pikiran, untuk menekan
kekotoran-kekotoran batin yang telah muncul. Tetapi, menekan kekotoran batin
bukan berarti menghilangkannya. Itu semua tetap ada di dalam pikiran sadar,
belipat-ganda di sana, dan terus menerus merugikan dirinya sendiri.
Karena itu ada langkah ketiga Dhamma, yaitu Panna. Panna bukan berarti
memberikan izin bebas bagi kekotoran batin, tetapi juga bukan menekannya,
melainkan membiarkannya muncul untuk kemudian dihapus. Apabila
kekotoran batinnya terhapus, maka pikiran akan terbebas dari kekotoran.

Dan bilamana pikiran telah dimurnikan, maka tanpa ada usaha apa pun,
dia tidak akan lagi melakukan tindakan-tindakan yang merugikan orang
lain. Menurutsifatnya, pikiran yang murni itu penuh dengan niat baik dan
kasih sayang bagi orang lain. Demikian juga, tanpa ada usaha apa pun, dia
tidak akan lagi melakukan tindakan-tindakan yang merugikan dirinya
sendiri. Kehidupannya menjadi bahagia dan sehat. Jadi tiap langkah pada
Jalan ini harus menuju pada langkah berikutnya. Sila menuju pada
perkembangan Samadhi (konsentrasi benar); Samadhi menuju pada perkembangan
Panna (kebijaksanaan yang memurnikan pikiran); Panna membawa pada nibbana,
kebebasan dari semua ketidak murnian, pencerahan penuh.

Di dalam bagian panna, ada dua bagian dari Jalan Mulia Berunsur
Delapan:

(7). Samma sankappa - pikiran benar. Bukan berarti bahwa seluruh proses
pikiran harus dihentikan sebelum orang mulai mengembangkan
kebijaksanaan. Buah-buah pikir tetap ada, tetapi pola pikirnya sudah berubah.
Kekotoran-kekotoran pada tingkat permukaan pikiran mulai lenyap karena
praktik kesadaran terhadap napas. Pikiran yang dipenuhi oleh lobha, dosa,
dan moha tidak lagi ada, dan orang mulai mempunyai pikiran yang sehat,
pikiran tentang Dhamma, cara untuk membebaskan dirinya sendiri.

(8). Samma-ditthi - pengertian benar. Inilah panna yang sejati:
memahami realitas sebagaimana adanya, bukan hanya seperti apa yang tampak.

Ada tiga tingkat dalam pengembangan panna, pengembangan kebijaksanaan.
Yang pertama adalah Suta-maya panna, kebijaksanaan yang diperoleh
dengan cara membaca atau mendengarkan kata-kata orang lain. Kebenaran yang
diterima ini sangat membantu untuk masuk pada arah yang benar. Tetapi,
bagi dirinya sendiri, jenis panna ini tidak bisa membebaskan, karena
sebenarnya itu hanyalah kebenaran pinjaman. Kebenaran itu mungkin diterima
hanya karena kepercayaan buta. Atau mungkin karena dosa, takut bahwa
bila tidak percaya dia akan masuk neraka. Atau mungkin karena lobha,
dengan harapan bahwa keyakinan itu akan membawanya ke surga. Tetapi pada
pokoknya, itu bukanlah kebijaksanaannya sendiri.

Kebijaksanaan yang diterima ini berguna untuk membawanya ke tingkat
berikutnya, yaitu cinta-maya panna, pemahaman intelektual. Dengan
rasionya, orang memeriksa apa yang telah didengar atau dibacanya itu untuk
melihat apakah itu logis, praktis, dan bermanfaat. Apabila demikian, maka
dia menerimanya. Pemahaman rasional ini juga penting tetapi sangat
berbahaya bila dianggap sebagai tujuan akhir. Orang mungkin mengembangkan
pengetahuan intelektualnya, dan kemudian berkesimpulan bahwa dia adalah
orang yang sangat bijaksana. Jadi, apa yang dia pelajari malahan
menyebabkan pengembangan egonya. Maka dia berada jauh sekali dari pembebasan.

Fungsi yang benar dari pemahaman intelektual adalah untuk mengantar
pada tahap selanjutnya: bhavana-maya panna, kebijaksanaan yang berkembang
di dalam dirinya, pada tingkat pengalaman. Inilah kebijaksanaan yang
nyata. Suta-maya panna (kebijaksanaan yang diterima) dan cinta-maya panna
(pemahaman intelektual) bisa sangat bermanfaat bila memberikan semangat
dan bimbingan untuk menuju langkah berikutnya: bhavana-maya panna.
Tetapi hanya kebijaksanaan pengalamanlah yang bisa membebaskan, karena ini
merupakan kebijaksanaannya sendiri, yang berdasarkan pada pengalamannya
sendiri.

Ada contoh untuk tiga jenis panna itu. Seorang dokter memberikan resep
obat pada seseorang yang sakit. Di rumah, orang ini lalu menghafalkan
resep itu tiap hari karena keyakinannya yang besar pada dokternya.
Inilah suta-maya panna. Karena tidak puas dengan resep itu, dia kembali pada
dokternya dan bertanya serta menerima penjelasan tentang resep itu:
mengapa obat itu penting dan bagaimana cara kerjanya. Inilah cinta-maya
panna. Akhirnya orang itu minum obatnya. Baru setelah minum obat itulah
maka penyakitnya terhapus. Manfaatnya datang hanya dari langkah ketiga,
yaitu bhavana-maya panna.

Anda telah datang ke kursus ini untuk minum obat sendiri, untuk
mengembangkan kebijaksanaan Anda sendiri. Untuk itu, Anda harus memahami
kebenaran pada tingkat pengalaman. Banyak yang bingung karena apa-apa yang
tampak itu seringkali sangat berbeda dari apa yang sebenarnya. Untuk
menghilangkan kebingungan ini, Anda harus mengembangkan kebijaksanaan
pengalaman. Dan kebenaran tidak dapat dialami di luar kerangka tubuh ini,
karena kebenaran tidak dapat diintelektualkan. Oleh sebab itu, Anda
harus mengembangkan kemampuan untuk mengalami kebenaran di dalam diri Anda
sendiri, dari tingkat yang kasar sampai ke tingkat yang paling halus,
agar Anda bisa keluar dari semua ilusi, semua ikatan. Memang setiap
orang tahu bahwa seluruh semesta ini terus menerus berubah, tetapi
pemahaman intelektual mengenai realitas ini saja tidak akan membantu. Dia harus
mengalaminya di dalam dirinya sendiri.

Mungkin suatu kejadian traumatic, seperti misalnya kematian orang yang
dekat atau yang dicintai, memaksa seseorang menghadapi fakta anicca
yang sulit, sehingga dia lalu mulai mengembangkan kebijaksanaannya
sendiri. Dia melihat: alangkah tidak bergunanya memperjuangkan apa-apa yang
hanya baik secara duniawi saja; alangkah tidak bergunanya bertengkar
dengan orang lain. Tetapi, kebiasaan egoisme yang sudah lama berakar akan
segera memunculkan dirinya. Dan kebijaksanaan itu lalu mengabur, karena
memang tidak berdasarkan pada pengalaman pribadi langsung. Dia belum
mengalami realitas ketidakkekalan di dalam dirinya sendiri: bahwa segala
sesuatu itu bersifat tidak kekal, muncul dan lenyap setiap saat -
anicca. Hanya saja, kecepatan dan kesinambungan proses itu menciptakan ilusi
kekekalan. Api sebuah lilin dan sinar lampu listrik, keduanya terus
menerus berubah. Jika lewat indra orang dapat mendeteksi setiap perubahan,
sebagaimana dalam kasus api lilin, maka orang dapat keluar dari ilusi.
Tetapi dalam kasus lampu listrik, perubahannya terjadi dengan amat
cepat dan berkesinambungan, sehingga indra orang tidak bisa mendeteksinya.
Itulah sebabnya ilusinya lebih sulit dipatahkan. Orang mungkin bisa
mendeteksi perubahan yang terus menerus dalam sungai yang mengalir, tetapi
bagaimana dia bisa memahami bahwa orang yang mandi di sungai itu pun
berubah setiap saat?

Satu-satunya cara untuk mematahkan ilusi ini adalah dengan belajar
menjelajah di dalam diri sendiri, dan mengalami realitas sebagai struktur
fisik dan mentalnya sendiri. Inilah yang dilakukan Siddhattha Gotama
untuk menjadi seorang Buddha. Dengan mengesampingkan semua konsepsi yang
telah dimilikinya, beliau memeriksa dirinya sendiri untuk mendapatkan
alam yang benar dari struktur fisik dan mentalnya. Beranjak dari tingkat
realitas yang tampak saja, yang di permukaan, beliau menembus sampai ke
tingkat yang paling halus, dan mendapatkan bahwa seluruh struktur
fisik, seluruh dunia materi, merupakan perpaduan dari partikel-partikel atom
yang dalam bahasa Pali disebut attha kalapa. Dan ditemukannya bahwa
tiap partikel itu terdiri dari empat elemen, yaitu elemen tanah, air, api,
udara, beserta sifatnya masing-masing. Beliau mendapatkan bahwa
partikel-partikel ini merupakan balok materi pembangun dasar, yang terus
menerus muncul dan lenyap, dengan kecepatan yang amat tinggi -
bertriliun-triliun kali dalam waktu satu detik. Pada realitasnya, tidak ada
kepadatan dalam dunia materi. Semuanya hanyalah getaran dan pembakaran.

Ilmuwan-ilmuwan modern telah mengkonfirmasikan penemuan-penemuan Sang
Buddha. Lewat eksperimen mereka telah membuktikan bahwa seluruh semesta
materi ini memang tersusun dari partikel-partikel sub-atom yang muncul
dan lenyap dengan sangat cepat. Walaupun demikian, para ilmuwan ini toh
tidak terbebas dari semua penderitaan, karena kebijaksanaan mereka
hanyalah kebijaksanaan intelektual saja. Tidak seperti Sang Buddha, mereka
tidak mengalami kebenaran secara langsung di dalam diri mereka. Baru
ketika seseorang mengalami sendiri realitas anicca-nya, maka dia mulai
keluar dari penderitaan.

Sementara pemahaman tentang anicca berkembang dalam diri sendiri, aspek
kebijaksanan lain muncul, yaitu: anatta, tiada 'aku', tiada 'milikku'.
Di dalam struktur mental dan fisik, tidak ada sesuatu pun yang
berlangsung lebih dari sesaat; tidak ada yang dapat diidentifikasikan sebagai
'diri' atau 'jiwa' yang tidak berubah. Apabila sesuatu itu benar-benar
"milikku", maka orang pasti bisa memilikinya, bisa mengontrolnya. Tetapi
pada faktanya, bahkan atas tubuhnya sendiri pun orang tidak mempunyai
kekuasaan. Tubuhnya terus berubah, melapuk, tidak seperti apa yang
diharapkannya.

Maka aspek kebijaksanaan yang ketiga berkembang: dukkha, penderitaan.
Jika seseorang mencoba memiliki dan berpegang pada sesuatu yang berubah
di luar kontrolnya, maka orang itu jelas menciptakan penderitaan bagi
dirinya sendiri. Biasanya, orang menghubungkan penderitaan dengan
pengalaman-pengalaman indra yang tidak menyenangkan. Tetapi sebenarnya,
pengalaman-pengalaman yang menyenangkan pun bisa merupakan penyebab
penderitaan, bila orang mengembangkan kemelekatan padanya, karena itu semua
sama tidak kekalnya. Kemelekatan terhadap apa pun yang selalu berubah,
pasti berakhir dengan penderitaan.

Bilamana pemahaman seseorang akan anicca, anatta, dan dukkha sudah
kuat, kebijaksanaan ini akan terwujud dalam kehidupannya sehari-hari.
Sebagaimana dia telah belajar menembus melampaui realitas yang tampak di
dalam dirinya, maka di lingkungan luar pun dia akan bisa melihat kebenaran
yang tampak, dan melihat kebenaran akhir. Dia bisa keluar dari ilusi,
dan hidupnya menjadi bahagia dan sehat.

Banyak ilusi tercipta karena realitas yang berpadu, yang
terkonsolidasi, yang tampak. Misalnya, ilusi tentang keindahan fisik. Tubuh tampak
indah hanya bilamana semuanya masih terpadu. Bagian apa pun dari tubuh,
bila dilihat secara terpisah, bersifat tidak menarik, tidak indah -
asubha. Keindahan fisik hanyalah realitas yang tampak, yang permukaan.
Bukan kebenaran akhir.

Memahami sifat ilusi kecantikan fisik bukan berarti menimbulkan rasa
benci terhadap orang lain. Sementara kebijaksanaan muncul, secara alami
pikiran akan menjadi seimbang, tidak melekat, murni, penuh dengan niat
baik terhadap semua orang. Dia telah mengalami realitas di dalam
dirinya, dia dapat keluar dari ilusi (moha), lobha, dan dosa, dan dapat hidup
dengan damai dan bahagia.

Besok siang, Anda akan mengayunkan langkah pertama dalam bidang Panna
ketika Anda mulai mempraktikkan Vipassana. Jangan mengharap bahwa segera
setelah mulai, Anda akan melihat semua partikel sub-atom muncul dan
lenyap di sekujur tubuh. Tidak. Anda mulai dengan kebenaran yang kasar,
yang tampak, dan dengan cara tetap tenang-seimbang, pelan-pelan Anda akan
menembus pada kebenaran yang lebih halus, pada kebenaran akhir dari
pikiran, dan materi, dari factor-faktor mental, dan akhirnya pada
kebenaran akhir yang ada di luar materi dan batin.

Untuk mencapai tujuan ini, Anda harus bekerja sendiri. Karena itu
peganglah kuat-kuat Sila Anda yang merupakan dasar meditasi, dan teruslah
mempraktikkan anapana sampai pukul 3 sore besok. Teruslah mengamati
realitas di daerah lubang hidung. Teruslah mempertajam pikiran Anda sehingga
ketika Anda mulai Vipassana besok, Anda dapat menembus ke tingkat yang
lebih dalam dan menghapus kekotoran yang tersembunyi di sana.
Bekerjalah dengan sabar, dengan tekun, dengan terus menerus, demi kepentingan
Anda sendiri, demi pembebasan Anda sendiri.

Semoga Anda semua berhasil dalam langkah-langkah pertama pada Jalan
Pembebasan ini. Semoga semua makhluk bahagia.


To:milis_buddha@yahoogroups.com
From:"Gunawan"
Add to Address Book
Date:Fri, 27 Feb 2004 03:42:05 -0800
Subject:[MB] Manual Vipassana hari 4


RINGKASAN HARI KEEMPAT VIPASSANA S.N. GOENKA

Pertanyaan-pertanyaan tentang cara mempraktikkan Vipassana - Hukum
karma - Pentingnya aksi mental - Empat kandha pikiran: vinnana, sanna,
vedana, sankhara - Tetap sadar dan tenang-seimbang merupakan jalan untuk
keluar dari penderitaan

Hari keempat merupakan hari yang sangat penting. Anda telah mulai
mencebur ke Sungai Dhamma dalam diri, menjelajahi kebenaran tentang diri
Anda sendiri pada tingkat sensasi tubuh. Karena adanya kebodohan batin, di
masa lalu sensasi-sensasi ini merupakan penyebab berlipat-gandanya
penderitaan Anda, tetapi mereka sebenarnya juga bisa menjadi alat untuk
menghapus penderitaan. ANDA TELAH MENGAYUNKAN LANGKAH PERTAMA PADA SANG
JALAN UNTUK MENUJU PEMBEBASAN, DENGAN CARA BELAJAR MENGAMATI SENSASI
TUBUH DAN TETAP TENANG-SEIMBANG.

Ada beberapa pertanyaan tentang teknik yang seringkali ditanyakan:

Mengapa harus menggerakkan perhatian ke seluruh tubuh secara urut, dan
mengapa urutannya begitu?

Urutan apa pun boleh-boleh saja, tetapi harus ada suatu urutan. Kalau
tidak demikian, berbahaya. Beberapa bagian tubuh terabaikan, dan
bagian-bagian itu akan tetap buta, kosong. Padahal sebenarnya sensasi ada di
sekujur tubuh. Di dalam teknik ini, penting sekali mengembangkan
kemampuan untuk mengalami sensasi-sensasi itu di mana pun juga. Untuk itulah
maka kita harus bergerak dengan urutan tertentu.

Jika di suatu bagian tubuh tidak ada sensasinya, Anda boleh menahan
perhatian Anda di sana sebentar. Pada realitasnya, ADA sensasi di sana
seperti juga di setiap partikel tubuh, hanya saja sensasi itu sangat halus
sehingga pikiran Anda tidak dapat menyadarinya secara sadar. Dan karena
itulah daerah itu kelihatannya buta. Tinggallah di sana sebentar, amati
dengan tenang, dengan diam, dan dengan tenang-seimbang.

Jangan mengembangkan lobha akan suatu sensasi, atau dosa terhadap
kebutaan itu. Karena bila demikian, Anda telah kehilangan
ketenang-seimbangan pikiran Anda. Dan suatu pikiran yang tidak seimbang adalah pikiran
yang sangat tumpul. Dan pikiran yang tumpul tentu saja tidak bisa
mengalami sensasi-sensasi yang lebih halus. Tetapi jika pikiran tetap
seimbang, pikiran menjadi makin tajam dan makin sensitive, sehingga dapat
mendeteksi sensasi yang halus. Amatilah daerah buta itu selama 1 menit saja,
jangan lebih. Jika selama 1 menit itu tidak ada sensasi yang muncul,
maka dengan tersenyum bergeraklah lebih lanjut. Putaran berikutnya,
lagi-lagi tinggallah selama 1 menit. Segera Anda akan mengalami sensasi di
sana dan di sekujur tubuh. Tetapi jika Anda telah tinggal selama 1 menit
dan masih tetap tidak bisa merasakan sensasi, maka cobalah merasakan
sentuhan pakaian Anda apabila bagian tubuh itu merupakan bagian yang
tertutup, atau sentuhan udara apabila bagian itu tidak tertutup. Mulailah
dengan sensasi permukaan ini, dan lambat laun Anda akan mulai merasakan
sensasi-sensasi lain juga.

Jika perhatian sedang mengamati satu bagian tubuh dan suatu sensasi
mulai terasa di bagian lain, apakah kita harus kembali atau melompat maju
utuk mengamati sensasi yang lain ini?

Teruslah bergerak sesuai dengan urutan. Jangan mencoba menghentikan
sensasi di bagian-bagian tubuh yang lain karena Anda tidak akan dapat
melakukannya. Tetapi jangan menganggapnya penting. Amatilah setiap sensasi
hanya ketika Anda sudah sampai di tempat itu. Bergeraklah selalu sesuai
dengan urutannya. Kalau tidak, Anda akan melompat dari satu tempat ke
tempat ynag lain. Anda akan melewatkan banyak bagian tubuh dan hanya
mengamati sensasi kasar saja. Anda harus melatih diri untuk mengamati
semua sensasi yang berbeda di setiap bagian tubuh, kasar atau halus,
menyenangkan atau tidak menyenangkan, kuat atau lemah. Karena itu, jangan
pernah mengijinkan perhatian melompat-lompat dari satu tempat ke tempat
lain.


Berapa banyak waktu yang dibutuhkan untuk menggerakkan perhatian dari
kepala ke kaki?

Ini berbeda-beda, tergantung situasi yang dihadapi seseorang.
Instruksinya adalah: Pusatkan perhatian di suatu daerah tertentu dan segera
setelah Anda merasakan suatu sensasi, teruslah bergerak. Jika pikiran sudah
cukup tajam, pikiran akan bisa menyadari sensasi begitu dia sampai ke
daerah itu, dan Anda segera bisa bergerak maju. Jika situasi ini terjadi
di sekujur tubuh, mungkin dibutuhkan kira-kira 10 menit untuk bergerak
dari kepala ke kaki. Tetapi untuk sekarang ini, jangan bergerak lebih
cepat dari itu. Sedangkan bila pikiran tumpul, mungkin banyak daerah di
mana kita perlu menunggu sampai 1 menit ssebelum suatu sensasi muncul.
Bila demikian, mungkin dibutuhkan 30 menit atau 1 jam untuk bergerak
dari kepala ke kaki. Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan satu putaran
itu tidak penting. Yang penting, tetaplah bekerja dengan sabar, dengan
tekun. Tentu Anda akan berhasil.


Seberapa besarnya daerah yang harus diperhatikan?

Ambillah satu bagian tubuh selebar kira-kira 2 atau 3 inci, kemudian
bergeraklah maju 2 atau 3 inci lagi, dst. Jika pikiran tumpul, ambilah
daerah-daerah yang lebih besar, misalnya seluruh wajah, atau seluruh
lengan kanan bagian atas. Kemudian pelan-pelan cobalah mengecilkan daerah
perhatian. Lambat-laun Anda akan bisa merasakan sensasi di setiap
partikel tubuh, tetapi bukan sekarang. Daerah selebar 2 atau 3 inci sudah
cukup bagus.


Apakah sensasi hanya akan terasa di permukaan tubuh atau juga di dalam?

Kadang-kadang seorang meditator langsung merasakan sensasi di dalam
segera setelah dia mulai Vipassana. Kadang-kadang, pada mualnay dia
merasakan sensasi hanya di permukaan saja. Yang mana pun, itu baik-baik saja.
Jika sensasinya muncul hanya di permukaan, amatilah berulang-ulang
sampai Anda merasakan sensasi di setiap bagian permukaan tubuh. Sesudah
mengalami sensasi di setiap tempat di permukaan, Anda kemudian akan mulai
menembus masuk ke dalam. Pelan-pelan, pikiran akan mengembangkan
kemampuan untuk merasakan sensasi di mana-mana, baik di luar maupun di dalam,
di setiap bagian struktur fisik ini. Tetapi sekarang ini, sensasi
permukaan sudah cukup bagus.

Teknik ini membawa kita menjelajah seluruh bidang indria, masuk ke
dalam realitas pikiran yang berada di luar pengalaman indria. Jika Anda
terus memurnikan pikiran Anda dengan bantuan sensasi, Anda pasti akan
mencapai tingkat akhir.

Jika seseorang itu bodoh, sensasi-sensasinya justru merupakan sarana
untuk melipat-gandakan penderitaannya, karena dia bereaksi terhadap
sensasi-sensasi itu dengan lobha atau dosa. Sebenarnya, masalah dan
ketegangan muncul pada tingkat sensasi tubuh. Karena itu, inilah tingkat di
mana kita harus bekerja untuk mengatasi masalah, untuk mengubah pola
kebiasaan pikiran. Orang harus belajar sadar terhadap semua sensasi yang
berbeda tanpa bereaksi terhadapnya, menerima sifat sensasi yang anicca dan
anatta. Engan cara demikian, orang bisa keluar dari kebiasaan reaksi
buta dan dapat membebaskan dirinya sendiri dari penderitaan.


Apa yang dimaksud dengan 'sensasi' ?

Apa pun yang terasa pada tingkat fisik adalah suatu sensasi. Ada
sensasi tubuh yang biasa, yang normal, yang alami, baik yang menyenangkan
maupun yang tidak menyenangkan, bisa kasar atau halus, bisa kuat atau
lemah. Jangan pernah mengabaikan suatu sensasi dengan dasar pertimbangan
bahwa itu disebabkan karena kondisi udara, atau karena duduk terlalu
lama, atau karena penyakit yang sudah menahun. Apa pun alasannya, faktanya
adalah: Anda merasakan suatu sensasi. Sebelum ini, Anda selalu mencoba
mendorong keluar sensasi yang tidak menyenangkan, dan menarik masuk
sensasi yang menyenangkan. Tetapi sekarang, Anda semata-mata hanyalah
mengamati secara objektif, tanpa mengindentifikasikan diri dengan sensasi
itu.

Ini merupakan pengamatan tanpa pilihan. Jangan pernah memilih sensasi.
Terimalah saja apa pun yang muncul secara alami. Jika Anda mulai mencri
sesuatu yang khusus, sesuatu yang luar biasa, Anda akan menciptakan
kesulitan bagi diri sendiri, dan tidak akan bisa maju pada Jalan ini.
Teknik ini bukan bertujuan untuk mengalami sesuatu yang spesial, tetapi
untuk tetap tenang-seimbang dalam menghadapi sensasi apa pun. Pada masa
lampau, Anda pun mempunyai sensasi seperti itu di tubuh, tetapi Anda
tidak menyadarinya secara sadar, dan Anda bereaksi terhadapnya. Sekarang
Anda belajar untuk sadar dan untuk tidak bereaksi, untuk merasakan apa
pun yang sedang terjadi pada tingkat fisik dan tetap tenang-seimbang.

Jika Anda bekerja dengan cara ini, pelan-pelan seluruh Hukum Alam akan
menjadi jelas bagi Anda. Inilah yang dimaksudkan dengan Dhamma: Alam,
Hukum, Kebenaran. Untuk memahami Kebenaran pada tingkat pengalaman,
orang harus menyelidikinya di dalam kerangka tubuh. Inilah yang dilakukan
Siddhattha Gotama untuk menjadi seorang Buddha. Dan kemudian jelas
baginya, seperti juga akan menjadi jelas bagi setiap orang yang bekerja
seperti beliau, bahwa di seluruh semesta ini, di dalam tubuh dan di luar
tubuh, segala sesuatu itu terus menerus berubah. Tak ada yang merupakan
produk akhir. Segala sesuatu terlihat dalam proses dumadi - bhava. Dan
suatu realitas lain akan menjadi jelas: tak ada sesuatu pun yang terjadi
secara kebetulan. Setiap perubahan mempunyai penyebab yang menimbulkan
akibat, dan akibat itu lalu berubah menjadi penyebab bagi suatu
perubahan lagi. Ini menyebabkan adanya rangkaian SEBAB-AKIBAT yang tak pernah
berakhir. Dan ada lagi hukum lain yang akan menjadi jelas: sebagaimana
penyebabnya, demikian pula akibatnya; sebagaimana benihnya, demikian
pula buahnya.

Pada sebidang tanah yang sama, orang menabur 2 benih: satu benih tebu,
satu benih neem - pohon tropis yang sangat pahit. Dari benih tebu
tumbuh tanaman yang manis di semua seratnya. Dari benih neem tumbuh tanaman
yang pahit di semua seratnya. Orang mungkin bertanya mengapa alam baik
hati pada satu tanaman dan kejam pada yang lain. Sebenarnya, alam tidak
bersifat baik hati atau kejam. Alam bekerja menurut peraturan tertentu.
Alam hanya membantu sifat masing-masing benih untuk mewujudkan dirinya.
Bila orang menabur benih manis, maka panennya akan manis. Bila orang
menabur benih kepahitan, panennya akan pahit. Sebagaimana benihnya,
demikian pula buahnya. Sebagaimana tindakannya, begitu pula akibatnya.

Celakanya, orang biasanya sangat penuh perhatian pada saat panen,
karena menginginkan buah yang manis. Tetapi pada musim menabur, dia sangat
sembrono, tidak ada perhatian, dan menanam benih kepahitan. Jika orang
menginginkan buah yang manis, dia harus menanam jenis benih yang benar.
Berdoa atau mengharap suatu mukjizat hanyalah merupakan penipuan diri
sendiri. Orang harus memahami dan hidup sesuai Hukum Alam. Orang harus
berhati-hati dalam segala tindakannya, karena tindakan itulah yang
merupakan benih-benih yang menentukan apakah dia akan menerima yang manis
atau yang pahit.

Ada tiga jenis tindakan: fisik, vokal (ucapan), dan mental. Orang yang
belajar mengamati dirinya akan segera menyadari bahwa tindakan
mentallah yang paling penting, karena inilah benihnya, inilah tindakan yang
akan memberikan hasil. Tindakan vokal dan fisik hanyalah proyeksi dari
tindakan mental, tolok ukur intensitasnya. Tindakan vokal dan fisik
berasal dari tindakan mental, dan tindakan mental inilah yang kemudian
mewujudkan diri pada tingkat vokal atau fisik. Demikianlah pernyataan Sang
Buddha: "Segala sesuatu muncul pertama-tama dalam pikiran. Pikiranlah
yang paling penting. Segala yang dialami seseorang adalah produk dari
pikirannya sendiri. Setiap pengalaman itu memang hanyalah produk dari
pikirannya sendiri. Jika engkau melakukan suatu tindakan, vokal atau fisik,
dengan didasari oleh pikiran yang tidak murni, maka penderitaan akan
mengikutimu seperti roda pedati mengikuti kuda yang menariknya. Begitu
juga, jika dengan pikiran yang murni engkau melakukan suatu tindakan
vokal atau fisik, maka kebahagiaan akan mengikutimu seperti baying-bayangmu
sendiri." Jelas, tindakan mentallah yang paling penting.


Jika demikian halnya, maka orang harus tahu apa pikiran itu, dan
bagaimana pikiran bekerja. Anda telah mulai menyelidiki fenomena ini lewat
latihan Anda. Sementara Anda maju, akan Anda lihat bahwa ada empat bagian
atau khanda dari pikiran.

Bagian pertama disebut VINNANA, kesadaran murni. Organ-organ indria
tidak akan hidup kecuali vinnana kontak dengan organ itu. Misalnya, jika
orang sedang terpukau memandangi sesuatu, mungkin dia tidak mendengar
suara yang datang, karena seluruh kesadarannya sedang ada di mata. Fungsi
vinnana adalah melakukan KOGNISI, hanya untuk mengetahui semata, tanpa
membeda-bedakannya. Suara mungkin datang dan kontak dengan telinga,
VINNANA hanyalah mencatat bahwa ada suara yang datang.

Kemudian bagian pikiran berikutnya mulai bekerja: SANNA, persepsi
(pencerapan). Ada suara datang, dan dari pengalaman dan ingatan lampaunya
orang MENGENALI-nya: suara . kata-kata . kata-kata pujian . BAGUS. Atau:
suara . kata-kata caci-maki . JELEK. Dia memberi PENILAIAN: BAGUS ATAU
JELEK, sesuai dengan pengalaman lampaunya.

Segera bagian pikiran yang ketiga mulai bekerja: VEDANA, sensasi.
Segera setelah suara datang, ada sensasi di tubuh, tetapi bila SANNA
mengenalinya dan memberi penilaian, SENSASI MENJADI MENYENANGKAN ATAU TIDAK
MENYENANGKAN, sesuai dengan penilaian itu. Misalnya: suara datang .
kata-kata . kata-kata pujian . BAGUS - dan dia lalu merasakan sensasi yang
MENYENANGKAN di sekujur tubuhnya. Atau: suara datang . kata-kata .
kata-kata caci-maki . JELEK - dan dia lalu merasakan sensasi yang TIDAK
MENYENANGKAN di sekujur tubuhnya. Sensasi muncul di tubuh, dan dirasakan
oleh pikiran. Inilah fungsi yang dinamakan VEDANA.

Kemudian bagian pikiran keempat mulai bekerja: SANKHARA, reaksi. Suara
datang . kata-kata . kata-kata pujian . BAGUS . sensasi MENYENANGKAN -
dan orang mulai MENYUKAINYA: "Pujian ini hebat sekali! AKU INGIN LAGI!"
Atau: suara datang . kata-kata . kata-kata caci maki . JELEK . sensasi
TIDAK MENYENANGKAN - dan orang mulai TIDAK MENYUKAINYA: "Aku tak tahan
dicaci maki. BERHENTILAH!"

Pada setiap pintu indria, proses yang sama terjadi: mata, telinga,
hidung, lidah, tubuh. Demikian juga, bila suatu buah pikir atau imajinasi
kontak dengan pikiran, dengan cara yang sama suatu sensasi muncul pada
tubuh, menyenangkan atau tidak menyenangkan, dan orang mulai bereaksi
dengan SUKA atau TIDAK SUKA. Rasa suka sesaat ini lalu berkembang menjadi
LOBHA yang besar, dan rasa tidak suka ini berkembang menjadi DOSA yang
besar. Orang mulai mengikatkan simpul-simpul keruwetan dalam dirinya.

Di sinilah benih yang sebenarnya memberikan buah, tindakan yang akan
memberikan akibat: SANKHARA, reaksi mental. Setiap saat orang terus
menabur benih ini, terus bereaksi dengan suka atau tidak suka, lobha atau
dosa. Dan dengan melakukan itu, dia membuat dirinya sendiri menderita.

Ada reaksi yang mengguratkan kesan yang sangat ringan, dan dengan
segera dapat terhapus. Ada reaksi yang mengguratkan kesan yang sedikit lebih
dalam, dan terhapus setelah beberapa waktu. Tetapi ada reaksi yang
mengguratkan kesan yang sangat dalam, dan dibutuhkan waktu yang sangat lama
untuk menghapusnya. Pada malam hari, jika orang mencoba mengingat semua
sankhara yang telah ditimbulkannya sehari itu, dia akan bisa mengingat
hanya satu atau dua yang mengguratkan kesan paling dalam pada hari itu.
Demikian juga, pada akhir bulan atau akhir tahun, orang akan bisa
mengingat hanya satu atau dua sankhara yang telah mengguratkan kesan paling
dalam selama jangka waktu itu. Dan tak peduli kita suka atau tidak
suka, pada akhir kehidupan ini, sankhara apa pun yang telah mengukirkan
kesan yang paling dalam PASTI akan muncul dalam pikiran. Dan kehidupan
kita yang akan datang akan dimulai dengan pikiran yang sifatnya seperti
itu juga, dengan sifat manis atau pahit yang sama. KITA MENCIPTAKAN
SENDIRI MASA DEPAN KITA, LEWAT TINDAKAN KITA.

Vipassana mengajarkan seni untuk mati: bagaimana bisa mati dengan
damai, dengan harmonis. Dan orang belajar seninya mati dengan cara belajar
seninya hidup: bagaimana bisa menjadi majikan dari masa kini, bagaimana
agar TIDAK MENIMBULKAN SANKHARA pada masa kini, bagaimana menjalani
kehidupan yang bahagia KINI dan DI SINI. Jika masa kini ini baik, orang
tidak perlu mencemaskan masa depan, karena masa depan hanyalah produk
dari masa kini. Bila masa kini baik, masa depan pasti juga baik.

Ada dua aspek teknik ini:

Merobohkan penghalang antara tingkat pikiran sadar dan bawah-sadar.
Biasanya pikiran sadar tidak tahu-menahu tentang apa yang sedang dialami
pikiran bawah-sadar. Karena adanya kebodohan batin, reaksi terus terjadi
pada tingkat bawah-sadar. Pada saat reaksi-reaksi itu mencapai tingkat
pikiran sadar, mereka telah menjadi begitu kuat sehingga dengan mudah
menguasai pikiran. Namun lewat teknik ini, seluruh massa pikiran akan
menjadi sadar, menjadi tahu. Kebodohan batin terhapus.

Aspek kedua adalah ketenang-seimbangan. Orang menyadari semua yang
dialaminya, menyadari semua sensasi, tetapi tidak bereaksi, tidak menalikan
simpul-simpul lobha dan dosa yang baru, tidak menciptakan penderitaan
bagi dirinya sendiri.

Pada mulanya, sementara Anda duduk bermeditasi, Anda akan sering sekali
bereaksi terhadap sensasi-sensasi itu. Tetapi akan tiba beberapa saat
di mana Anda tetap tenang-seimbang, walaupun ada rasa sakit yang
menusuk. Saat-saat itu sangat besar kekuatannya untuk mengubah pola kebiasaan
pikiran. Lambat laun Anda akan mencapai tahap di mana Anda dapat
tersenyum menghadapi sensasi apa pun, karena tahu bahwa itu semua bersifat
anicca, yang pasti akan berlalu.

Untuk mencapai tahap ini, Anda harus bekerja sendiri. Tidak ada orang
lain yang dapat bekerja untuk Anda. Sudah bagus sekali bila Anda mau
mengayunkan langkah pertama pada Jalan ini. Sekarang teruslah berjalan,
selangkah demi selangkah, menuju pembebasan Anda sendiri.


Semoga Anda semua menikmati kebahagiaan sejati.
Semoga semua makhluk berbahagia!











































To:IBFC-Network@yahoogroups.com
From: "Gita" Add to
Address Book
Date:Sun, 25 Jan 2004 02:48:43 -0000
Subject:[IBFC-Network] Arti candi BOROBUDUR




ARTI CANDI BOROBUDUR
(sumber forum komunikasi umat Buddha)



Candi Borobudur, disamping sebagai lambang tertinggi bagi Agama
Buddha Mahayana, stupa Borubudur juga merupakan replika dari
kosmologi atau alam semesta, sesuai filsafat Mahayana. Stupa
Borubudur Borubudur terdiri dari tiga-dhatu (dhatu disini berarti
alam atau loka, Tri-loka berarati Tiga Alam) yaitu : Kama-dhatu, Rupa-
dhatu, dan Arupa Dhatu.



Bangunan Borubudur terdiri dari 10 tingkat yang berarti menunjukkan
10 tingkat kemajuan spiritual Bodhisattva atau Dasabhumi. Dasabhumi
merupakan doktrin Mahayana. Pada dinding candi menjelaskan arti dari
teks atau kitab suci Lalitavistara, Gandavyuha, Catakamala, dan Maha-
Karmavibhangga.



Secara keseluruhan candi itu merupakan refleksi keagamaan dari isi
kitab suci, doktrin, dan filsafat serta tradisi agama Buddha Mahayana
yang meyakinkan dan menakjubkan sebagaimana diajarkan di Universitas
Nalanda di India.



Candi Borobudur adalah bangunan suci Mahayana, Candinya merupakan
dunia archais, dunia kuno, namun tetap hidup; mengungkapkan dunia
masa silam tetapi masih hadir ke hadapan kita dalam format tertentu,
mengandung makna spiritual yang begitu dalam.



Bangunan candi Borubudur bila dilihat dari atas bagaikan bunga
teratai. Bunga teratai melambangkan kesucian dan tumbuhnya sebanyak 7
tangkai bersamaan waktu dengan saat Sidharta baru lahir kemudian
langsung berjalan 7 langkah diatas bunga teratai yang baru tumbuh itu.



Relief yang menjelaskan kitab suci dalam candi merupakan bagian dari
Sembilan Dharma dalam Agama Buddha Mahayana; Sembilan Dharma yaitu :
(1) Astasahasrika-Prajnaparamita, (2) Gandavyuha, (3) Dasabhumisvara,
(4) Samadhi-raga, (5) Lankavatara, (6) Saddharma-Pundarika, (7)
Tathagata-guhyaka, (8) Lalitavistara, (9) Suvarna-Prabhasa.



Jatakamala


Dalam teks Jatakamala dan Awadana menjelaskan arti tentang perbuatan-
perbuatan bijak yang telah diperbuat oleh Siddharta Gautama (sebelum
menjadi Bodhisattva dan Buddha) pada masa kehidupan lampau. Dalam
teks ini beliau seringkali menjelma sebagai kelinci, berang-berang,
serigala, kera dan kura-kura. Perbuatan-perbuatan baik ini diharapkan
dapat menjadi contoh atau suri teladan bagi manusia, jangan berbuat
sewenang-wenang (tentang Kota Puruka), tentang kesetiaan (cerita
Kinara-Kinari) tentang pengorbanan, tentang persembahan korban.



Maha-Karmavibhangga


Penjelasan teks ini berupa relief-relief pada bagaian kaki candi
Borobudur yang tertimbun. Maha-Karmavibhangga menjelaskan tentang
hukum sebab dan akibat dari perbuatan karma. Pelaku kejahatan akan
menerima hukumannya di Neraka dan pelaku kebaikan akan menerima
pahala di Nirwana. Neraka yang disebutkan di dalam kitab suci ini
adalah Sanjiva dan Kalasutra, Sanghata dan Raurawa, Maharaurawa, dan
Tapana, Pratapana dan Awici.



Lalita-vistara


Banyak versi tentang cerita dalam Lalita-vistara. Lalita-vistara
menceritakan kehidupan masa lampau sekian kalpa yang lalu, tentang
kelahiran Sidharta Gautama, menjadi Bodhisattva dan mencapai ke-
Buddha-an, Buddha Gautama, memberikan khotbahnya yang pertama di
Taman Rusa dekat Benares yang dikenal dengan Pemutaran Roda Dharma
(Dharmacakra Pravartana Sutra).




Gandavyuha


Gandavyuha menceritakan seorang anak saudagar kaya raya yang bernama
Sudhana. Sudhana telah mengembara ke sana ke sini untuk berguru guna
mendapatkan pengetahuan tertinggi mengenai arti kehidupan. Sudhana
telah bertemu dengan Bodhisattva Manjusri dan Maitreya.



Tiga-Dhatu (Triloka) dan Dasabhumi


Tingkat Kamadhatu : J.W. Ijzerman, tahun 1885, secara kebetulan telah
menemukan di bawah tembok batu bagian ini dari kaki bengunah yang
asli Candi Borobudur. Menggambarkan adegan-adegan dari Maha-
Karmavibhangga yang melukiskan tentang hukum sebab-akibat. Kamadhatu
adalah sama dengan `alam-bawah' tempat manusia biasa, melambangkan
kehidupan yang masih diliputi oleh hawa nafsu angkara murka yang
menguasai diri manusia, dalam arti belum memperoleh petunjuk
keheningan. Dalam Dasabhumi pada tingkatan Pramudita, Vimala,
Prabhakari.



Tingkat Rupadhatu : Di Candi Borobudur pada tingkat bangunan mulai
dari tingkat 2 sampai dengan tingkat 6. Tingkat ini merupakan tingkat
antara dari alam Manusia ke alam Buddha. Di candi Borobudur, pada
tingkat ini berisi relief-relief yang menggambarkan cerita-cerita
dari naskah Sansekerta : Gandavyuha, Lalita-Vistara, Jatakamala, dan
Awadana. Rupadhatu melambangkan tingkat di mana manusia mulai sadar
diri, dan berusaha mengendalikan hawa nafsu durjana untuk menumpas
kedurhakaan, dalam Dasabhumi pada tingkatan Arcismati, Sudurjaya,
Abhimukhi, Durangama.



Tingkat Arupadhatu : merupakan alam non-materi murni, melambangkan
manusia yang telah sampai pada makna hakiki itu, dan telah mawas diri
menguasai alam Spiritual, dalam Dasabhumi pada tingkat Acala,
Sadhumati, dan Dharmamegha. Di Candi Borobudur mulai dari tingkat 7,
kita akan merasakan suatu suasana yang tenang dan tenteram, seakan-
akan kita berada di alam samadi. Bodhisattva berada di tingkat Acala.

Panca Dhyani Buddha dan Mudra

Agama buddha Mahayana memberikan penghormatan dan pemujaan terhadap
Buddha Sakyamuni, juga melakukan penghormatan dan pemujaan terhadap
para Dhyani Buddha dan Para Bodhisattva.

Dhyani Buddha adalah para Buddha yang telah mencapai Samyak Sambodhi
menurut waktu kosmik atau disebut juga Kosmik Buddha jauh sebelum
Sakyamuni Buddha menurut sejarah. Mudra adalah suatu gerakan tangan
yang mempunyai arti dan lambang.



Menurut Mahayana-Tantrayana ada Panca Dhyani Buddha yaitu :

1
Aksobhya Dhyani Buddha
:
Dengan Bhumisparsa mudra yaitu telapak tangan kiri ke atas dan
diatas pangkuan, telapak tangan kanan menelungkup di atas lutut
kanan, menunjukkan bumi sebagai saksi.

2
Ratnasambhava Dhyani Buddha
:
dengan Wara Mudra yaitu telapak tangan kiri terbuka ke atas
pengkuan, telapak tangan kanan terbuka diatas lutut kanan, memberikan
anugerah dan berkah.

3
Amitabha Dhyani Buddha
:
dengan Dhyana mudra yaitu telapak tangan kanan diatas telapak tangan
kiri di pangkuan bermeditasi

4
Amoghasidhi Dhyani Buddha
:
dengan Abhaya Mudra yaitu telapak tangan kiri terbuka diatas
pangkuan telapak tangan kanan diatas lutut kanan dengan jari-jari
terbuka ke atas, ibu jari ke dalam, artinya jangan takut.

5
Wairocana Dhyani Buddha
:
dengan Witarka mudra yaitu telapak tangan kiri terbuka diatas
pangkuan, telapak tangan kanan diatas lutut kanan, tiga jari :
tengah, manis, dan kelingking ke atas, ibu jari dan jari telunjuk
membentuk lingkaran, artinya telah menguasai tiga loka (triloka)




Penampilan berbagai rupang/patung Dhyani Buddha pada candi Borobudur :



Tingkat Patung Mudra Jumlah Arah Keterangan

I -- -- -- --
--

II-V Amoghasiddhi
Abhaya
92
Utara
Torana

II-V
Aksobhya
Bhumisparsa
92
Timur
Torana

II-V
Amitabha
Dhyana
92
Barat
Torana

II-V
Ratnasambhava
Dana
92
Selatan
Torana

VI
Vairocana
Witarka
64
Tengah
Torana

VII
Vairocana
Dharmacakra
32
Tengah
Cella

VIII
Vairocana
Dharmacakra
24
Tengah
Cella

IX
Vairocana
Dharmacakra
16
Tengah
Cella

X
(Adibuddha)?
Bhumisparsa
(1)
Puncak
Stupa

10
Panca (5)

Dhyani Buddha
6 Mudra
504

+ (1)
5 Penjuru
Torana

Cella




Panca Dhyani Buddha dan Makna


Dhatu Buddha Panca Bhuttha Warna Panca Skandha
Panca Indera

Vairocana Tanah
Putih
Rupa
Bau

Akshobhya Hawa
Biru
Vinnana
Suara

Ratnasambhava Air
Kuning
Vedana
Rasa

Amitabha Api
Merah
Sanna
Bentuk

Amoghasiddhi Angin
Jingga
Sankhara
Peraba




Tingkat, Balustrada, Patung, Cerita Relief dalam candi Borobudur



Ting-kat
Dhatu (Alam)
Bentuk Balustrasa
Jumlah

Arca
Naskah


Jumlah

relief

I
Kamadhatu
Segi Empat
-
Karmavibbhanga
160

II
Rupadhatu
Segi Empat
104
A1. Lalitavistara

A2. Jatakamala Awadana

a1. Jatakamala)

a2. Jatakamala)
120

120

500



III
Rupadhatu
Segi Empat
104
B. Gandhavyuha

b. Jataka , Awadana
128

100

IV
Rupadhatu
Segi Empat
88
C. Gandhavyuha

c. Gandhavyuha
88

88

V
Rupadhatu
Segi Empat
72
D. Gandhavyuha

d. Gandhavyuha
84

72

VI
Rupadhatu
Segi Empat
64
--
--

VII
Arupadhatu
Lingkaran
32
--
--

VIII
Arupadhatu
Lingkaran
24
--
--

IX
Arupadhatu
Lingkaran
16
--
--

X
Arupadhatu
Stupa Induk
(1)
--
--

10
10 Dhatu
Dua bentuk
504 arca

+ (1)
6 naskah
1460

relief




Referensi dari Krom (Dumarcay hal. 39),

Bulletin Sinar Seroja Bhakti, serie 9 tahun 1983.



Candi Borobudur berukuran panjang 123 m, lebar 123m, tinggi 42 m (
termasuk puncat stupa). Tingkat teratas dalam bentuk stupa besar
berdiameter 9,9 m dan tinggi 7 m.



A.J. Bernet Kempers ahli purbakala Belanda menyebutkan
Borobudur `Buddhisme yang penuh misteri sebagaimana terlukiskan di
batu'. Merupakan perpaduan yang sempurna antara manusia dan kesucian
yang keramat.



Penemuan Kembali dari misteri Candi Borobudur


Tidaklah diketahui secara pasti, kapan candi Borobudur lenyap dari
pandangan mata.



Tahun 1814, Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Inggris di
Jawa (1811-1815) mendengar berita bahwa ada sebuah bangunan purbakala
yang masih terpendam di dalam tanah di desa Borobudur, sewaktu beliau
berkunjung ke Semarang. Raffles segera mengirim H.C. Cornelius ke
Borobudur untuk mengadakan penyelidikan atas kebenaran berita
tersebut. Pada saat itu, yang kelihatan hanyalah sebuah bukit yang
tertutup oleh semak belukar dan diatas bukit terlihat adanya susunan-
susunan batu candi yang berserakan. Pekerjaan membersihkan dengan
menebang pohon-pohon, membakar semak belukar, menyingkirkan tanah
dari atas bukit, pekerjaan pembersihan itu memakan waktu yang sangat
lama. Baru dalam tahun 1834, atas usaha Residen Kedu, candinya dapat
di tampakkan seluruhnya yang menjulang sampai ke atas puncak bukit.



Tahun 1840, Residen Kedu, Cl Hartman, memberikan beberapa peti hadiah
Cinderamata kepada Raja Siam Chulalongkorn yang telah sekian lama
berada di tanah Jawa mau kembali ke negaranya. Hadiah cinderamata ini
berupa 8 gerobak memuat 30 batu relief, 5 patung Buddha, 2 patung
singa, 1 pancuran makara,dan 1 patung raksasa penjaga gerbang-
Dwarapala, semuanya ini berasal dari candi Borobudur, namun semuanya
tenggelam hilang di dasar laut.



Tahun 1850, dilakukan berbagai usaha pemindahan relief-relief candi
Borobudur melalui kertas gambar. Tahun 1873, monografi pertama
tentang candi Borobudur diterbitkan.



Tahun 1885, Ijzerman di dalam berbagai penyelidikannya mendapatkan di
belakang batu kaki candi masih ada lagi kaki candi lain yang dihiasi
dengan relief-relief. Batu itu dibongkar sebagian demi sebagian dan
kemudian dipasang kembali, J.W. Ijzerman berhasil memotret 200 relief
yang selama ini tertutup di kaki candi Borobudur yang terbawah
merupakan penjelasan Maha Karmavibhangga.



Kapten Godfrey Philips Baker sesuai dengan catatannya pada bulan Mei
1815, adalah orang Eropa yang pertama yang melihat dan memperhatikan
arca Dwarapala di Candi Borobudur.



Namun perlu dicatat bahwa sampai akhir 1982, arca tersebut masih
berada di tangan pemerintahan Muangthai, disimpan di Museum Bangkok,
hasil bawaan Raja Chulalongkorn sebagai kenang-kenangan dari Residen
Kedu, Hartmann, ketika ia mengunjungi Borobudur pada tahun 1840.



Tahun 1849, Wilsen mendapat instruksi dari pemerintah Hindia Belanda
untuk meneliti secara resmi dan membuat gambar-gambar relief yang ada
di candi Borobudur. Sekitar tahun 1873, Van Kinsbergen datang membuat
foto-foto bergambar secara terbatas tentang Candi Borobudur.



Tahun 1901 di Hindia Belanda didirikan Commissie in Nederlandsch
Indie voor Oudheidkundig Onderzoek op Java en Madoera, dibawah
pimpinan Dr. JLA Brandes (wafat tahun 1905) yang bertugas untuk
mengurusi keperbukalaan Indonesia, juga membawahi pemugaran Candi
Borobudur, ia dibantu oleh Ir. Theodorus Can Erp yang juga seorang
perwira Zeni berpangkat Letnan Satu.



Tahun 1913, Badan Keperbukaan darurat tersebut dibubarkan dan
dilahirkan Jawatan Kepurbakalaan (Oudheidkundige Dienst, Kemudian
bernama Dinas Purbakala, diganti lagi menjadi Direktorat Sejarah dan
Purbakala, dipecah lagi menjadi DP3SP dan PUSPAN). Dr. NJ Krom
membawahi Dinas Purbakala ini.

Dr. Nj Prom memegang prinsip hasil seminar keperbukalaan lanjutan
pada tahun 1915. Hal yang diperhitungkan berpatokan pada segi
keperbukalaan, keindahan dan sejarah. Dr. FDK Bosch terdapat silang
pendapat yang tidak selesai. Dr. FDK Bosch bertindak terlalu jauh dan
tetap memugar beberapa candi dengan prinsipnya.

Akibatnya dari kekeliruan konsepsi Dr. FDK Bosch yang tidak patuh
pada prinsip butir seminar tahun 1915, candi Kalasan menjadi
korbannya dan tidak bisa dipugar ladi. (Kutipan dari buku: Menyingkap
Tabir Misteri Borobudur, Seri Buku Warisan Budaya, Penerbit PT Taman
Wisata Candi Borobudur & Prambanan, hal. 27)



Tahun 1900, pemerintah Hindia Belanda menetapkan sebuah panitia
pemugaran dan perawatan candi Borobudur. Tahun 1907-1911, Theodore
Van Erp memimpin pemugaran, candi Borobudur untuk pertama kali dalam
sejarahnya dapat ditegakkan kembali setelah menghilang, namum T. Van
Erp berpendapat bahwa hasil pemugaran ini hanya dapat bertahan 50
tahun, dan ternyata pendapatnya benar.



Tahun 1926 – 1940 diadakan pemugaran berikutnya, namun tetap tertunda
disebabkan ada malleise, ada perang. Tahun 1929, terbentuk suatu
panitia untuk menyelidiki proses kerusakan dan pelapukan batu-batu
candi Borobudur yang disebabkan oleh berbagai faktor.



Tahun 1956, Pemerintah Indonesia meminta kepada UNESCO, Prof.Dr.C.
Coremans (almarhum) datang ke Indonesia dari Belgia untuk mengadakan
penelitian terhadap sebab-sebab kerusakan batu-batu candi Borobudur.
Tahun 1960, pemerintah Indonesia mencanangkan bahwa candi Borobudur
dalam keadaan sangat kritis.

Tahun 1963, pemerintah Indonesia mengeluarkan Surat Keputusan berikut
penyediaan anggaran khusus guna pemugaran candi Borobudur. Tahun 1965
meletus peristiwa G.30.S, pemugaran candi tidak berjalan karena
inflasi yang tinggi. Tahun 1966, karena ketiadaan biaya maka
pemugaran yang baru dalam tahap penelitian diberhentikan sama sekali.



Bulan Agustus 1967, di kota kecil Ann Arbor (Michigan, USA)
dilangsungkan International Congres of Orientalist ke-27. Dari
Indonesia hadir Dr. R. Soekmono dengan mengajukan sebuah kertas kerja
berjudul `New Light on some Borobudur Problems'.

Kongres kemudian mendesak UNESCO untuk segera membantu Indonesia
dalam menyelamatkan monumen nasional Borobudur, maka keluarlah Surat
Keputusan tahun 1967 oleh UNESCO bahwa Borobudur segera diselamatkan.
Awal tahun 1968 UNESCO menegirimkan 2 orang ahli, B. Groslier dan C.
Voute ke Indonesia. Mereka berada di Indonesia setelah selama sebulan
mengadakan penelitian di Borobudur, berkesimpulan bahwa monumen
Borobudur memang dalam keadaan yang gawat dan perlu segera penanganan
yang sungguh-sungguh, untuk segera dipugar secara besar-besaran.
Tahun 1968, salah satu keputusan pada general Conference ke-15 di
Paris, delegasi Pemerintah Republik Indonesia ikut hadir, UNESCO
sangat menaruh minat dan perhatian terhadap masalah yang dihadapi
Indonesia. UNESCO berjanji untuk memberikan bantuan dalam usaha
penyelamatan pusaka umat manusia Candi Borobudur, yang juga merupakan
salah satu dari keajaiban dunia. Tahun 1969, pemugaran Candi
Borobudur dimasukkan dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun, sebagai
bagian dari Proyek Pembangunan Kebudayaan Nasional.



Tahun 1971, Menteri P&K membentuk `Badan Pemugaran Candi Borobudur
(BPCB) yang diketuai oleh Prof. Ir. R. Roosseno. Drs. R. Soekmono
sebagai Sekretaris, disamping tugasnya sebagai Pimpro dan Kepala LPPN
(Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional). Badan ini dibantu oleh
suatu tim staf ahli dari berbagai bidang disiplin ilmu: ahli
purbakala dari LPPN, ahli mikro biologi dan mekanika tanah dari
Fakultas Pertanian UGM, ahli teteknik bangunan dari Fakultas Teknik
UGM, ahli Geologi dari ITB, dan ahli beton dari Universitas
Saraswati. BPCB menangani semua masalah Borobudur baik yang bersifat
nasional maupun internasional.



Bulan Januari 1971 atas usaha UNESCO, di Jogjakarta diadakan antara
pihak Unesco dan Pihak Indonesia (Staf BPCB), dihadiri pula oleh para
ahli dari negara-negara Perancis, Belanda, Amerika Serikat, Jepang,
Jerman Barat, dan Italia. Pertemuan ini telah mensepakati bahwa
rencana pemugaran yang akan diterapkan pada Candi Borobudur adalah
sesuai yang telah dibuat oleh Nedeco (the Netherland Engineering
Consultants).



Tahun 1972, rencana kerja pemugaran candi Borobudur yang lebih
terpadu telah rampung dibuat.

Karena bersifat internasional, Pemerintah Indonesia telah
membentuk, `internasional Consultative Committee' dalam bualn
Desember 1972, tujuannya untuk menilai kemajuan pekerjaan dan
merencanakan pembiayaan pemugaran untuk setiap tahunnya. Komite ini
mengadakan raptnya setahun sekali di UNESCO, terdiri dari Dr. D.
Chihara (Jepang), Dr.J.N. Jenssen (Amerika Serikat, sejak tahun 1976
digantikan oleh W. Brown MORTON III). Sr.R.M. Lemaire (Belgia),
Dr.K.Siegler (Jerman Barat), Prof.Ir. Roosseno (Indonesia) sebagai
Ketua Komitee tersebut. Selain itu, Januari 1973, UNESCO membentuk
sebuah Badan Internasional ialah Executive Committee, yang tugas
pokoknya membantu Dirjend. UNESCO dalam mengelola dana-dana
internasional yang dikumpulkan dari berbagai negara sebagai sumbangan
untuk penyelamatan Candi Borobudur.

Pemugaran itu diperkirakan akan memakan waktu 6 tahun dengan biaya
sejumlah US$ 7,750,000 (perkiraan tahun 1971). Dari jumlah ini UNESCO
akan menyediakan dana sebesar US$ 5 juta, yang diperoleh dari
sumbangan para negara anggota, selebihnya akan ditanggung Pemerintah
Indonesia.



Tanggal 10 Agustus 1973, Presiden RI., Jenderal Soeharto berkenan
meresmikan dimulainya pekerjaan pemugaran Candi Borobudur. Di
Borobudur terdapat 2 buah prasasti; yaitu akan dimulainya pekerjaan
pemugaran candi itu, dan tanda selesainya pemugaran candi. Prasasti
pertama, sekarang terletak di sebelah Utara Pendopo, berukiran
kalimat yang berbunyi sebagai berikut :



"Dengan Megucapkan Syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa,
kami Pemerintah Republik Indonesia, meresmikan dimulainya Pemugaran
Candi Borobudur sebagai langkah utama dalam meneruskan warisan Pusaka
Budaya Nasional Indonesia, kepada keturunan yang akan datang demi
kebahagiaan umat manusia."



Prasasti kedua dari batu alam yang berasal dari Gunung Merapi,
beratnya 20,5 ton, tinggi 2 meter dan lebar 2 meter lebih. Pada
prasasti ini terukir kalimat yang berbunyi sebagai berikut :



"Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, Pemugaran Candi
Borobudur diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia,
Soeharto".Borobudur 23 Februari 1983. (Rangkuman dari ; Menyingkap
Tabir Misteri Borobudur ; Borobudur Salah Satu Keajaiban Dunia, oleh
Drs. Soediman; Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, Drs. R.
Soekmono; Sejarah Asia Tenggara, D.G.E. Hall; Satu Abad Usaha
Penyelamatan Candi Borobudur, Drs. R. Soekmono).

Empat Kebenaran Mulia

42. Inti dari seluruh ajaran Sang Buddha adalah Empat Kebenaran Mulia (cattari ariya sacca). Dengan mengerti Empat Kebenaran Mulia, dapat dikatakan seseorang telah mengerti agama Buddha. Sang Buddha memberi batasan tentang Kebenaran yang pertama, sebagai berikut:

Lalu, apakah kebenaran mulia tentang penderitaan itu (dukkha ariya sacca)? Lahir adalah penderitaan, bertambah tua adalah penderitaan, sakit adalah penderitaan, kematian adalah penderitaan; sedih, penyesalan, nyeri, duka-cita dan putus asa adalah penderitaan, berpisah dari yang dicintai adalah penderitaan, berkumpul dengan yang tidak disukai adalah penderitaan.1

Terlihat dari pernyataan diatas, bahwa Sang Buddha berbicara tentang dua macam penderitaan – jasmaniah dan rohaniah. Penderitaan jasmaniah adalah rasa sakit yang disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, umur tua, kecapaian, dan sebaginya. Penderitaan rohaniah termasuk rasa sakit oleh keadaan mental-takut, bosan, gelisah, sedih, kesepian dan segala perasaan negatif lainnya. Hidup adalah pengalaman-pengalaman pada penderitaan, dalam berbagai kadar, sedikit ataupun banyak. Sang Buddha tidak mengingkari adanya kebahagiaan dan kegembiraan, Beliau semata-mata mengingatkan kita pada kenyataan yang tak dapat disangkal, ialah bahwa penderitaan adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan, bahwa penderitaan adalah masalah yang kita semua alami, pula sekaligus ingin kita hindari. Pada dasarnya, hampir semua kegiatan dan upaya kita sehari-hari, tanpa kita sadari, bersangkutan dengan usaha untuk menghindari penderitaan dan mencari kebahagiaan. Namun, walau begitu banyak waktu dan akal-daya yang dikerahkan untuk mencari kebahagiaan sejati, kepuasan dan kedamaian hati tetaplah jarang dan sulit digapai. Sang Buddha, bagai seorang dokter yang penuh kasih-sayang, datang untuk menunjukkan pada umat manusia, cara untuk mengatasi penderitaan, kesakitan, kematian dan kelahiran kembali, dan juga cara agar dapat mencapai kebahagiaan Nibbana.

43. Kebanyakan agama berdasar pada kepercayaan semata, namun ajaran Sang Buddha berdasar pada kebenaran yang kokoh. Kebenaran (sacca) dapat didefinisikan sebagai pernyataan atau pengejawantahan-realisasi, yang berhubungan dengan kenyataan. Kebanyakan ajaran agama membuat pernyataan yang dikatakannya benar, namun karena kebanyakan pernyataan itu tak dapat dibuktikan, maka tetap disebut sebagai kepercayaan, bukannya kebenaran. Apabila seseorang berkata: “Ada seribu rupiah dalam saku saya,” dan setelah diperiksa memang ada seribu rupiah dalam sakunya, maka baru dikatakan bahwa pernyataan orang itu benar dan kita kemudian maklumi hal itu sebagai kebenaran.
Apabila kita tidak dapat memeriksa sakunya, kita hanya dapat mengatakan bahwa orang itu menyatakan mempunyai seribu rupiah dan bahwa kita mempercayai pernyataannya. Kebenaran, yang adalah pembuktian jelas lebih berharga dibanding pernyataan, yang hanya untuk dipercayai. Penderitaan bukan suatu paham; itu adalah suatu kenyataan. Penderitaan bukan juga sesuatu yang diterima keberadaannya, karena disebut dalam kitab suci, tapi sesuatu yang kita ketahui lewat pengalaman kita sendiri. Jadi sangatlah tepat bila dikatakan bahwa ajaran Sang Buddha berdasarkan kenyataan yang dapat dibuktikan oleh kita semua, bukan kepercayaan yang diterima atas dasar keyakinan semata.
44. Kebenaran mulia yang kedua adalah Kebenaran Mulia tentang Penyebab Penderitaan (dukkha samudaya ariya sacca). Sang Buddha memperlihatkan pada kita, bahwa semua penderitaan yang kita alami disebabkan langsung atau tidak langsung oleh keinginan-rendah (tanha) dan ketidak-tahuan (avijja)2 Adalah mudah dimengerti, bagaimana nafsu-keinginan dan ketidak-tahuan, dapat menyebabkan penderitaan batiniah. Sebagai contoh yang sederhana, seseorang berkeinginan kuat untuk menjadi kaya, sebab menurutnya uang adalah segala-galanya dan akan menyebabkannya berbahagia. Lalu, karena tidak berhasil menjadi kaya, dia frustrasi dan sangat kecewa. Hubungan antara keinginan-rendah (menginginkan uang) dan ketidak-tahuan (pandangan salah, bahwa uang semata yang dapat akan memberinya kebahagiaan) di satu pihak; dan penderitaan (frustrasi dan kekecewaan) pada pihak lainnya. Tapi, apakah keinginan – rendah dan ketidak-tahuan juga dapat menyebabkan penderitaan jasmaniah? Telah kita lihat sebelumnya (30), bahwa keinginan-rendah menyebabkan kamma, yang pada gilirannya kemudian menyebabkan kelahiran-kembali. Terlahir-kembali berarti memiliki badan, dan memiliki badan berarti bisa mengalami kecelakaan, terluka, sakit, menjadi lemah dan tua dan segala macam penderitaan badaniah. Dengan demikian jelas, bahwa keinginan-rendah dan ketidak-tahuan juga menyebabkan penderitaan badaniah.

45. Tapi, apabila keinginan adalah salah satu penyebab dari penderitaan, bukankah kita seharusnya tidak usah berdaya-upaya untuk hal apapun juga? Untuk dapat menjawab pertanyaan diatas, adalah penting untuk menyadari bahwa Sang Buddha mengajarkan perbedaan antara keinginan yang tumbuh dari ketidak-tahuan dan keinginan yang timbul atas dasar pengertian. Sang Buddha sering mengatakan, bahwa kita seharusnya senantiasa bergairah (adithana), kita senantiasa bertekad (tibbacchanda), juga senantiasa mempunyai cita-cita yang kuat untuk mencapai Nibbana (chandajato anakkate)3. Keinginan menjadi orang-tua yang baik, keinginan menjadi teman yang setia, keinginan menjadi warga-negara yang bertanggung jawab adalah keinginan yang berdasar atas pengertia, dengan demikian akan menghasilkan kebaikan, bukannya penderitaan. Berkeinginan melaksanakan Jalan atau mencapai Nibbana adalah keinginan berdasar atas pengertian, dengan demikian akan menghasilkan kebaikan, bukannya penderitaan. Apabila kehendak, keinginan dan cita-cita didasarkan atas pengertian, dan apabila kesemuanya itu diwujudkan dalam bentuk perilaku sehari-hari, dan bila semuanya diarahkan pada sasaran yang mulia, maka justru keinginan semacam itulah yang dianjurkan.

46. Kebenaran Mulia yang ke-tiga adalah Kebenaran Mulia mengenai Musnahnya Penderitaan (dukkha nirodha ariya sacca). Pada Kebenaran ini, Sang Buddha dengan jelas dan tegas mengajar kita, bahwa kita dapat bebas dari penderitaan dan mencapai kebebasan dan kebahagiaan Nibbana. Istilah Nibbana secara harfiah berarti ‘padam’, serta mengacu ke pemadaman api keserakahan, kebencian dan kegelapan-batin. Sang Buddha, juga menggunakan ungkapan-ungkapan lain unyuk menggambarkan keadaan ini – kelanggengan (amata), Pernaungan Yang Aman (khema), Kedamaian (santa), Perlindungan (tana), Kebahagiaan Tertinggi (paramam sukham), Penghancuran Keinginan rendah (tanhakkhaya), Keabadian (dhura). Apa itu Nibbana? Ada pendapat yang menganggap bahwa Nibbana identik dengan kemusnahan dari pribadi (Inggeris: annihilation). Sang Buddha menegaskan bahwa pandangan ini salah.

Apabila seorang telah membebaskan batinnya, para dewa sekalipun tak dapat menjejakinya, walau mereka berpikir: “Ini adalah kesadaran Tathagata.” Mengapa? Disebabkan karena Buddha tak terjejaki. Walau Saya berkata demikian, beberapa pertapa dan Brahmin, salah menafsirkan, bertentangan dengan kenyataan, mereka berkata: “Pertapa Gotama adalah berpandangan nihilis, sebab dia mengajarkan pemotongan, penghancuran, hilangnya keberadaan secara menyeluruh,” tapi Saya tidak mengatakan demikian. Dari dulu sampai sekarang, Saya hanya mengajarkan tentang Penderitaan dan penghentian Penderitaan.4

Ada kelompok Buddhis, yang menyatakan bahwa Nibbana adalah pemusnahan diri, namun mereka juga menolak bahwa Sang Buddha mengajarkan “Kemusnahan diri”. Mereka mencoba menjelaskan kontradiksi ini dengan berkata: “Pemusnahan-Diri hanya mungkin terjadi, bila ada pribadi yang akan dimusnahkan. Namun pada kebenaran akhir tidak ada suatu yang disebut “Pribadi”. Lalu bagaimana mungkin Nibbana adalah “pemusnahan-Diri”, bila tidak ada pribadi yang akan musnah?” Dibalik permainan-kata diatas, mereka juga tetap mengatakan Nibbana adalah kekosongan, dimana pribadi tidak ada lagi dalam bentuk apapun. Banyak kesempatan bagi Sang Buddha untuk dapat menyatakan bahwa mereka yang mencapai Nibban telah hilang keberadaannya, tapi Beliau tidak pernah mengatakan demikian. Sekali waktu, Upasiva bertanya kepada Sang Buddha:

Mereka yang telah pergi (ke Nibbana),
Apakah mereka musnah keberadaannya,
Atau mereka tetap tak lekang selamanya?
Jelaskan pada saya, Oh, Guru Bijaksana
Sebab Kaulah yang mengetahui sejelasnya.

Lalu, Sang Buddha menjawab:

Tak dapat dinilai mereka yang telah pergi.
Yang oleh seseorang mungkin dikatakan sebagai
Tidak ada lagi.
Ketika semua fenomena telah tiada,
Semua cara untuk menggambarkannya juga tiada.5

Sekali waktu, seorang pengembara bernama Vacchagota bertanya pada Sang Buddha, tentang keberadaan mereka yang telah mencapai Nibbana, mereka timbul (dengan kata lain, tetap keberadaannya) atau tidak timbul (dengan kata lain, hilang keberadaannya). Sang Buddha menolak untuk memberi jawaban, dan menerangkan pada kita bahwa Beliau menolak, karena Nibbana adalah keadaan yang tak dapat diterangkan dengan kata-kata.

“Tapi, Gotama yang bijaksana, dimana timbulnya para siswa yang batinnya telah terbebaskan itu?”
“Istilah ‘Timbul’ tidak dapat terpakai”
“Bila demikian, bagaimana kalau dikatakan ‘Tidak timbul’”
“tidak timbul” juga tidak terpakai.
“Bila demikian, apakah mereka ‘timbul dan juga tidak timbul’?”
“’Timbul dan juga tidak timbul’ juga tidak terpakai.”
“Bila demikian mereka ‘tidak timbul dan juga tidak tidak timbul’?”
“‘tidak timbul dan juga tidak tidak timbul’, juga tidak terpakai”.
“Dengan demikian, saya kehilangan jejak dalam hal ini, Gotama yang baik, saya bingung, dan kepuasan yang saya dapati pada pembahasan kita yang lalu, sekarang telah tiada lagi....”
“Kesadaran Tathagata terbebas dari pengungkapan-pengungkapan; dia begitu dalam, tak terukur, tak diketahui dalamnya seperti lautan. ‘Timbul’ tak terpakai, ‘tidak-timbul’ tak terpakai, ’Timbul dan juga tidak timbul’ tak terpakai, ‘tidak timbul dan juga tidak tidak timbul’ juga tidak terpakai.”6

Yang dimaksud Sang Buddha, bahwa seorang yang telah mencapai Nibbana keberadaannya tidak ada lagi, adalah bahwa semua ciri-ciri yang dihubungkan dengan keberadaan – lahir, mati, jasmaniah, bergerak dalam waktu dan ruang, dan berperasaan sebagai suatu pribadi sendiri – tidak lagi dapat digunakan untuk menggambarkan keadaan Nibbana. Yang dimaksud Sang Buddha, bahwa seseorang yang telah mencapai Nibbana keberadaannya tidak musnah, adalah tepat seperti itu. Dimensi Nibbana tak dapat digambarkan secara tepat dengan bahasa duniawi, pula keberadaan Nibbana tak dapat dibayangkan oleh pikiran duniawi.

47. Walau sulit digambarkan, namun Sang Buddha memberi pada kita gambaran umum tentang keberadaan Nibbana. Dengan menggambarkan batin manusia, Sang Buddha berkata:

Batin adalah putih suci, namun dia ternodai oleh kekotoran batin yang sebelumnya tidak ada. Orang awam tidak menyadarinya, oleh karenanya mereka tidak menjaga batinnya. Batin adalah putih suci, dan dapat dimurnikan dari kekotoran batin yang sebelumnya memang tidak ada. Siswa yang agung mengerti hal itu, makanya mereka menjaga batin mereka.7

Dengan kata lain, batin adalah suci pada awalnya (pabhassaram idam citam), kemudian dinodai kotoran batin yang sebenarnya adalah sesuatu yang asing bagi batin. Bila kotoran batin dibersihkan, maka batin kembali suci lagi. Sang Buddha bersabda:

Dimana tanah, air, api dan udara tak berpijak? Dimanakah yang panjang dan pendek, kecil dan besar, murni dan tak murni, nama dan rupa, akhirnya musnah? Jawabnya adalah: Itu adalah kesadaran dari seorang Yang Agung – tak tertandai, tak terikat, dan bercahaya. Disana tak ada tempat tanah, air, api dan udara itu berpijak. Disana yang panjang dan pendek, kecil dan besar, murni dan tak murni, nama dan rupa akhirnya musnah. Bila kesadaran telah musnah, maka demikian pula semuanya itu.8

Nibbana adalah “alam” dimana jasmaniah dan semua keberadaan berlawanan-pasang – panjang dan pendek, kecil dan besar, murni dan tak murni – tidak ada lagi serta batin tak tertandai lagi (anidassanam), tak terikat (anatam) dan bercahaya (sabbato pabham). Bercirikan sebagai keadaan-kekal (nibbanapadam accutam) dari kemurnian (suddhi), kebebasan (vimitti) dan kebahagiaan-tertinggi (nibbanam paramam sukham).

48. Sang Buddha juga memberitahu, bahwa Nibbana dicapai dalam dua tingkatan atau cara. Pertama, mereka yang mencapai Nibbana, dengan batin yang telah bebas, tapi karena jasmani-nya masih ada, maka dia masih menjadi obyek penderitaan jasmaniah. Ini disebut Nibbana dengan sisa dasar (saupadisesa nibbana). Lalu, setelah mereka mati, batin juga dibebaskan dari penderitaan jasmaniah dan seorang mencapai Nibbana sempurna. Ini disebut sebagai Nibbana tanpa sisa dasar (anupadisesa nibbana), atau sering pula disebut sebagai Nibbana sempurna (parinibbana).

49. Walau kita hanya dapat mengerti sepenuhnya keadaan Nibbana setelah kita mengalaminya sendiri, namun kita tetap dapat mengetahui keberadaan keadaan itu. Pertama, kita dapat menyimpulkan keberadaannya. Apabila ada dimensi disertai kelahiran, kematian, kekotoran batin dan kejadian, maka dapat disimpulkan bahwa ada dimensi tanpa itu. Naskah Buddhis kuno menyebutkan:

Dimana ada panas,
Disitu pasti pula ada dingin.
Demikian pula,
Dimana ada tiga api,
Disitu pasti pula ada Nibbana.

Dimana ada kejahatan,
Disitu pasti pula ada kebajikan.
Demikian pula,
Dimana ada kelahiran,
Keadaan “tak-terlahir”, dengan demikian, juga ada.9

Kedua, kita dapat mengetahui adanya keadaan seperti Nibbana, karena Sang Buddha mencapainya, dan Beliau dengan tegas menjelaskan keberadaannya. Beliau bersabda:

Ada sesuatu Yang Tak-Terlahirkan, Tak-Terjadi, Tak-Terbuat, Tak-Tergabung. Bila tidak ada yang Tak-Terlahirkan, Tak-Terjadi, Tak-Terbuat, Tak-Tergabung, maka tidak akan ada jalan untuk bebas dari Terlahir, Terjadi, Terbuat dan Tergabung. Tetapi karena adanya Yang Tak-Terlahirkan, Tak-Terjadi, Tak-Terbuat, Tak-Tergabung, maka ada jalan untuk terbebas dari Terlahir, Terjadi, Terbuat dan Tergabung.

Sekali lagi Beliau menegaskan keberadaan-Nya, sebagai berikut:

Ada suatu keadaan, dimana tidak ada tanah, air, api dan udara, dimana tidak ada Lingkup Ruang Tak-terbatas, Kesadaran Tak-terbatas, kehampaan, juga Lingkup bukan- Kesadaran bukan pula Tanpa-kesadaran, tidak di bumi ini, di bumi seberang ataupun keduanya, tidak ada matahari, tidak ada bulan, dimana tidak ada yang dating untuk dilahirkan, tidak ada yang pergi ke kematian, tidak ada kurun waktu, tidak ada yang terjatuh dan timbul. Bukan sesuatu yang terpaku, tidak pula bergerak, dia berasaskan kehampaan. Inilah sebenarnya akhir penderitaan.11

50. Dapatkah setiap orang mencapai kebahagiaan dan kebebasan Nibbana? Bila dapat, apakah setiap orang pada akhirnya akan mencapainya? Jawaban untuk hal yang pertama adalah jelas, yakni bahwa setiap orang dapat mencapai Nibbana, dan justru Sang Buddha senantiasa mendorong setiap orang untuk menjadikan Nibbana tujuan hidupnya serta agar berupaya sekuatnya untuk mencapainya. Senandung para wanita yang telah mencapai Nibbana, terdengar lantang dan jelas, dalam menjawab pertanyaan ini.

Keadaan Abadi ini telah banyak yang mencapainya,
Dan tetap dapat dicapai saat inipun,
Bagi siapa yang menjalankannya sendiri,
Tapi tidak bagi yang tidak berusaha sekuatnya.12

Apakah setiap orang dapat mencapai Nibbana atau tidak? Jawaban dari pertanyaan ini tak dapat diramalkan, karena setiap orang mempunyai minat dan cita-cita masing-masing. Sang Buddha telah mengajarkan Dhamma dan dengan segala macam cara, menganjurkan orang untuk melaksanakannya; namun tentu saja pelaksananya tergantung pada orang itu sendiri-sendiri.

“Gotama Yang Baik, setelah diajar dan diarahkan oleh-Mu, apakah semua siswa-Mu akan mencapai cita-cita murni itu, atau sebagian tidak akan berhasil?”
“Sebagian akan mencapainya dan sebagian tidak.”
“Apa alasannya, Gotama Yang Baik? Apa penyebabnya?”
“Saya akan bertanya padamu, Brahmin; jawablah bila berkenan. Bagaimana pikiranmu? Apakah engkau mengetahui jalan ke Rajagaha?”
“Ya, Gotama Yang Baik, saya mengetahuinya.”
“Baik, andaikan seorang dating padamu, dan berkata bahwa dia ingin ke Rajagaha dan bertanya arahnya. Lalu, engkau berkata: ‘Jalan ini menuju ke Rajagaha; berjalanlah terus sampai ke suatu desa, berjalanlah terus sampai emngkau sampai di pasar, lalu bila engkau berjalan terus engkau akan sampai di Rajagaha dengan kebun-kebunnya yang indah, hutan-hutan yang indah, lapangan-lapangan yang indah dan kolam-kolam yang indah. Namun, walau telah ditunjukkan dan diarahkan olehmu jalan itu, tapi orang tadi mengambil jalan lain yang menuju ke Barat. Dan, oleh karenanya dia tidak sampai ke Rajagaha. Lalu, andaikan seorang lagi datang padamu, dan dia juga berkeinginan ke Rajagaha, lalu karena dia mengikuti petunjukmu, maka akhirnya dia tiba dengan selamat. Jadi oleh karena ada Rajagaha, oleh karena ada jalan menuju kesana, dan juga ada engkau sebagai penunjuk jalan, mengapa orang yang pertama tidak sampai sedangkan orang yang satunya lagi sampai ke Rajagaha?” “Gotama Yang Baik, apa yang harus saya kerjakan dalam hal ini? Saya tiada lain hanyalah seorang penunjuk jalan.” “Demikian pula, Brahmin; ada Nibbana, ada jalan menuju ke Nibbana, dan ada Saya sebagai penunjuk jalan menuju ke Nibbana. Tapi hanya sebagian Siswa yang diajar dan diarahkan oleh-Ku yang mencapai Nibbana, sebagian lainnya tidak. Apa yang dapat Saya perbuat dalam hal ini? Sang Tathagata adalah penunjuk Jalan.13
Tapi satu hal yang pasti – siapapun yang mencapai Nibbana adalah sebagai hasil menjalankan ajaran Sang Buddha.

“Bila, dengan pengertian penuh Gotama Yang Baik telah mengajarkan Dhamma pada siswa-Nya untuk pemurnian makhluk hidup, untuk mengatasi penyesalan dan keputus-asaan, untuk mengakhiri kesedihan dan kemurungan, untuk mencapai tatacara-nya, untuk mencapai nibbana; lalu apakah seluruh dunia akan mencapainya, atau seperduanya, atau sepertiganya?”
Sampai disitu, Sang Buddha berdiam diri. Lalu Ananda berpikir: “Orang ini hendaknya jangan sampai berpikir bahwa Sang Buddha tidak dapat menjawab pertanyaan yang penting ini.” Jadi Ananda berkata: “Saya akan memberi suatu prumpamaan.” Bayangkan ada suatu kota dikelilingi oleh tembok dengan dasar pondasi yang sangat kuat, bermenara dan berpintu gerbang hanya satu, pintu gerbang dijaga ketat, hanya orang yang dikenal diperbolehkan melewatinya, dan orang asing tak diperbolehkan melewatinya. Lalu, ketika seseorang berjaga di sekeliling tembok, dia tidak menemukan satupun lobang yang dapat dilewati walau oleh seekor kucing pun. Dengan demikian dia tahu, bahwa semua makhluk, besar ataupun kecil, hanya dapat masuk ke kota atau keluar dari kota dengan melewati gerbang tersebut. Sama halnya dengan pertanyaanmu, tidaklah penting bagi Sang Buddha. Apa yang disabdakan Beliau adalah, bahwa “Siapapun yang telah terbebas, sedang terbebas ataupun akan terbebas dari dunia ini, dia akan terbebas dengan cara melepaskan ke-lima rintangan, melepaskan kesesatan-batin yang melemahkan kebijaksanaan, dia akan terbebas dengan cara mengembangkan batin dalam empat dasar kesadaran, dan dengan mengembangkan tujuh unsur pencerahan.”14

Setelah Sang Buddha mencapai Nibbana, Beliau “mengajak” semua umat manusia untuk mengikuti Jalan agar umat manusia juga dapat menikmati kedamaian, kebahagiaan dan kebebasan. “Ajakan” Beliau masih berlaku sampai saat ini.

Pintu-pintu ke ke Abadi-an telah terbuka,
Marilah, mereka yang dapat mendengar, berusaha dengan keyakinan.15

51. Kebenaran Mulia yang ke empat adalah Jalan yang menuju ke akhir penderitaan (dukkha nirodha gamini patipada), dan Jalan-nya adalah Jalan Berunsur Delapan (Ariya Atthangika Magga). Disebut ‘Mulia’ karena bila dilaksanakan, maka akan menuntun seseorang ke kehidupan yang mulia; disebut ‘Berunsur Delapan’, karena terdiri dari Delapan Unsur, dan disebut ‘Jalan’, karena seperti jalan pada umumnya, akan menuntun seseorang dari satu tempat ke tempat lain, dengan hal ini dari Samsara ke Nibbana. Dari Empat Kebenaran Mulia; tiga kebenaran yang pertama adalah bagimana pandangan Sang Buddha terhadap dunia ini – Teori; lalu Kebenaran ke –empat adalah apa yang dianjurkan Sang Buddha kepada kita untuk mengatasinya – Pelaksanaannya.

52. Empat Kebenaran Mulia mempunyai ciri-ciri yang khas. Pertama merupakan suatu sistim yang lengkap dari suatu latihan spiritual, berisikan semua yang dibutuhkan untuk kehidupan yang etis, pengertian yang jelas dan pencapai Nibbana. Karena Nibbana adalah tujuan hidup, maka semua aspek kehidupan diperhitungkan untuk usaha itu, dan itulah yang ditunjukkan dalam Jalan Berunsur Delapan. Adalah kenyataan umum pada masa sekarang, bahwa suatu agama turut menerima malah kadang-kadang mengikuti ajaran agama yang lain. Beberapa kaum Kristen liberal misalnya, saat ini setelah melihat nilai-nilai meditasi, juga telah mempraktekkan meditasi. Namun, karena Jalan Berunsur Delapan telah lengkap, Agama Buddha tidak perlu meminjam apapun dari keyakinan lain. Kedua, Jalan Berunsur Delapan adalah satu-satunya praktek keagamaan yang menuju kebebasan Nibbana. Sang Buddha bersabda:

Dari semua jalan, Yang Berunsur Delapan yang terbaik
Dari semua kebenaran, Yang Empat yang terbaik
Dari semua keadaan, bebas dari murka yang terbaik
Dari semua manusia, yang sadar yang terbaik
Inilah Jalan satu-satunya;
Tak ada lain yang bisa menjadikan murni dan sadar.
Jalani Jalan itu,
Dan engkau akan mengatasi Mara.

Jalani Jalan ini,
Dan engkau akan mengakhiri penderitaan.
Saya memaklumatkan Jalan ini,
Ditemukan oleh Saya sendiri.16

Kebanyakan agama tidaklah lengkap, sebab hanya dapat menuntun untuk terlahir kembali di-alam surga para Dewa, yang walau lebih baik dari alam-alam lainnya; namun tetap tidak sebaik dibanding dengan mencapai kebahagiaan tertinggi – Nibbana.

Ciri ke tiga dari Jalan Berunsur Delapan adalah bahwa Jalan itu berlaku selamanya. Selama ribuan tahun Jalan itu mengkin tertutup oleh ketidaktahuan atau ketakhyulan, tetapi karena berlaku selamanya, maka niscaya akan ada seseorang yang menemukannya kembali, berubah pandangan karenanya, dan mengajarkannya kembali demi kebaikan umat manusia. Demikian pula, berabad-abad sebelum ini, Jalan itu telah pernah diketahui tapi lalu terlupakan, lalu diketemukan kembali dan diajarkan oleh Buddha Gotama. Inilah, seperti yang dikatakan Sang Buddha “Jalan lama yang masih tetap berlaku dan akan senantiasa demikian.”

Sama halnya, andaikata ada seorang mengembara didalam hutan, lalu menemukan suatu jalan tua, jalan-setapak tua, dilewati oleh orang-orang di masa-masa sebelumnya, yang bila diikuti terus, akan sampai ke suatu kota kuno, suatu benteng agung kuno yang dihuni oleh orang masa lampau, dengan taman-taman dan hutan-hutannya, dengan penampungan air dan tembok-temboknya suatu tempat yang sangat indah. Lalu, seandainya pengembara itu menyampaikan penemuannya pada raja atau menteri, dengan berkata: “Tuan, ketahuilah, saya telah menemukan suatu kota kuno. Pugarlah tempat itu.” Lalu, seandainya kota kuno itu dipugar, menjadi cerah, berkembang, dihuni, terisi oleh wangsa-wangsa, dan bertumbuh serta bertambah luas. Demikian pula, saya telah melihat Jalan tua itu, Jalan yang telah dilewati para Buddha Tercerahi di masa-masa sebelumnya. Dan Jalan yang manakah itu? Itulah Jalan Berunsur Delapan.17

53. Sang Buddha kadang-kadang menyebut Jalan Berunsur Delapan dengan suatu nama lain, untuk menunjukkan bahwa Jalan itu tidak hanya untuk dilaksanakan untuk mencapai kebebasan Nibbana, namun semangat yang menjiwainya juga harus dijalankan. Beliau menamakannya “Jalan Tengah” (majjhima-patipada) diantara jalan yang ekstrim. Beliau secara rinci menyebut “pemuasan-diri” sebagai ekstrim yang satu, dan “pemusnahan-diri” sebagai ekstrim lainnya, lalu menganjurkan bahwa mereka yang mengikuti Jalan, hendaknya menghindari semua yang ekstrim. Ke-ekstriman adalah perilaku yang ditandai kepercayaan bahwa hanya satu jalan yang paling benar, tanpa toleransi pada pilihan lain dan tidaklah luwes. Ke-ekstriman cenderung menyebabkan seorang agresif dan membutakan diri pada jalan yang lain dalam melaksanakan sesuatu, dan inilah menyebabkannya berbahaya. Seorang Buddhis hendaknya melaksanakan Jalan dengan moderat (mattaññuta), luwes (mudu) dan diserta kemauan untuk mempertimbangkan sudut pandang yang lain. Dalam setiap aspek kehidupan dan pelaksanaannya, seorang Buddhis hendaknya menjadi seorang yang mengambil jalan tengah yang bahagia.

54. Jalan Berunsur Delapan secara tradisional dibagi dalam tiga bagian: Moral/kebajikan (sila), Pemusatan-Pikiran (samadhi) dan Kebijaksanaan (pañña). Pembicaraan Sejati, Tindakan Sejati dan Penghidupan Sejati dikelompokkan dalam Kelompok Moral; Daya-Upaya Sejati, Kesadaran Sejati dan Konsentrasi/Pemusatan Pikiran Sejati dikelompokkan dalam Kelompok Pemusatan-Pikiran; Pengertian Sejati dan Pikiran Sejati dikelompokkan dalam Kelompok Kebijaksanaan. Namun, untuk menekankan beberapa aspek penting yang kadang-kadang diabaikan, maka dalam pembahasan ini, kita akan mengelompokkan ‘Jalan’ dengan cara yang lain. Pengertian Sejati dikelompokkan sebagai Latihan Intelektual/Akal-Budi (Intellectual Training); Pikiran Sejati, Pembicaraan Sejati, Tindakan Sejati dan Penghidupan Sejati dikelompokkan dalam Latihan-Etika (Ethical Training); lalu Daya-upaya Sejati, Kesadaran-Sejati dan Pemusatan-Pikiran Sejati dikelompokkan dalam Latihan Kejiwaan (Psychological Training). Dengan pelaksanaan Latihan Intelektual, dimaksudkan agar kita hendaknya memahani terlebih dahulu secara jelas serta realitas konsep Empat Kebenaran Mulia; lalu kemudian secara bertahap melangkah mewujudkannya dengan mengembangkan langkah-langkah lain dari Jalan. Dengan Latihan Etika, kita menentukan apa yang baik, lalu melaksanakannya, baik pada diri kita pribadi juga pada tindak-tanduk kita dalam bermasyarakat. Dengan Latihan-Kejiwaan, dimaksudkan adalah perubahan batin secara sadar dari yang bersifat keduniawian ke keadaan batin yang murni. Dengan melaksanakan langkah-langkah Jalan Berjalur Delapan dalam kehidupan, maka seseorang menjadi Buddhis, dan dengan menghayati kebenarannya dalam batin, yang dengan sendirinya akan timbul setelah melaksanakannya, seseorang akan dapat mencapai Pencerahan.
Pengembara Nandiya bertanya kepada Sang Buddha: “Keadaan apakah, yang bila dikembangkan dan dilaksanakan akan menuntun ke Nibbana, sasarannya adalah Nibbana, bertitik-puncak di Nibbana?”
“Nandiya, ada Delapan Hal, yang bila dikembangkan dan dilaksanakan, menuntun ke Nibbana, sasarannya adalah Nibbana, bertitik-puncak di Nibbana.”
“Apa yang Delapan itu?”
“Pengertian Sejati, Pikiran Sejati, Pembicaraan Sejati, Tindakan Sejati, Penghidupan Sejati, Daya-upaya Sejati, Kesadaran Sejati dan Pemusatan-pikiran Sejati.”18


JALAN BERJALUR DELAPAN

Latihan Akal-budi/ Pengertian Sejati (samma ditthi)
Intelektual

Latihan Etika/ Pikiran Sejati (samma sankappa)
Moral Pembicaraan Sejati (samma vaca)
Tindakan Sejati (samma kammanta)
Penghidupan Sejati (samma ajiva)
Latihan Kejiwaan/ Daya-upaya Sejati (samma vayama)
Psikologik Kesadaran Sejati (samma sati)
Pemusatan-pikiran Sejati (samma samadhi)

Pembabaran Dhamma
Misteri Penderitaan Yang Telah Tersibak

Di antara semua misteri kehidupan yang ada di Alam Semesta ini, penderitaan
merupakan suatu misteri kehidupan yang terpelik dan terumit. Betapa tidak!
Ada banyak orang yang bahkan masih meragukan eksistensi penderitaan itu
sendiri, apakah memang betul-betul ada ataukah hanya semata-mata berfungsi
sebagai pengungkap lawan-kata kata "kebahagiaan". Padahal, eksistensi
penderltaan ini sebenamya boleh dianggap sebagai sisi yang paling dasar jika
dlbandingkan dengan banyak sisi lainnya. Dengan bersumber acuan pada Kitab
Suci Tipitaka Pali, semua sisi itu secara garis besarnya akan diungkap
melalui artikel di bawah ini. Selanjutnya, setelah artikel ini selesai
disimak dan dipahami dengan saksama, pertanyaan-pertanyaan yang bemada
seperti: memang ada penderitaankah? Apakah penderitaan itu? Dapatkah
penderitaan itu dilenyapkan ? Bagaimanakah cara melenyapkannya? Siapakah
sesungguhnya yang berhasil melenyapkan penderitaan itu? Dan banyak rentetan
pertanyaan lain; diherapkan tidak akan mencuat lagi di benak umat Buddha
khususnya, dan umat manusia umumnya.

Penderitaan adalah suatu misteri kehidupan yang sangat sulit dipecahkan.
Kapan misteri ini mulai muncul dan mengisi Alam Semesta ini belumlah dapat
dipastikan. Yang jelas, misteri ini tidak pernah menjadi catatan yang basi
dalam sejarah perjalanan Alam Semesta ini.

Makhluk hidup, sebagai panghuni Alam Semesta, tentu saja mempunyai kaitan
dan hubungan erat dengan penderitaan. Dengan perkataan lain yang lebih
jeias, dapatlah dinyatakan bahwa penderitaan adalah persoalan tunggal yang
dihadapi setiap makhluk. Sejak dini sekali, penderitaan telah bercengkerama
dengan semua makhluk hidup. Kekuasaannya tidak hanya terbatas pada makhluk
makhluk hidup yang masih lugu di zaman baheula saja. Tetapi, lebih dari itu,
penderitaan masih tetap merajalela pada zaman apa pun dan di mana pun juga.
Selama masih ada kehidupan, penderitaan selalu dapat dikenali dan dijumpai.
Ketidakhadirannya berartl tidak adanya kehidupan. Semua waktu yang dimiliki
oleh setiap makhluk hidup tersita untuk melayani ulahnya yang sesungguhnya
sangat menjengkelkan itu. Tetapi, penderitaan tidak pernah peduli dengan
semua itu. Penderitaan seakan-akan tidak pemah merasa bosan dan jemu dengan
tampang-tampang menyedihkan yang terlukis dan tergurat secara jelas
maupunsamar-samar pada setiap makhluk hidup. Tampaknya, penderitaan tidak
ingin dikubur atau dilupakan begitu saja. Hasrat untuk dapat selalu hadir di
tengah-tengah makhluk hidup terasa berat untuk dilepaskan.

Dalam menentukan mangsanya, penderitaan sama sekali tidak pernah pandang
bulu. Apakah makhluk hidup itu tinggal di Alam Neraka, Alam Setan, Alam
Binatang, Alam Raksasa, Alam manusia, Alam Surga maupun di Alam Brahma;
kesemuanya berada di dalam cengkeramannya yang mengerikan.

Secara teoritis, penderitaan dapat dipilih menjadi tiga bagian, yaitu:
penderitaan sebagai derita biasa, penderitaan sebagai akibat dari perubahan,
dan penderitaan sebagai akibat dari keadaan yang berkondisi. Adapun
penampilannya dalam kehidupan sehari-hari, penderitaan jenis pertama
terwujud dalam bentuk: kelahiran; usia tua; kesakitan; berkumpul dengan yang
tidak disenangi; terpisah dari yang dicintai; tidak mendapatkan apa yang
didambakan; kesedihan; keluh-kesah; kekecewaan; gangguan fisik maupun
mental; dan kematian. Penderitaan jenis kedua mencakup semua keadaan yang
terpengaruh oleh hukum perubahan. Penderitaan jenis terakhir timbul sebagai
akibat dari tidak adanya inti yang kekal dari unsur-unsur yang membentuk
setiap makhluk hidup, yaitu: badan jasmani, perasaan, pencerapan/ingatan,
bentuk-bentuk pikiran, dan kesadaran; yang secara garis besarnya lebih
dikenali sebagai unsur jasmani dan unsur batin.

Bertolakbelakang dengan kecenderungan umat manusia pada umumnya, yang
seakan-akan menyembunyikan adanya penderitaan dengan mengkhayalkan
keselamatan-keselamatan semu yang diharapkan akan dapat dicapai setelah
kematian, Sang Buddha mengakui keabsahan penderitaan sebagai suatu
keadaan-tetap yang mewarnai kehidupan ini. Bahkan Beliau memaparkan
bukti-bukti nyata tentang adanya penderitaan. Pemahaman tentang
adanya.penderitaan itulah yang justru menjadi salah satu sebab yang membuat
Beliau berani menyatakan diri kepada dunia dan kepada semua makhluk bahwa
Beliau telah mencapai Pencerahan Agung (Anuttara Sammasambodhi). Tanpa
memiliki pengetahuan dan pengertlan tentang hal itu, Sang Buddha tidak akan
menyatakan diri sebagai Sammasambuddha 2). Kepada seorang brahmana yang
bernama.Sela, Sang Buddha menyatakan:
"Saya telah memahami apa yang seharusnya dipahami. Apa yang seharusnya
dikembangkan telah Saya kembangkan, dan apa yang seharusnya dilenyapkan
telah Saya lenyapkan. Oleh karena itulsh, O Brahmana, Saya menjadi Buddha."
(Sutta Nipata 558).

Melihat kehidupan ini sebagai suatu keadaan yang diliputi oleh penderitaan
tidaklah selalu menandakan bahwa seseorang itu bersifat pesimistis karena
penderitaan itu memang benar-benar ada. Sebaliknya, mengingkari adanya
penderitaan dapat dianggap sebagai tindakan yang sama pengecutnya dengan
memalingkan diri dari fakta yang dlhadapl. Pesimistis sebenamya adalah suatu
sikap yang putus asa dan pasrah dengan segala keadaan menderita yang
dialami; tanpa suatu usaha untuk berjuang mengatasi dan mengubahnya.
Sikap hidup yang memprihatinkan itu pada dasamya timbul karena tidak adanya
keyakinan akan kemampuan diri sendlri dan sedikit banyak karena teracuni
oleh aci-acian sesat yang beranggapan bahwa kehidupan setiap makhluk telah
ditentukan dan digariskan terlebih dahulu oleh sesuatu yang berada dl luar
dirinya.

Sang Buddha dapat dianggap sebagai seorang pesimirtis apabila Beliau hanya
mengajarkan eksistensi penderitaan; tanpa menunjukkan jalan untuk
membebaskan diri dari penderitaan. Dalam realitas, dengan pelbagai cara
Beliau telah menunjukkan serta membuktikan adanya kemampuan laten umat
manusia dan makhluk-makhluk lain untuk bebas dari cengkeraman penderitaan
pada kehldupan sekarang ini juga -- tanpa harus menunggu ajal. Inilah
perbedaan radikal antara Kebebasan Sejati yang diajarkan oleh Sang Buddha --
dengan keselamatan semu yang dianggap dapat dicapai setelah kematian.
Para cendekiawan di abad-abad sekarang ini -- yang cenderung untuk menerima
segala sesuatu berdasarkan pada pengertian empiris, tentu akan meronta-ronta
jika dipaksa untuk mempercayai ataupun mengakui adanya keselamatan yang
tidak dapat dlbuktikan secara nyata dalam kehidupan ini. Dapat diperkirakan
bahwa tidak begitu lama lagi cerltera-ceritera fiktif yang mengisahkan
kehidupan abadi setelah kematian hanya diperlukan sebagai sajian pengisi
waktu senggang bagi anak-anak kecil yang maslh gemar mengkhayal, tetapi
tidak cukup berbobot untuk meyakinkan --apalagi memuaskan -- para pemikir
modem yang rasionalistis dan realistis.

Alam pemikiran moderm kini rupanya telah banyak berubah sehingga tidak
bersedia lagi memberikan tempat bagi ceritera-ceritera fiksi semacam itu
sebagai doktrin-doktrin keagamaan. Fakta dan fiksi memang seharusnya
dipisahkan dan diperjelas batas-batasnya. Ajaran-ajaran yang tidak sanggup
merealisasikan tugas ini, pasti tidak mampu mengimbangi derap kemajuan
kecerdasan berpikir umat manusia. Pembelaan yang bemada seperti "Kebenaran
agamis itu harus diterima berdasarkan pada iman atau kepercayaan saja; tidak
boleh atau tidak dapat dijajaki dengan rasio, logika serta kecerdasan",
dinilai tidak lebih hanyalah sebagai suatu sikap pelarian diri dari keadaan
terpojok.

Agama Buddha tidak menganakemaskan rasio, logika dan kecerdasan dengan
menyatakan bahwa kebebasan dari penderitaan dapat diraih dengan tiga hal itu
saja. Pencapaian Kebebasan Sejati itu berada di luar jangkauan rasio, logika
dan kecerdasan. Namun, hal ini bukan berarti bahwa pencapaian Kebebasan
Sejati itu bertentangan dengan rasio, logika dan kecerdasan. Rasio, logika
dan kecerdasan diakui sebagai penghantar awal bagi pencapaian itu, sedangkan
kebijaksanaan dan pengertian empiris adalah puncaknya. Dalam Sutta Nipata
839 tertulis:
"Bukan karena pandangan-pandangan, tradisi-tradisi, pengetahuan semata-mata
ataupun karena kebaikan dan kecerdasan, maka Kebebasan Sejati dapat dicapai.
Tetapi, bukan juga tanpa pandangan-pandangan, tanpa tradisi-tradisi, tanpa
pengetahuan, tanpa kebajikan dan tanpa kecerdasan, bahwasanya Kebebasan
Sejati Itu dapat dicapai."

Suatu hal yang sangat mengherankan terjadi pada saat pertarna Sang
membabarkan Dhamma (Kebenaran) kepada lima orang pertapa yang masih
meragukan dan menyangsikan pencapaian Pencerahan Agung-Nya. Walaupun sebelum
kelahiran-Nya yang terakhir pernah tinggal di Alam Surga, Sang Buddha tidak
mengawali misi-Nya dengan mengisahkan kehidupan di Alam Surga tempat di mana
Beliau berasal, ataupun mempropagandakan ajaran-Nya dengan menyatakan bahwa
mereka yang mentaati serta mematuhi petunjuk-petuniuk-Nya akan dilahirkan di
Alam tersebut. Beliau mengawali Ajaran-Nya justru dengan membeberkan
Kesunyataan Mulia tentang penderitaan, sesuatu yang lazimnya dianggap
sebagai permasalahan yang tidak enak untuk didengar, dirasakan, dialami
maupun dibayangkan. Dari situ dapat dilihat dengan jelas bahwa pemahaman
tentang seluk-beluk penderitaan adalah salah satu syarat mutlak pertarna
untuk mencapai Kebebasan Sejati. Pemahaman tentang penderitaan dapat
dianggap sebagai landasan utama yang terpenting dalam pandangan hidup
seorang umat Buddha. Tanpa memahami penderitaan dengan jelas dan terang,
rasanya tidak mungkin seseorang dapat mencapai Kebebasan Sejati. Kebebasan
Sejati merupakan konsekuensi wajar dari eksistensi penderitaan. Kalau tidak
ada penderitaan, Kebebasan Sejati juga tidak mungkin ada. Oleh karena itu,
sangatlah mustahil jika seseorang yang tidak menyadari bahwa dirinya pernah
mengalami penderitaan dapat merasakan betapa bahagianya Kebebasan Sejati
itu.

Dalam Samyutta Nikaya v. 433 terdapat sabda Sang Buddha yang
memparjelas hal ini, yang tertulis demikian:
"Ia yang melihat penderitaan, juga akan melihat asal mula penderitaan,
lenyapnya penderitaan, dan Jalan Mulia 3) menuju lenyapnya penderitaan."

Perlu diketahui bahwa Sang Buddha hanya rnenunjukkan asal mula penderitaan,
yaitu: nafsu keinginan akan pemuasan kenikmatan indera, nafsu keinginan akan
perwujudan dan kelahiran, dan nafsu keinginan akan pemusnahan diri; bukan
asal mula kehidupan. Sang Buddha tidak mencoba memecahkan semua persoalan
filsafat yang membingungkan umat manusia. Beliau tidak pernah membuang
waktu-Nya yang sangat berharga hanya untuk berurusan dengan teori-teori dan
spekulasi-spekulasi yang tidak membawa kemajuan batin dan Pencerahan Agung.
Sang Buddha bukanlah mesin komputer yang selalu dengan sukarela menjawab
setiap pertanyaan yang disodorkan padanya; tanpa menghiraukan apakah jawaban
yang diberikan itu akan mnmbawa manfaat pada si penerima atau tidak.
Mengetahui asal mula kehidupan bukanlah suatu jaminan bagi seseorang untuk
mencapai Kebebasan Sejati. Oleh karena itu, Sang Buddha tidak menaruh
perhatian pada masalah yang tak berfaedah itu.

Pada suatu ketika, sewaktu tinggal di Kosambi di hutan Simsapa, Sang Buddha
memungut segenggam daun yang terjatuh dari pohon, lalu bertanya kepada para
bhikkhu, "Bagaimana pendapatmu, O para bhikkhu, manakah yang lebih banyak,
daun-daun yang ada di tangan-Ku ini, ataukah daun-daun yang masih ada di
pohonnya di hutan ini?" "Tentu lebih banyak yang masih dipohonnya dl hutan
ini," Jawab para bhikkhu. Beliau kemudian bersabda, "Demikian juga, O para
bhikkhu, masih sangat banyak hal-hal yang Saya ketahui, tetapi tidak Saya
terangkan kepadamu. Apakah sebabnya Saya tidak membabarkannya?
Hal-hal itu,
O para bhikkhu, sesungguhnya tidak berguna, tidak penting dalam menempuh
kehidupan suci, tidak membawa tanpa-kemelekatan, tanpa nafsu indera,
penghentian, ketenangan, pengertian-sempurna, pencerahan agung, dan
Kebebasan Sejati. Kemudian, O para bhikkhu, apakah yang teiah Saya babarkan
padamu? Penderltaan, asal mula penderitaan, lenyapnya penderitaan, dan Jalan
Mulia menuiu lenyapnya penderitaan itulah yang telah Saya babarkan
kepadamu!" (Sarnyutta Nikaya v. 437).

Alih-alih membiarkan para pengikut-Nya terperangkap dalam spekulasi tentang
asal mula kehidupan, Sang Buddha menasihatkan para pengikut-Nya untuk selalu
bersemangat dalam berjuang mengatasi penderitaan.

Penderitaan baru dapat diatasi setelah seseorang melenyapkan sebab-sebab
yang mendorong dirinya mengalami proses kelahiran yang tiada hentinya.
Amat
sia-sialah jika seseorang mendambakan kebebasan dari penderitaan dengan
masih memegang erat-erat keinginan untuk hadir dalam kehidupan ini.
Keinginan akan perwujudan atau kelahiran adalah salah satu sebab yang
menyeret seseorang untuk bertumimbal-lahir·

Dalam Dhammapada XXIV: 9 tertulis: "Makhluk-makhluk yang terikat pada
nafsu-nafsu keinginan, berlarian kian kemari seperti kelinci yang terjebak.
Karena terikat erat-erat oleh belenggu-belenggu dan ikatan-ikatan, mereka
mengalami penderitaan berulang kali dalam waktu yang lama." Jika pengertian
seperti ini telah ditembus, seseorang juga tidak mungkin akan
menudlng-nuding makhluk lain sebagai penyebab penderitaan bagi dirinya.
Pelimpahan kesalahan kepada makhluk lain sebagai perwujudan dari kemiskinan
tanggung jawab pribadi juga akan dapat dihindarkan. Satu kali pun Sang
Buddha tidak pernah menganggap penderitaan sebagai pelampiasan kebencian
suatu makhluk yang tak bertanggung jawab. Alih-alih menggambarkan
penderitaan sebagai akibat dari suatu "kutukan" tak terampunkan, ataupun
sebagai penentuan "nasib" yang tak dapat diganggu gugat; yang harus diterima
"tanpa komentar" dan "tanpa syarat", Sang Buddha menyatakan penderitaan
sebagai akibat dari kebodohan batin sehingga makhluk hidup terjerumus dalam
pemuasan tiga macarn nafsu keinginan. Lebih lanjut, Beliau iuga
menyingkirkan anggapan sesat sementara orang bahwa dunia ini terciptakan
sebagai tempat "pengujian" dan "peradilan" moral bagi umat manusia. Agaknya
cukup naif jika seseorang memberikan komentar bahwa, "Jika kehidupan ini
berjalan sesuai dengan takdir atau nasib, maka dunia ini sesungguhnya tidak
lebih dari sebuah panggung sandiwara; di mana umat manusia dan makhluk lain
dipaksa untuk memerankan suatu drama kehidupan yang mengharukan, yang
menuntut mereka berlari tunggang-langgang dalam lumpur kesedihan dan
jurang penderitaan.

Bertitik-tolak dari sabda suci yang tercantum dalam Samyutta Nikaya v. 433,
dapatlah disimpulkan bahwa keempat Kesunyataan Mulia yang dibabarkan
pertarna kali di Isipatana dl Migadaya itu saling berkaitan dan bergantungan
satu dengan yang lain. Keernpatnya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang
lain. Empat Kesunyataan Mulia adalah suatu analisa-praktis tentang misteri
penderitaan yang telah lama terkubur di Alam Semesta ini. Pola berpikir yang
sistematis itulah yang dewasa ini sering kali diterapkan oleh banyak ilmuwan
terkemuka dalam melakukan penelitian-penelitian dan pengkajian-pengkajian
ilmiah. Oleh karena itu, agaknya tidak terlalu berkelebihan jika dalam
bahasa pali, Sang Buddha sering disebut "bhisakko" yang berarti "Tabib Agung
yang tiada bandingnya".

Berdasar pada masalah ini, dalam salah satu karya tulisnya yang berjudul
"Great Personalities on Buddhism", Ven. Dr. K. Sri Dhammananda tidak lupa
menyitir kata-kata Dr. Edward Conze yang menyatakan bahwa sebagaimana
seorang dokter yang pertama-tama harus menentukan diagnosa penyakit,
kemudian menemukan penyebabnya, merenungkan kesembuhannya, dan akhirnya
mempergunakan obatnya; demikian pula halnya dengan yang dilakukan Sang
Buddha. Beliau telah membabarkan Empat Kesunyataan Mulia -- yang menunjukkan
bentuk-bentuk penderjtaan, asal mula penderitaan, lenyapnya penderitaan, dan
Jalan Mulia menuju lenyapnya penderitaan

Dalam Dhammacakkappavattana Sutta, Sang Buddha menegaskan bahwa Kesunyataan
Mulia tentang penderitaan itu harus dipahaml (parinneyya), asal mula
penderitaan itu harus dilenyapkan (pahatabba), sedangkan Jalan Mulia menuju
lenyapnya penderitaan itu harus dikembangkan (bhavetabba). Dengan memahami
Kesunyataan Mulia tentang penderitaan dengan melenyapkan asal mula
penderitaan; dan dengan mengembangkan Jalan Mulia menuju lenyapnya
penderitaan, seseorang akan mencapai (saccikatabba) Kebebasan Sejati dari
penderitaan (Nibbana). Kebebasan Sejati tidak pemah dan tidak akan pemah
dapat dicapai dengan diratapi, ditangisi, dlrenungi maupun dengan berdoa,
bersembahyang serta mempersembahkan sajian kurban,
Empat Kesunyataan Mulia yang dapat menimbulkan Pandangan (Cakkhu),
Pengetahuan (Nana), Kebijaksanaan (Panna), Penembusan (Vijja) dan Pencerahan
(Aloko) itu jelas membutuhkan kemandirian dari masing-masing individu. Dalam
Anguttara Nlkaya ii. 48 tertulis penjelasan lebih lanjut Sang Buddha
berkenaan dengan hal ini, yang berbunyi demikian:
"Dalam tubuh yang panjangnya sepadem ini, beserta kesadaran dan
pencerapannya, Kunyatakan adanya penderitaan, asal mula penderitaan,
lenyapnya penderitaan, dan Jalan Mulia menuju lenyapnya penderitaan."

Berdasarkan pada sabda suci ini, eksistensi seorang Juru Selamat 4) bagi
umat Buddha dalam mencapai Kebebasan Sejati sangat tidak diperlukan.
Sang Buddha mengajarkan umat manusia untuk bersikap sebagai orang dewasa
yang harus berikhtiar sendiri dalam segala hal, bukan seperti bayi cilik
yang hanya untuk makan saja harus disuapi. Tampaknya, Sang Buddha sangat
menghargai harkat dan martabat manusia sebagai makhluk berjiwa besar yang
tanggap, tangkas dan cakap dalam berupaya mencapai Kebebasan Sejati bagi
dirinya sendiri dan oleh dirinya sendiri; tanpa harus merengek-rengek
ataupun memelas pada makhluk lain apapun juga.

Walaupun memfokuskan segala sesuatunya pada diri sendlri, ajaran Sang Buddha
kurang begitu tepat iika dianggap sebagai suatu pandangan yang
Egoposentris -- arus pemikiran yang cenderung berkisar pada dan ke dalam
"pribadi" sendiri -- karena Agarna Buddha tidak mempercayai adanya atma
(Ego) atau Roh yang kekal dalam diri setiap makhluk hidup.
Anggapan orang-orang tertentu bahwa di dalam diri setiap makhluk terdapat
suatu atma yang bersumber dari suatu atma yang lebih tinggi (Paramatma)
sebenarnya dapat dianggap sebagai manifestasi dari keadaan batin yang lemah
sehingga membutuhkan suatu perlindungan yang dikhayalkan dapat membebaskan
dirinya dari cengkeraman penderitaan.

Uskup Berkeley pun telah mengakui bahwa apa yartg disebut atom --yang di
dalamnya dianggap terdapat suatu inti spiritual yang disebut Roh - itu
sesungguhnya hanyalah suatu fiksi metafisik. Profesor James kemudian
menambahkan, "Sejauh berkenaan dengan pembuktian fakta-fakta pengalaman
kesadaran yang sesungguhnya, teori Roh merupakan suatu teori yang
berlebih-lebihan. Sedemikian jauh, tak seorangpun dapat dipaksa
menyetujuinya demi alasan-alasan ilmiah." Sebagai jalan keluar sementara
dalam menyelesaikan masalah Roh, ia menyimpulkan, "Plkiran itu sendiri
adalah sang pemikir."

Tetapi, seseorang mungkin akan menyangsikan, "Kalau rnemang tidak ada Roh
yang kekal, lalu siapakah yang mencapai Kebebasan Sejati itu?" Suatu Roh
yang kekal memang sangat diperlukan untuk menopang kepercayaan tentang
adanya kehidupan abadi di Alam Surga 1) yang kekal, dan/atau siksaan tanpa
akhir dalam Neraka abadi. Namun, Kebebasan Sejati yang diajarkan.oleh Sang
Buddha justru tidak memerlukan hal itu karena Kebebasan Sejati bukanlah
suatu Alarn Kehidupan apapun juga. Kebebasan Sejati adalah suatu pencapaian
yang unik; yang tak terperikan; yang hanya dapat diselami oleh mereka yang
telah terbebas dari keserakahan, kebencian dan kesesatan batin.

Untuk memberikan kejelasan mengenai pencapaian Kebebasan Sejati berkaitan
dengan doktrin "tanpa Roh" (Anatta); dalam bukunya yang berjudul Visuddhl
Magga, Bhikkhu Buddhaghosa menuliskan: "Hanya penderitaan yang ada, namun
tidak ada seorang pun yang menderita. Hanya perbuatan yang ada, namun tidak
ada seorang pun yang berbuat. Hanya Jalan Mulia yang ada, namun tidak
ada
seorang pun yang berjalan diatasnya. Hanya Kebebasan Sejati (Nibbana) yang
ada, namun tidak ada seorang pun yang memasukinya."

Pernyataan ini bukanlah suatu permainan kata-kata sebagaimana acapkali
dilakukan oleh para ahli debat, tetapi merupakan filsafat Agama Buddha
tertinggi yang memerlukan perenungan mendalam sehingga nantinya akan dapat
mengikis habis semua aci-acian sesat yang mengkhayalkan segala sesuatu
sebagai "aku", "dlriku" dan "milikku".

Kebebasan Sejati memang bukan sesuatu yang gampang dicapai, dan misteri
penderitaan juga bukan sesuatu yang mudah terkuakkan. Pada galibnya, untuk
dapat menyibak tabir misteri penderitaan, dibutuhkan suatu perjuangan yang
maha dahsyat; suatu perjuangan yang tak tergambarkan dan tak tertandingkan;
yang mungkin hanya mampu dilaksanakan oleh segelintir makhluk hidup. Sang
Buddha Gotama adalah salah satu makhluk hidup yang telah berhasil menyibak
tabir misteri penderitaan yang telah menyelimuti Alam Semesta selama lebih
dari beribu-ribu tahun, dan mampu menunjukkan Jalan yang ditempuh-Nya kepada
makhluk lain. Dengan tersibaknya misteri penderitaan, berarti Beliau juga
telah menyampaikan "good bye" kepaaa dunia yang terliputi oleh penderitaan
ini.

Tak tergoncangkan Kebebasan Batin yang telah dicapainya. Itulah
kelahiran-Nya yang terakhir. Bagi-Nya, tidak ada lagi tumimbal lahir dalam
Alam mana pun, dan dalam wuiud ape pun.

Kemunculan seorang penyibak misteri penderitaan betul-betul merupakan suatu
kejadian yang sangat langka. Menurut catatan seiarah kuno, di bumi yang
sekarang ini 5), telah lahir empat orang penyibak misteri penderitaan, dan
Sang Buddha Gautama adalah orang yang keempat. Dalam catatan sejarah kuno
itu juga, dituliskan bahwa sebelum bumi ini hancur, akan muncul seorang
penyibak misteri penderitaan yang lain. Kemunculan-Nya tentu sangat
diharapkan dan dinantikan oleh semua makhluk hidup yang batinnya waras, dan
yang pasti, kehadiran-Nya di bumi ini bukan untuk "mengadili" dan
"menghukum" orang-orang jahat, tetapi semata-mata untuk mengajak umat
manusia dan makhluk-makhluk lainnya mencapai Kebebasan Sejati dari
penderitaan.

Apakah dipercayai atau tidak, penderitaan; penyebab penderitaan; lenyapnya
penderitaan dan jalan menuju lenyapnya penderitaan tetap berada dalam diri
masing-masing makhluk hidup.

Sumber : Buku "Untaian Dhammakatha"
Oleh : Jan Sanjivaputta
Penerbit : Yayasan Pancaran Dharma


Kelahiran - Kembali

34. Sering dipertanyakan didalam masyarakat: “Apa yang terjadi sesudah kita mati?” Ada tiga macam jawaban untuk pertanyaan itu. Mereka yang percaya pada adanya “maha-dewa penguasa semesta” akan menjawab, bahwa setelah mati seorang akan pergi ke salah satu, surga kekal atau neraka kekal tergantung pada perbuatan atau agama orang itu. Yang lain mengatakan bahwa bila hidup seseorang berakhir, keberadaannya juga berakhir. Ini adalah kepercayaan “kemusnahan pada kematian”, yang merupakan pandangan materialistik. Sang Buddha berkata setelah kematian, kita akan terlahir pada kehidupan baru, dan bahwa proses mati dan terlahir kembali ini akan berkelanjutan sampai kebebasan Nibbana tercapai.

35. Agama Buddha menganggap kedua pandangan diatas tidak benar dan tidak lengkap. Pandangan pertama ditolak karena tidak masuk-akal, tidak adil dan kejam. Si jahat tidak semestinya dilaknat hukuman-kekal di neraka, juga Si baik tidak semestinya dianugerahi surga-kekal, hanya karena berbuat kejahatan atau kebaikan dibumi selama 60 atau 70 tahun, sepanjang hidupnya sekalipun, masa 60 atau 70 tidak sebanding dengan kekal selama-lamanya. Juga adalah tidak masuk akal, bahwa “maha-dewa yang semestinya maha-pengasih” mencampakkan dan menghukum “ciptaannya” berupa siksaan dan kesakitan selama tak terhitung jutaan tahun. Pandangan diatas juga tidak bisa menjawab banyak pertanyaan-pertanyaan penting sehubungan dengan itu. Apa yang dialami para binatang setelah mati? Apa yang terjadi pada jutaan bayi yang mati dalam kandungan, pula yang mati segera setelah lahir? Apakah mereka ke surga atau ke neraka? Kalau ke surga, maka jelas tak adil sebab mereka belum pernah berbuat baik, lalu bila dihukum di neraka juga tidak adil karena mereka belum sempat berbuat kejahatan.

Pandangan materialistik, juga tidak dapat menjawab banyak pertanyaan-pertanyaan mendasar. Para kaum materialistik sulit menjawab fenomena kompleks, misalnya bagaimana kesadaran manusia yang timbul setelah pertemuan dua sel kelamin dan perkembangannya selama 9 bulan. Saat ini, setelah Parapsikologi telah diterima sebagai cabang ilmu pengetahuan, fenomena seperti telepati dan sebagainya, bertambah tidak cocok dengan pandangan kaum materialistik tentang batin manusia. Agama Buddha menawarkan keterangan yang sangat memuaskan tentang dari mana kita datang dan apa yang akan terjadi setelah kita mati.

36. Proses kelahiran kembali, yang disebut punabbhava, secara harfiah berarti ‘menjadi lagi’. Sang Buddha berkata, untuk dapat terlahir kembali, tiga syarat harus dipenuhi: sepasang (calon) orang tua yang subur, hubungan seksual dan adanya gandhabba.1 Istilah ‘gandhabba’ berarti datang dari tempat lain’, mengacu pada suatu arus energi batin yang terdiri dari kecenderungan-kecenderungan, kemampuan-kemampuan dan ciri-ciri karakteristik yang meninggalkan badan yang telah mati. Ketika badan mati, ‘batin bergerak keatas’ (uddhamgami)2 dan mengembangkan diri lagi pada sel telur (calon) ibu yang baru saja dibuahi. Janin tumbuh, lahir dan berkembang sebagai pribadi baru, dengan diprasyarati, baik oleh karakteristik batin yang terbawa (dari kehidupan lampau) juga oleh lingkungan barunya. Kepribadiannya akan berubah dan bermodifikasi oleh usaha kesadaran, pendidikan, pengaruh orang tua dan lingkungan sosial. Watak menyukai atau tidak menyukai, bakat kemampuan dan sebagainya, yang dikenal sebagai “sifat bawaan” dari setiap individu sebenarnya adalah terbawa dari kehidupan sebelumnya. Dengan kata lain, watak serta apa yang dialami pada kehidupan kita saat sekarang, pada tingkat-tingkat tertentu adalah hasil (vipaka) dari perbuatan (kamma) kehidupan lampau. Perbuatan-perbuatan kita selama hidup, demikian pula, akan menentukan di alam kehidupan mana kita akan dilahirkan.

37. Secara sederhana, untuk dapat mengerti bagaimana ‘batin’ ‘berpindah’ dari satu badan ke badan yang lain, maka kita dapat membandingkannya dengan pancaran siaran radio. Gelombang radio, yang jelas memang tidak terdiri atas musik atau pidato, namun adalah energi pada frekwensi-frekwensi yang berbeda, dipancarkan lewat angkasa, tertarik dan ditangkap oleh pesawat penerima/radio yang kemudian disiarkan sebagai musik atau pidato. Dengan cara yang sama, ‘batin’ meninggalkan badan pada saat kematian, bergerak di angkasa, tertarik dan masuk ke sel telur yang telah dibuahi dan di-‘siar’ kan sebagai suatu pribadi baru. Baik gelombang radio maupun ‘batin’ bukanlah benda tapi suatu proses dinamis, dengan demikian tidaklah benar bila dikatakan bahwa “jiwa yang tak berubah” berpindah ke badan baru sebagai halnya musik dan pidato terlepas berpindah ke pesawat pemancar ke radio. Pula, jelas tidak ada ‘keadaan-antara’ (antarabhava), sebab ‘batin’ langsung berpindah dari satu badan ke yang lainnya, seperti halnya gelombang radio langsung ditangkap segera setelah dipancarkan.

38. Apakah ada bukti yang mendukung doktrin kelahiran kembali? Selama berabad-abad, telah banyak orang yang menyatakan dapat mengingat kehidupannya yang lalu, sebelum dilahirkan kembali. Catatan tertua justru dari Eropa, Pythagoras (582-500 SM), filsuf dan ahli matematika Yunani, menyatakan dapat mengingat beberapa kehidupannya yang lalu. Akhir-akhir ini banyak kasus-kasus orang-orang yang dengan jelas dapat mengingat kejadian-kejadian yang dialaminya pada kehidupannya yang lampau, beberapa dari kasus tersebut telah dibuktikan kebenarannya. Bukti-bukti kelahiran kembali yang paling mengesankan adalah berupa hasil riset dari Ian Stevenson, seorang ilmuwan Amerika. Dr. Stevenson, yang adalah profesor di bidang Psikiatri (Ilmu Kedokteran Jiwa) di Universitas Virginia, memulai risetnya ditahun 1958, dan ternyata kemudian disambut dan dikenal dunia internasional. Selama bertahun-tahun, dia melaporkan secara rinci kasus-kasus orang dewasa maupun anak-anak, yang dapat mengingat kehidupan lalunya-semuanya dilatar-belakangi oleh metoda riset ilmiah secara cermat. Rekan ilmuwannya, Dr. Harold Leif, mengomentari riset Ian Stevenson, sebagai berikut: “Hanya salah satu dari dua kemungkinan, dia membuat satu kesalahan besar atau dia akan dikenal sebagai Galileo-nya abad ke XX.”3

39. Mari kita meninjau satu kasus penelitian Dr. Stevenson, seorang anak bernama Ravi Shankar dilahirkan 1951 di kota Kanaiy, India Utara. Ayahnya bernama Ram Gupta; sejak berumur dua tahun si anak berkeras bahwa ayah sebenarnya adalah seorang bankir bernama Jogeshwar. Dia juga mengatakan bahwa pada kehidupan lalunya dia dibunuh dengan digorok tenggorokannya oleh dua orang – Chaturi dan Jamahar. Sebagai bukti, si anak menunjuk tanda lahir di lehernya, yang memang bertanda-lahir seperti bekas luka potong. Penyelidikan kemudian membuktikan, bahwa ternyata setengah mil dari kediaman mereka, ada seorang bernama Jogeshwar yang mempunyai anak laki-laki bernama Munna yang telah dibunuh, persis seperti yang digambarkan oleh Ravi Shankar. Yang berwajib sejauh ini memang sangat mencurigai dua orang sebagai pembunuhnya, seorang binatu bernama Chaturi dan seorang bankir bernama Jamahar, namun mereka dibebaskan karena kurangnya bukti. Munna dibunuh enam bulan sebelum Ravi lahir. Riset Dr. Stevenson terbukti kebenarannya secara sangat rinci.4 Banyak dari kasus-kasus seperti diatas mempunyai bukti yang sangat kuat, ialah bahwa setelah kematian, seorang akan terlahir kembali dengan ingatan yang jelas pada kejadian yang sangat dramatis pada kehidupan lampaunya. Sebaliknya, sejauh ini, tidak pernah ada bukti-bukti yang dapat mendukung kedua pandangan yang disebutkan sebelumnya diatas.34

40. Terlepas dari bukti-bukti diatas, doktrin kelahiran kembali amat menarik karena sangat adil. Menurut pandangan agama lain, walau seorang berperilaku baik dalam hidupnya, maka dia tetap dapat saja dihukum selamanya di neraka kekal, karena dianggap memeluk agama yang salah. Ini jelas sangatlah tidak adil. Kamma dan kelahiran kembali berarti orang baik akan terlahir baik, apapun agama yang dianutnya. Pula, orang jahat akan tetap mempertanggung-jawabkan perbuatannya, walaupun dia “insaf” dan mengubah agamanya di menit-menit terakhir kehidupannya. Doktrin kelahiran kembali juga memungkinkan setiap orang untuk senantiasa mempunyai kesempatan lagi. Pandangan agama lain, hanya memberi kesempatan sekali saja. Apa yang dia perbuat dan apa kepercayaannya pada hidupnya yang singkat pada satu kehidupan, menentukan bagaimana dia selamanya secara kekal. Sebaliknya, Sang Buddha menegaskan bahwa bila kita gagal memurnikan diri kita pada kehidupan ini, kita masih dapat melakukannya pada kehidupan akan datang atau yang berikutnya lagi. Kelahiran kembali juga memungkinkan kita untuk senantiasa menyempurnakan keahlian dan minat kita yang telah kita kembangkan pada kehidupan kini, pada kehidupan akan datang. Sang Buddha, malah mengatakan kita dapat saja bertemu, dengan orang yang kita cintai dan sayangi pada kehidupan mendatang, bila kita mempunyai keterikatan yang kuat dengannya.

Perumah tangga Nakulapita dan isterinya Nakulamata mendatangi Sang Buddha; setelah bersimpuh, Nakulapita berkata: “Guru, sejak isteri saya dibawa ke rumah pada saya, ketika itu saya masih seorang anak perjaka, dia masih seorang anak gadis, saya tidak pernah secara sadar menyakitinya baik rohaniah, apalagi jasmaniah. Guru, kami bertekad untuk saling menyayangi, tidak saja pada kehidupan ini, namun juga pada kehidupan mendatang.”

Nakulamata kemudian berkata: “Guru, sejak saya dibawa kerumah suamiku, ketika itu saya masih seorang anak gadis, dia masih seorang anak perjaka, saya tidak pernah secara sadar menyakitinya baik rohaniah, apalagi jasmaniah. Guru, kami bertekad untuk saling menyayangi, tidak saja pada kehidupan ini, namun juga pada kehidupan mendatang.”

Sang Buddha kemudian bersabda: “Apabila suami dan isteri bertekad untuk saling menyayangi pada kehidupan ini dan pada kehidupan mendatang, dan keduanya sepadan dalam keyakinan, sepadan dalam moral, sepadan dalam kemurahan hati dan sepadan dalam kebijaksanaan, maka mereka akan saling menyayangi dalam kehidupan ini, pula pada kehidupan mendatang.5

41. Dengan demikian, secara jujur beralasan bila dikatakan, doktrin kelahiran-kembali lebih dapat diterima, lebih adil dan lebih menarik hati dibanding teori tentang masalah sesudah kematian yang lain. Sekarang, secara mengejutkan doktrin kelahiran-kembali (sering juga disebut reinkarnasi, transmigrasi) makin menarik minat masyarakat. Penarikan pendapat umum (Inggeris: gallup polls) di Inggeris, menunjukkan bahwa mereka yang percaya pada adanya kelahiran-kembali meningkat jumlahnya dari 18% pada tahun 1968 menjadi 28% di tahun 1978, persentasi terbesar dari mereka berumur sekitar 25 sampai 35 tahun. Penelitian yang sama di Amerika menunjukkan bahwa 28% dari bangsa Amerika menerima doktrin tersebut.6 Jumlah para pemikir, filsuf serta ilmuwan yang menerima doktrin kelahiran-kembali meningkat secara sangat mengesankan. Dua filsuf terkenal memberi argumentasi tentang kelahiran-kembali yang masuk-akal dan etis, mereka adalah J.M.E.M. Taggat dan C.J. Duccuas. Thomas Huxley, ilmuwan yang memperkenalkan Sains pada abad ke XIX ke sistim pendidikan di Inggris, yang pula adalah ilmuwan pertama yang mendukung teori Darwin, percaya bahwa kelahiran kembali adalah doktrin yang benar-benar dapat diterima. Dalam bukunya “Evolution and Ethics and other Essays”, dia menulis:

Pada doktrin kelahiran-kembali, baik yang berasal dari pandangan kaum Brahmin ataupun Buddhis, telah siap, semua sarana untuk menyusun pertahanan yang beralasan yang menghubungkan kosmos (alam-semesta) dengan manusia ..... Tapi paham yang adil ini belum lebih diterima dibanding yang lainnya; dan para pemikir yang sembrono secara tak berhati-hati menolaknya serta mencampakkannya sebagai sesuatu yang jelas tak masuk akal. Sama halnya dengan doktrin evolusi, doktrin kelahiran-kembali berakar pada dunia yang nyata; dan mampu mendapatkan dukungan-dukungan seperti argumentasi yang kuat dari persamaan yang dapat memenuhinya.7

Professor Gustaf Stromberg, ahli astronomi Swedia, ahli fisika yang adalah kawan Einstein, juga menyebutkan paham kelahiran-kembali sebagai paham yang sangat memikat hati.

Banyak pendapat yang berbeda, mengenai dapat atau tidaknya jiwa manusia ber-reinkarnasi ke dunia lagi. Pada tahun 1936 suatu kasus yang sangat menarik dilaporkan dan diteliti secara luas oleh mereka yang berwajib di India. Seorang anak gadis (Shanti Devi dari Delhi) secara tepat dapat menggambarkan kehidupan lalunya (di Mattra, lima ratus mil dari Delhi) yang berakhir sekitar setahun sebelum ‘kelahiran-keduanya’. Dia menyebut nama suami dan anaknya serta memberi gambaran mengenai riwayat hidup serta rumahnya yang lalu. Panitia penyelidik membawanya ke rumah keluarganya pada kehidupan sebelumnya, yang ternyata membenarkan segala pernyataannya. Diantara masyarakat India, reinkarnasi adalah dianggap masalah biasa; hal yang mereka anggap luar biasa pada kasus ini adalah sedemikian banyaknya hal yang dapat diingat kembali oleh si gadis ini. Kasus ini dan kasus-kasus yang sama dapat dianggap sebagai bukti tambahan tentang teori kekuatan daya ingat.8


Profesor Julian Huxley, ilmuwan terhormat dari Inggeris, bekas Direktur Jendral UNESCO, percaya bahwa paham kelahiran-kembali seirama dengan jalan pikiran ilmu penngetahuan.

Tidak ada kekuatan yang dapat merintangi terlepasnya ‘roh kehidupan kekal’ makhluk pribadi, pada saat kematiannya, dengan berbagai cara; sama seperti pesan-pesan radio yang terlepas dari pesawat pemancar-radio dengan caranya sendiri pula. Tapi, hendaknya dicamkan bahwa pesan-pesan radio hanya akan berwujud kembali sebagai pesan setelah berkontak dengan struktur materi baru – yakni pesawat penerima-radio. Pada roh kita-keluar darinya. Kemudian ..... tak pernah dapat berpikir atau merasakan lagi, bila tidak kembali ‘berwujud’ dengan cara bagaimanapun. Kepribadian kita sangat didasari oleh jasmani kita, yang dengan sendirinya tidak mungkin hidup dalam makna sebenarnya. Tanpa adanya ‘semacam badan’ .... Saya dapat memikirkan sesuatu yang terlepas, yang sama keadaannya, pada lelaki dan wanita, seperti pesan-pesan radio pada pesawat pemancar; tapi dalam hal ‘kematian’ semestinya, seperti yang dapat dimaklumi oleh siapa saja, yang terjadi adalah gejolak dalam berbagai bentuk yang mengembara, sampai ..... mereka ....... datang kembali dalam wujud kesadaran yang aktual, setelah berkontak dengan sesuatu yang dapat bekerja sebagai ‘pesawat penerima untuk batin’.9

Mereka yang berpikiran praktis dan bersahaja sekalipun seperti Henry Ford, industrialis Amerika, pula dapat menemukan nilai kebenaran dalam paham kelahiran-kembali. Ford tertarik pada masalah kelahiran-kembali, sebab tidak seperti paham agama lain, kelahiran kembali memberi kesempatan untuk mengembangkan diri sendiri. Henry Ford berkata:

Saya menerima pandangan reinkarnasi sejak saya berumur 26 tahun .... Agama tidak menawarkan apapun dalam satu hal .... Bekerja juga tidak memberi kepuasan yang lengkap. Bekerja adalah hal yang sia-sia, bila kita tidak dapat menerapkan pengalaman yang kita kumpulkan pada satu kehidupan, pada kehidupan berikutnya. Sewaktu saya menemukan paham Reinkarnasi, rasanya seakan saya menemukan suatu rencana alam-semesta. Saya sadar bahwa selalu ada kesempatan untuk melaksanakan ide-ide saya. Waktu bukan lagi suatu yang terbatas. Saya bukan lagi budak dari jarum-jarum jam ... Genius adalah suatu pengalaman. Ada pendapat yang menganggap, bahwa itu adalah karunia atau bakat, tapi sebenarnya itu adalah buah dari pengalaman-pengalaman yang panjang dalam beberapa kehidupan. Jiwa-jiwa ada yang lebih matang dari jiwa-jiwa yang lainnya ... Dengan mengetahui adanya Reinkarnasi, membawa ketenangan batiniah bagi saya .... Apabila anda merekam percakapan ini, tulislah demikian, bahwa ini memberi ketenangan batiniah. Saya suka berkomunikasi dengan yang lainnya tentang ketenangan yang diberikan oleh pandangan tentang kehidupan yang panjang.10

Dengan demikian ajaran agama Buddha tentang kelahiran-kembali didasari oleh bukti-bukti ilmiah yang mendukungnya. Akan senantiasa masuk-akal dan selalu dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tak dapat dijawab baik oleh pandangan agama-agama lain maupun pandangan materialistik.


To:"MB"
From:"sawfa" Add to Address
Book
Date:Tue, 16 Dec 2003 10:07:33 +0700
Subject:[MB] Sila, Perumah Tangga dan Bhikkhu


Sila, Perumah Tangga dan Bhikkhu
Oleh : Hananto, www.sammaditthi.org edisi 1, Jun '00
[Supaya bisa dibaca, mohon dimaafkan jika font pali diganti dengan
font umum yang menyerupai./sawfa]
---------------------

Setelah mendengar dari Sang Buddha bahwa syarat untuk bertahan lamanya
Sasana di dunia ini adalah (ajaran) Dhamma dan Vinaya, sementara
Dhamma telah diajarkan, Sariputta Thera mengajukan usul kepada Sang
Buddha agar segera menetapkan peraturan kedisiplinan (Vinaya) terhadap
para bhikkhu. Saat itu, Sang Buddha belum memandang perlu karena belum
ada alasan yang kuat untuk itu. Baru setelah ada alasan yang kuat dan
saatnya juga tepat, maka Sang Buddha mulai menetapkan peraturan
kedisiplinan setahap demi setahap, sesuai dengan kejadian-kejadian
yang muncul.

Penetapan peraturan kedisiplinan (Vinaya) tersebut biasanya didahului
oleh protes atau celaan perumah tangga yang melihat perilaku seorang
bhikkhu yang tak pantas.

Jadi, dalam hal ini, peran para perumah tangga amat penting bagi
ditetapkannya Vinaya oleh Sang Buddha.

Begitupun, setelah peraturan-peraturan kedisiplinan telah ditetapkan,
peran perumah tangga tetap diperlukan untuk membantu mengontrol dan
meluruskan tingkah laku salah dari para bhikkhu yang dengan sengaja
maupun tidak sengaja dilakukan. Ini merupakan salah satu bentuk kerja
sama antara umat Buddha (upasaka/sika, bhikkhu, termasuk samanera dan
bhikkhuni) untuk mencapai kemajuan bersama.

Masing-masing pihak tidak selayaknya menyalahgunakan peran - peran
tersebut, misalnya: upasaka/sika tanpa pengetahuan Vinaya yang cukup,
hanya bisa mencela dan memprotes perilaku seorang bhikkhu yang
'dianggapnya' salah. Apalagi terhadap seorang bhikkhu yang tidak
disenangi. Atau sebaliknya, selalu membela dan menutup-nutupi
kesalahan pelaksanaan Vinaya seorang bhikkhu idola. Atau, upasaka/sika
bersikap acuh tak acuh (cuek) terhadap apapun yang dilakukan seorang
bhikkhu karena takut berbuat akusala-kamma bila memperingatkan seorang
bhikkhu. Dan menganggap itu bukanlah urusannya, sebab dunia bhikkhu
seperti dunia dewa di kahyangan yang tertutup bagi perumah tangga.

Begitupun bagi para bhikkhu. Lebih senang berceramah tentang doktrin
Dhamma yang tinggi-tinggi daripada menerangkan bagaimanakah Vinaya
kebhikkhuan itu. Menganggap Vinaya adalah mutlak urusan para bhikkhu.
Bila sampai upasaka/sika mengerti tentang Vinaya, khawatir hanya
dipakai untuk 'memukul' para bhikkhu. Merupakan kecurigaan yang
berlebihan. Memang ada bagian Vinaya kebhikkhuan yang tidak perlu
diketahui oleh perumah tangga. Namun ada pula yang perlu diketahui
oleh perumah tangga.

Dan banyak misal-misal lain yang tidak menunjukkan etikat kerja sama
yang baik antar perumah tangga dan para bhikkhu. Amat tidak etislah
bila kerja sama antara mereka hanya sebatas pada dukungan materiil
(tempat tinggal, jubah, makanan dan obat-obatan) dari perumah tangga
kepada para bhikkhu. Atau para bhikkhu membangun vihara yang megah
(dananya tetap dari para perumah tangga) untuk kegiatan keagamaan bagi
para bhikkhu maupun perumah tangga. Kerja sama sebatas ini hanyalah
akan membawa kemerosotan pada kedua belah pihak.

Berikut ini adalah salah satu dari sekian banyak contoh peran perumah
tangga dalam penetapan Vinaya kebhikkhuan yang dikutip dari Vinaya
Pitaka, Culavagga bagian kedua:

Suatu kali, di Rajagaha ada keramaian yang diadakan di atas gunung.
Kelompok bhikkhu Chabbaggiya pergi melihat keramaian itu. Penduduk
desa mencela dan mengkritik perbuatan mereka: 'Kenapa para samana
sakyaputta itu pergi melihat orang-orang menari, menyanyi dan main
musik seperti layaknya perumah tangga yang senang bersuka ria
menikmati nafsu duniawi. ' ...

Mendengar itu, Sang Buddha memerintahkan untuk mengadakan pertemuan
Sangha. Lalu bertanya kepada para bhikkhu: 'Wahai para bhikkhu,
terdengar berita bahwa bhikkhu Chabbaggiya pergi menonton keramaian,
orang menari, menyanyi dan main musik. ' ...

'Wahai para bhikkhu, seorang bhikkhu tak layak pergi menonton
keramaian, orang menari, menyanyi dan main musik. Barang siapa
melakukan itu, melanggar vinaya dukkata.'

Bila dilihat sepintas lalu, betapa usilnya para perumah tangga
mencampuri urusan para bhikkhu. Kenapa mereka tidak membiarkan saja
apa yang diperbuat oleh para bhikkhu. Toh ada Sang Buddha yang
bertanggung jawab atas pendidikan para bhikkhu. Beliau bisa tahu
dengan mata dewa-Nya segala perbuatan para bhikkhu.

Namun, yang dilakukan para perumah tangga itu sebenarnya merupakan
bentuk kepedulian mereka terhadap kebaikan para bhikkhu dan kebaikan
BuddhaSasana. Pada pandangan mereka, bhikkhu adalah sosok yang patut
dihormat, bhikkhu adalah pertapa yang tingkah lakunya seharusnya
berbeda dengan para perumah tangga. Pergi menonton keramaian, menonton
tari-tarian, menonton orang menyanyi dan main musik, apalagi ikut
menyanyi, main gitar dan mengarang lagu bukanlah perbuatan yang baik
bagi para bhikkhu. Bukan pula perbuatan yang baik bila seorang bhikkhu
menonton sepak bola, film silat, dan lain-lain di TV. Itu semua
termasuk yang dilarang oleh Sang Buddha.

Seorang pertapa seharusnya mengerjakan tugas-tugas kepertapaan mereka
terlebih dulu sebelum pekerjaan lain yang patut mereka kerjakan. Bukan
sebaliknya!

Maka, begitu melihat ada bhikkhu yang tidak mengindahkan lagi
tugas-tugas kepertapaan, para perumah tangga yang kritis mencela dan
memprotes perilaku itu. Bahkan, ada pula yang mengadu langsung kepada
Sang Buddha.

Tapi, kini Sang Buddha telah tiada. Tiada lagi tempat mengadu. Memang,
Sang Buddha telah berpesan, Dhamma dan Vinayalah sebagai pengganti
Beliau setelah Beliau parinibbana. Tapi, itu hanya berlaku bagi umat
Buddha yang mempunyai saddha dan panna yang tinggi. Selain mereka,
umat Buddha yang lain masih perlu melestarikan tradisi sehat semasa
Sang Guru masih hidup, yaitu saling mengingatkan dan memperingatkan
demi kemajuan bersama dan demi lestarinya agama Buddha.

Untuk itu, seluruh umat Buddha dituntut untuk melakukan reposisi dan
menambah pengetahuan tentang Dhamma dan (terutama) Vinaya.

Dunia bhikkhu bukanlah dunia dewa dari kahyangan. Dunia perumah tangga
bukanlah dunia umat manusia di Arcapada. Seluruh umat Buddha,
upsaka/sika (termasuk anagarini) dan bhikkhu (termasuk samanera) bisa
saling bahu membahu demi kemajuan bersama sesuai dengan khitah yang
digariskan Sang Guru Agung Buddha Gotama.

Seperti pada jaman Sang Buddha, perumah tangga berhak mengingatkan dan
memperingatkan para bhikkhu yang tindakannya tidak sesuai dengan
Vinaya. Untuk itu, perumah tangga, haruslah menambah pengetahuan
tentang Vinaya kebhikkhuan di samping Sila dan Dhamma bagi dirinya
sendiri.

Para anggota Sangha bertindak sesuai posisinya, yaitu pertapa. Tidak
bertindak sebagai paranormal, dukun pengobatan, peramal, hongsui, biro
jodoh dan lain-lain. Sebab, itu semua bukanlah tugas para bhikkhu. Itu
semua disebut sebagai tiracchanavijja (ilmu kebinatangan).

Alangkah hinanya agama Buddha ini bila pertapa-pertapanya
mempraktekkan ilmu kebinatangan, suatu perbuatan yang melanggar
Vinaya.

Perumah tangga yang baik, juga tidak akan memaksa orang-orang yang
patut dihormat, sebagai ladang berbuat jasa, untuk melakukan hal yang
hina atau pelanggaran Vinaya yang lain dengan alasan demi 'umat'.

Demi kejayaan dan lestarinya BuddhaSasana, mari kita bangun sistem
kerja sama yang baik dan sehat di antara perumah tangga dan para
pertapa (bhikkhu).***

---------------
Dalam kesempatan mendatang, akan diuraikan peraturan-peraturan
(Vinaya) kebhikkhuan yang patut diketahui oleh perumah tangga, guna
bisa membantu para bhikkhu melaksanakan praktek-praktek kepertapaan
dengan tenang dan lancar sehingga mampu menjadikan dirinya sebagai
Supatipanno (bertindak baik), Ujupatipanno (bertindak lurus),
Nayapatipanno (bertindak benar), Samicipatipanno (bertindak patut),
ladang untuk berbuat jasa yang layak bagi perumah tangga.***

'Seperti halnya bulan dan matahari yang menyuram (tidak cemerlang,
tidak gemilang, tidak gemilau cahayanya) karena empat hal, yaitu
kabut, embun, asap, dan gerhana; demikian pula halnya pertapa dan
brahmana niscaya akan menyuram (tidak cemerlang, tidak gemilang, tidak
gemilau cahayanya) karena empat hal, yaitu peminuman minuman keras,
pemuasan nafsu birahi, penerimaan serta penggunaan emas dan perak, dan
penghidupan salah.'
[Mangala Berkah Utama (I) hal. IX-40, LPD]

To:IBFC-Network@yahoogroups.com
From: "Gita" Add to
Address Book
Date:Sat, 10 Jan 2004 19:50:49 -0000
Subject:[IBFC-Network] Kenapa umat Buddha ada yang
pindah agama?

Kenapa Umat Buddha Masih Ada Yang Pindah Agama?
Oleh : Pandita Aryananda. S.


Mempelajari Ajaran (Dhamma) Sang Buddha jangan hanya kulitnya saja;
kupaslah intisarinya; disana kita akan menemukan Kebenaran dan
Kebahagiaan tertinggi.

Di negara kita dewasa ini terdapat lima agama besar yang mengalami
perkembangan pesat. Dan kita tidak asing lagi mendengar masing-masing
umat dari agama tersebut "menyeberang" ke agama lain atau kita kenal
dengan pindah agama. Salah satu diantaranya adalah agama Buddha.
Meskipun banyak kemajuan dan perkembangan, masih tetap ada kendala-
kendala yang harus dihadapi umat Buddha sendiri, seperti adanya
sebagian orang yang mengaku dirinya beragama Buddha tetapi sama
sekali tidak mengenal Ajaran Sang Buddha. Dari sini dapat dimaklumi
bila mereka masih belum yakin sepenuhnya pada Ajaran Sang Buddha,
sehingga mudah tergoda untuk "menyeberang" dan memeluk agama lain.

Ada lagi yang mengatakan bahwa agama Buddha mengajarkan hal-hal yang
suram, dan tidak mengenal kebahagiaan duniawi. Mereka menganggap umat
Buddha memandang hidup ini secara pesimis; mereka sungguh memerlukan
penjelasan yang tepat dan benar.

Dalam Anguttara Nikaya, Sang Buddha juga menguraikan tentang
kebahagiaan hidup berumah tangga, disamping kebahagiaan orang yang
meninggalkan kehidupan duniawi; baik kebahagiaan dalam keterikatan
maupun kebahagiaan karena terbebas dari ikatan-ikatan; kebahagiaan
jasmaniah dan kebahagiaan bathin.

Seorang umat Buddha akan menemukan kenyataan bahwa segala kebahagiaan
(duniawi) diatas bersifat sementara (Anicca). Jadi jelaslah bahwa
agama Buddha tidaklah pesimis seperti anggapan orang, melainkan
bersifat realitis, aktual dan memandang hidup ini secara wajar atau
apa adanya.

Di kalangan generasi muda juga sering ditemukan kendala-kendala, yang
menghambat karma baik mereka untuk mengenal Buddha Dharma. Mereka
sering terikat pada kesenangan semata, tanpa memperdulikan
Kebahagiaan sejati. Apabila harapan mereka tidak tercapai mereka akan
kecewa, frustasi dan tenggelam lebih jauh di dalam jurang kebodohan.

Salah satu kendala yang sering terlihat adalah bila seorang umat
Buddha kebetulan memadu kasih dengan seorang penganut agama yang
berbeda. Sering umat Buddha itu dengan mudahnya pindah agama, agar
tetap bisa melangsungkan pernikahan dengan kekasihnya.

Agama Buddha tidak pernah menarik umat dengan janji-janji muluk, pun
tidak melarang umatnya untuk pindah agama. Seseorang bebas, dan
berhak memilih agama yang dianggapnya paling benar dan sesuai dengan
kepribadiannya. Tetapi apakah dengan pindah agama, urusan akan
selesai?

Kita sering mendengar ajaran Sang Buddha yang membahas tentang
Anicca, yang menyatakan segala sesuatu yang terdiri dari perpaduan
unsur-unsur bersifat tidak kekal, selalu berubah. Kehidupan manusia
juga begitu, suatu saat kita pasti akan berpisah dengan apa yang
dicintai, berkumpul dengan yang dibenci, selalu berubah-ubah, menuju
kehancuran.

Sang Buddha mengajarkan kita "Ehipassiko", yaitu undangan untuk
dating dan melihat. Bila seseorang datang dan melihat (membuktikan)
kebenaran Dharma dengan cara mempraktekkannya, ia akan menerapkan dan
menjadikan ajaran Sang Buddha sebagai pedoman hidupnya. Dalam ajaran
Sang Buddha tidak pernah dikatakan kepada kita datang hanya untuk
percaya, tetapi datang untuk menyelidiki dan membuktikan
kebenarannya. Menyelidiki dan membuktikan ajaran Sang Buddha tidak
merupakan karma buruk atau berdosa seperti dalam ajaran agama lain,
malahan hal itu dianjurkan oleh Sang Buddha sendiri, seperti yang
Beliau katakan dalam Kalama Sutta:

"Jangan menerima sesuatu hanya karena wahyu,
Jangan menerima sesuatu hanya karena tradisi yang turun temurun,
Jangan menerima sesuatu atas dasar khabar angin,
Jangan menerima sesuatu hanya karena kitab suci,
Jangan menerima sesuatu hanya berdasarkan logika,
Jangan menerima sesuatu hanya karena pertimbangan nalar,
Jangan menerima sesuatu hanya karena sesuai dengan gagasan,
Jangan menerima sesuatu hanya karena sipembicara orang baik,
Jangan menerima sesuatu hanya karena hal itu disampaikan oleh seorang
guru,
Tetapi setelah diamati dan di periksa dengan teliti, kemudian engkau
temukan hal itu sebagai sesuatu yang beralasan, berguna dan
bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain maka terimalah dan
jadikanlah hal tersebut sebagai pedoman hidup".

Jika ada orang yang menghina agama Buddha janganlah kita marah atau
membencinya, sebab dari zaman Sang Buddha sampai saat ini dalam
perkembangannya agama Buddha tidak pernah menggunakan kekerasan yang
menimbulkan penderitaan bagi umat manusia dan mahkluk-makhluk
lainnya. Jangan kita samakan agama Buddha dengan agama lain yang
mendapat hinaan dari orang lain, lantas marah, benci, emosi bahkan
dapat terjadi pertumpahan darah. Dalam agama Buddha tidak ada
istilah "perang suci", karena bagaimanapun perang akan membawa
penderitaan seperti korban pembunuhan dan penganiayaan.

Sang Buddha dengan sifat welas asih-Nya mengatakan kepada murid-murid-
Nya bahwa apabila ada yang merendahkan diri-Nya (Buddha), Dhamma dan
Sangha maka janganlah marah, emosi, tersinggung atau benci,
sebaliknya jika ada yang memuji diri-Nya janganlah bahagia,
bersukacita. Jika kedua hal itu dilakukan maka akan merugikan diri
kita sendiri dan akan menghambat diri kita untuk mencapai tingkat
kesucian. Marilah kita lihat khotbah Sang Buddha dalam Brahmajala
Sutta ;

"Para bhikkhu, bilamana orang mengucapkan kata-kata yang merendahkan
Saya (Buddha), Dhamma dan Sangha; janganlah karena hal itu kamu
membenci, dendam, atau memusuhinya. Bilamana karena hal itu kalian
marah atau tersinggung, maka akan menghalangi jalan pembebasan diri
kalian. Apakah kalian dapat merenungkan ucapan mereka itu baik atau
buruk?"

"Tidak demikian, Sang Bhagava"

"Tetapi, bila mana ada orang mengucapkan kata-kata yang merendahkan
Saya (Buddha), Dhamma dan Sangha maka kalian harus menyatakan mana
yang salah dan menunjukkan kesalahannya dengan mengatakan bahwa
berdasarkan hal ini atau itu, ini tidak benar atau itu bukan begitu,
hal demikian tidak ada pada kami dan bukan kami."

"Tetapi, para bhikkhu, bilamana ada orang yang memuji Saya (Buddha),
Dhamma dan Sangha, janganlah karena hal tersebut kamu merasa bangga,
gembira, dan bersuka cita. Bila kalian bersikap demikian, maka hal
itu akan menghalangi jalan pembebasan diri kalian. Bilamana orang
lain memuji Saya (Buddha), Dhamma dan Sangha maka kalian harus
menyatakan apa yang benar dan menunjukkan faktanya dengan mengatakan,
berdasarkan hal ini atau itu, ini benar, itu memang benar, hal itu
ada pada kalian dan benar pada kalian."

Umat sering memandang, bahwa agama Buddha sangat terikat pada karma;
dan didorong oleh ketakutannya akan Hukum Karma, ketakutan dalam
menghadapi kenyataan dan tidak berani mempertanggungjawabkan
perbuatannya, sehingga ia pindah ke agama lain. Apakah masalahnya
akan selesai begitu saja? Apakah setelah pindah agama lantas ia tidak
menderita lagi?

Sang Buddha mengajarkan kepada kita bahwa suatu perbuatan akan
menghasilkan karma apabila adanya cetana atau kehendak untuk
melakukannya. Sabda Sang Buddha ini terdapat dalam Anguttara Nikaya
III : 415 :

"O bhikkhu, kehendak berbuat (cetana) itulah yang Kunamakan karma."
Ada agama lain yang tidak percaya pada Hukum Karma tetapi mereka
percaya pada balasan dari Tuhan. Sebenarnya balasan dari Tuhan itulah
sebenarnya Hukum Karma (Hukum perbuatan). Dari sinilah penulis
berpendapat, bahwa secara tidak langsung agama lain pun meyakini
Hukum Karma, disamping masih percaya dan berpegang teguh pada takdir,
sehingga meskipun pindah agama, Hukum Karma masih tetap berlaku pada
kita.

Jika seorang umat Buddha mengatakan bahwa ia tidak pernah bahagia
dalam agama Buddha kemudian pindah ke agama lain, maka hal ini adalah
wajar-wajar saja. Jika umat tersebut mengatakan demikian apakah ia
mengenal ajaran Sang Buddha atau sekedar agama Buddha KTP atau
Tradisi? Penulis yakin jika umat yang belajar Dharma dengan tekun dan
rajin serta sering mengikuti kebhaktian maka dia tidak akan pernah
dapat dipengaruhi untuk pindah agama. Hanya umat Buddha KTP dan
tradisilah yang paling sering pindah ke agama lain karena janji yang
muluk-muluk dari agama tersebut.

Ada agama yang menyebarkan ajarannya dengan bujuk rayu dengan janji-
janji muluk. Bahkan penyebarannya dari rumah-kerumah, demikianlah
mereka mencari umat dengan cara mengobral ke sana-sini tanpa mengenal
lelah. Jika ada umat Buddha yang tidak berpengetahuan tentang agama
Buddha, akan mengikuti agama mereka.

Agama Buddha tidak pernah mengobral ajaran Sang Buddha ke sana-sini
dengan tujuan mencari umat, karena agama Buddha meyakini Hukum Karma,
jika orang tersebut mempunyai kaitan karma dengan agama Buddha maka
ia akan datang dan tidak akan beralih lagi.

Penulis berpendapat bahwa umat Buddha yang mudah pindah agama
disebabkan oleh :


Kurangnya pengetahuan tentang agama Buddha. (Umat Buddha KTP &
Tradisi).
Tidak menggunakan logikanya atau akal sehat terhadap janji-janji
muluk.
Terpaksa (misalnya umat Buddha sakit dan ingin berobat atau pinjam
uang ke orang beda agama, orang tersebut akan meminjamkan uang bahkan
akan membantunya jika si sakit pindah ke agamanya).
Seorang umat Buddha yang baik harus mempunyai prinsip dan tidak mudah
tergoyahkan oleh isu-isu yang merusak. Jika ada informasi-informasi
yang mencemarkan agama Buddha, buktikan dan selidikilah sesuai yang
tercantum didalam Kalama Sutta. Sang Buddha juga menyatakan dalam
Dhammapada tentang prinsip sesorang bijaksana; Dhammapada ; Bab VI :
81, Orang Bijaksana, "Laksana sebuah batu karang yang tak tergoyahkan
angin, maka demikian pula para bijaksana tak tergoyahkan oleh celaan
dan pujian".

Saya harapkan kepada seluruh umat Buddha , pada zaman sekarang ini
banyak sekali cara-cara yang digunakan oknum-oknum yang tidak
bertanggungjawab untuk mempromosikan ajarannya dengan janji yang
muluk-muluk dan mencaci maki ajaran yang lain. Semua ajaran itu tidak
akan mempengaruhi kita jika kita menerimanya dengan analisa yang
lebih mendalam. Yakinlah saudara-saudari se-Dharma bahwa tidak ada
ajaran yang dapat membuat kita suci tanpa usaha dari kita sendiri.
Walaupun ajarannya bagus tetapi kita malas mempraktekkannya juga sia-
sia. Suci atau tidaknya adalah tergantung pada diri kita sendiri.
Seperti yang disabdakan Sang Buddha dalam Dhammapada Bab XII : 165
tentang Diri Sendiri ;


"Oleh diri sendiri Kejahatan dilakukan,
Oleh diri sendiri pula seseorang ternoda,
Oleh diri sendiri kejahatan tidak dilakukan,
Oleh diri sendiri pula seseorang menjadi suci,
Suci atau tidak suci itu tergantung pada diri sendiri,
Tak seorang pun dapat menyucikan orang lain."


Jika ada ajaran yang mengatakan dengan ditisarana atau dibaptis bisa
langsung suci, kaya dan sebagainya tanpa melalui usaha, ini adalah
omong kosong.

Demikianlah naskah ini saya buat. Semoga bermanfaat untuk kita semua.

Semoga semua makhluk hidup dalam keadaan tenang, tentram, sejahtera
dan berbahagia.

Sabbe satta averahontu, Sabbe satta bhavantu sukkhitatha...

Sadhu...Sadhu,....Sadhu,.....

(Pernah dimuat di Majalah Manggala edisi 40 tahun 1993. Dikutip dari
http://www.geocities.com/anto_zhu)

To:IBFC-Network@yahoogroups.com
From: "Gita" Add to
Address Book
Date:Mon, 12 Jan 2004 02:44:38 -0000
Subject:[IBFC-Network] Roh: Apa,dimana,darimana,
dan kemana




Roh: Apa, Di mana, Dari mana, dan Ke mana?
oleh: Selamat Rodjali


Sejak kecil manusia telah terbiasa dengan istilah roh, baik secara
lisan maupun di dalam batin. Di dalam perjalanan kehidupan sehari-
hari, efek tentang roh di dalam batin itu sangat kuat, bahkan sangat
erat kaitannya dengan perilaku orang itu dalam menghadapi setiap
aktivitasnya.
Mengapa sejak kecil manusia telah terlekati oleh konsep tentang roh
tersebut? Secara sportif diakui bahwa pengaruh lingkungan (keluarga,
tetangga, dan seterusnya) begitu kuat. Secara sadar ataupun tidak,
baik umat Buddha ataupun bukan telah menanamkan konsep roh itu kepada
orang di sekitarnya, dan 'memelihara' konsep itu. Tentu umat Buddha
tersebut bertitel 'umat KTP' atau mereka yang berani menyebut dirinya
sebagai pakar Buddhis namun tak pernah mau mengkaji dan mempraktekkan
ajaran Buddha secara konsisten.


Kita semua menyadari bahwa di sekitar kita penuh dengan pandangan
sesat tentang roh yang senantiasa ada di dalam tubuh, merasakan,
melihat, serta dapat 'bertransmigrasi' ke surga atau ke neraka abadi.
Spekulasi ini terus berlangsung, bahkan para ilmuwan yang selalu
berasaskan logika dan sistematika berpikir masih terus berspekuIasi
dalam usaharnya menelanjangi misteri roh.

DNA (asam deoksi ribonukleat) ROH?
Secara biologi. makhluk tersusun atas organ-organ. Organ tersusun
atas jaringan-jaringan yang memiliki fungsi unik. Jaringan terbentuk
oleh gabungan ribuan bahkan jutaan sel. Sel merupakan bagian terkecil
dari makhluk yang mampu beraktivitas hidup. Apabila sel kita urai
lagi, maka sel tersusun atas komponen sel (organel) yang dibentuk
oleh senyawa karbohidrat, protein, lipid, dan asam nukleat. Senyawa-
senyawa tersebut berasal dari oksigen. karbondioksida, nitrogen,
garam organik, dan ion logam yang umum dijumpai dalam kehidupan
sehari-hari.


Masalahnya, apakah perbedaan antara zat hidup dan tak hidup? Ciri
utama pembeda zat hidup dan tak hidup adalah kemampuan mereplikasi
diri menghasilkan zat yang memiliki bentuk, struktur molekul, dan
massa yang identik dengan zat asal. Kemampuan ini dimiliki oleh
makromolekul DNA RNA. Melihat hal ini, di dalam sebuah surat kabar
ibukota diberitakan bahwa ada pendapat dari ahli filsafat biokimia
yang mengatakan kalau roh itu ada. maka ada di dalam DNA bahkan
menyamakan DNA dengan roh! Agaknya terlalu pagi untuk memberi
jawaban 'ya' bagi pernyataan tersebut, apalagi bagi umat Buddha,
walaupun DNA dapat digunakan sebagai sarana mengubah sistem hidup
melalui rekayasa genetika.

APA ROH ITU?
Sang Buddha menghadapi semua teori dan spekulasi roh kekal ini dengan
doktrin anatta, yang berarti tanpa roh, tanpa aku. Seseorang harus
melihat secara objektif apa yang disebut roh itu secara semestinya.
Roh semata-mata kombinasi dari kekuatan yang berubah (anicca). Hal
ini memerlukan penjelasan analitis.

Sang Buddha mengajarkan bahwa apa yang kita anggap sesuatu yang kekal
di dalam diri kita hanyalah kombinasi fenomena fisik dan batin
(pancakkhandha), yang terdiri atas fenomena jasmanil, materi
(rupakkhandha), fenomena perasaan (vedana-kkhandha), fenomena
pencerapan (sannakkhandha), fenomena bentuk-bentuk pikiran
(sankharakkhandha) dan fenomena kesadaran (vinnanakkhandha). Fenomena-
fenomena ini bekerja sama dalam sebuah aliran perubahan; mereka tak
pernah sama dalam satu saat yang beriringan. Mereka merupakan
komponen psikofisik kehidupan. Di dalam psiko-fisik kehidupan ini,
Sang Buddha tidak menemukan roh kekal. Namun, masih banyak orang yang
memiliki miskonsepsi bahwa roh itu kesadaran. Kepercayaan akan
kekekalan roh merupakan sebuah dogma yang bertentangan dengan
kebenaran empiris. Menurut Buddha Dhamma, istilah orang atau jiwa
merupakan pannatti dhamma, namun secara paramattha dhamma, istilah
itu tidak ada lagi.


DI MANA ROH MENGALAMI OBJEK DAN DARIMANA ROH ITU MUNCUL?
Di dalam kehidupan sehari-hari, manusia mengalami rangsangan luar.
Kita pun sadar mengalaminya. Kesadaran itu telah lama dianggap
sebagai roh yang mengalami sesuatu dan bersifat kekal, padahal apa
yang disebut 'kesadaran' itu merupakan bagian dari pancakkhandha.
Kesadaran atau vinnanakkhandha (citta) selalu berkombinasi dengan
tiga kelompok batin lain (cetasika). Mereka mempunyai objek yang
sama, timbul bersama, lenyap bersama. selalu berubah-ubah, dan
memiliki kualitas yang berbeda.


Pengalaman-pengalaman dalam kehidupan sehari-hari secara global dapat
dikelompokkan menjadi enam, yaitu pengalaman melihat, mencium, merasa
kecapan, mendengar, pengalaman sentuhan badan, dan pengalaman melalui
pikiran. Pengalaman-pengalaman itu menyangkut segi batiniah dan
kesadaran yang mengalami keenam dunia tersebut memiliki fungsi yang
unik (khas). Munculnya kesadaran tersebut sepenuhnya tergantung pada
kondisi. Sebagai contoh, kesadaran melihat adalah hasil (vipaka),
diproduksi oleh kamma. Objek penglihatan (ruparammana)
mengkondisikan 'melihat' sebagai kesadaran melihat. Apabila tidak ada
objek penglihatan, tidak muncul kesadaran melihat. Indera mata,
sejenis rupa di dalam mata (pasada rupa) yang mampu menerima objek
penglihatan, merupakan kondisi lain bagi proses melihat. Jadi,
kesadaran melihat berbeda dengan kesadaran mendengar, juga berbeda
dengan kesadaran lain. Fenomena di atas sangat berbeda pula dengan
anggapan 'umum' yang menyatakan bahwa setiap kesadaran mengalami
objek yang berbeda itu dialami oleh satu 'roh'. Fenomena di atas
secara tegas 'mengkanvaskan ke bawah ring' teori roh kekal dan teori
keakuan yang kekal. Lantas akan muncul pertanyaan, apabila fenomena-
fenomena itu demikian adanya, maka di manakah kesadaran itu mengalami
objek dan dari manakah mereka muncul?


Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita patut kembali merenungkan
poses-proses batin melalui keenam indera. Proses pikiran melalui
pintu panca indera adalah sebagai berikut

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
1, 2 dan 3 = Bhavanga citta (kesadaran penyambung kehidupan)
4 = panca-dvaravaijana citta (kesadaran menyelidiki obiek yang datang
menuju lima pintu inde-a)
5 = dvi-panca-vinnana citta (kesadaran rnelihat, mendengar, mencium,
merasakan rasa, dan kesadaran sentuhan badan)
6 = sampaticchana-citta (kesadaran menerima)
7 = santirana citta (kesadaran memeriksa/mengamati)
8 = votthapana citta (kesadaran memutuskan)
9 - 15 = javana citta (dorongan terhadap obiek Yyng talah diputuskan
baik buruknya)
16 dan 17 = tadarammana citta (kesadaran mencatat)

Kesadaran (citta) mengalami objek melalui pintu (dvara), sedangkan
kesadaran (citta) itu sendiri muncul dari landasan (vatthu). Marilah
kita amati skema di bawah ini untuk membedakan antara dvara dan
vatthu:


Jenis citta dalam proses pikiran di pancavokara bhumi setiap citta
memiliki
dvara vatthu rupa



Panicadvara vithi
Bhavanga Hadaya vatthu Hadaya rupa
Paficadvaravajjana Panca dvara Hadaya vatthu Hadaya rupa
dvipancavinnana Panca dvara Panca vatthu* Pasada rupa
sampaticchana Panca dvara Hadaya vatthu Hadaya rupa
santirana Panca dvara Hadaya vatthu Hadaya rupa
votthapana Panca dvara Hadaya vatthu Hadaya rupa
javana Panca dvara Hadaya vatthu Hadaya rupa
tadarammana Panca dvara Hadaya vatthu Hadaya rupa
Manodvara vithi
Bhavanga - Hadaya vatthu Hadaya rupa
Manodvaravajjana Mano dvara Hadaya vatthu Hadaya rupa
(bhavangu paccheda)
Javana Mano dvara Hadaya vatthu Hadaya rupa
tadarammana Mano dvara Hadaya vatthu Hadaya rupa



*Panca vatthu ialah Cakkhu vatthu, Sota vatthu, Ghana vatthu, Jivha
vatthu dan Kaya vatthu.


Para makhluk di alam yang memiliki nama dan rupa (pancavokara bhumi),
kesadaran (citta) tak mungkin muncul tanpa jasmani. Sebuah citta yang
muncul memiliki sebuah rupa sebagai tempat munculnya citta tersebut.
Ketika terdapat kesadaran melihat, dapatkah melihat muncul di luar
badan? Ketika mendengar atau berpikir, dapatkah citta-citta itu
muncul tanpa badan? Hal tersebut tidak mungkin terjadi. Dari mana
munculnya kesadaran melihat? Kesadaran melihat tidak mungkin muncul
di tangan atau di kaki kita. Kesadaran tersebut memerlukan mata
sebagai landasan fisiknya. Cakkhuppasada rupa, rupa di dalam organ
mata yang dapat menerima objek penglihatan (tepatnya retina), adalah
landasan fisik (vatthu) tempat munculnya kesadaran melihat.


Landasan fisik (vatthu) ini tidak sama dengan pintu (dvara) walaupun
cakkhuppasada rupa dalam hal ini adalah dvara, juga vatthu bagi
kesadaran melihat (cakkhu vinnana), namun dvara dan vatthu memiliki
fungsi yang berbeda. Cakkhu-dvara (pintu mata) adalah tempat di mana
proses kesadaran melihat atau cakkhu dvara vithi citta (lebih dari
satu citta yang terlibat) mengalami objek penglihatan. Cakkhu vatthu
(landasan fisik mata) adalah tempat munculnya kesadaran melihat
(cakkhu vinnana) saja. Cakkhu vatthu adalah landasan fisik hanya
untuk kesadaran melihat, kesadaran lain di dalam proses melihat
tersebut memiliki vatthu (landasan) yang berbeda.


Landasan fisik untuk kesadaran mendengar adalah sotappasada rupa,
untuk kesadaran merasakan kecapan adalah jivhappasada rupa, untuk
kesadaran mencium adalah ghanappasada rupa, untuk kesadaran sentuhan
badan adalah kayappassada rupa. Tujuh puluh sembilan citta sisanya
(tak termasuk dvipahca vinnana 10) muncul dari hadaya vatthu.


Landasan fisik keenam yang bukan termasuk pasada rupa 5 ialah hadaya
vatthu (landasan hati sanubari). Hadaya vatthu tidak sama dengan
pintu pikiran (manodvara). Manodvara adalah citta, yaitu bhavanga
upaccheda citta, citta sebelum manodvaravajjana citta (kesadaran
menyelidiki objek dari pintu pikiran), sedangkan hadaya vatthu adalah
materi, yaitu hadaya rupa (unsur hati sanubari).

KE MANA ROH ITU PERGI?
Secara analitis, dapat kembali dilihat di dalam proses pikiran
melalui panca dvara di atas bahwa setiap citta (kesadaran) yang
muncul dan lenyap segera disusul dengan munculnya citta yang lain,
demikian seterusnya, tanpa ada satu celah kosong di antara dua citta
yang berurutan. Secara otomatis, cetasika pun muncul dan lenyap
bersama citta yang disekutuinya. Ternyata, apa disebut roh yang
merasakan segala sesuatu itu adalah semu, ilusi belaka. Aliran
kesadaran yang muncul lenyap muncul lenyap tersebut berkondisi, dan
apabila kondisi-kondisi tersebut tidak ada, kesadaran itu tidak akan
ada. Dengan kata lain, kesadaran yang lenyap bukan berarti kesadaran
itu pergi (transmigrasi) ke tempat atau wadah lain, juga bukan
berarti bahwa kesadaran itu tetap diam. Perenungan itu memang unik
dan inilah ciri khas Buddha Dhamma.

KALAU TIDAK ADA ROH, APAKAH YANG DITUMIMBAL-LAHIRKAN?
Di luar batin dan jasmani, yang menyusun makhluk hidup, Buddha Dhamma
tidak mempercayai keberadaan roh kekal yang diperoleh makhluk dari
sebuah sumber yang misterius. Di dalam pertanyaan "apabila tak ada
roh yang berpindah dari kehidupan ke kehidupan lain, apakah yang
ditumimbal-lahirkan", terdapat anggapan ada yang ditumimbal-lahirkan.
Bagaimana mungkin tumimbal lahir terjadi tanpa satu roh yang
dilahirkan?

Menurut Buddha Dhamma, lahir adalah munculnya khandha. Proses
penjadian saat ini merupakan hasil dari keinginan menjadi pada
kehidupan lampau, dan keinginan saat ini mengkondisikan hidup pada
masa kelahiran mendatang. Proses di dalam satu jangka kehidupan
merupakan aliran proses kesadaran yang dilanjutkan pada masa
kehidupan berikutnya tanpa ada yang hijrah ke tempat lain dan
pandangan ini berbeda dengan teori reinkarnasi roh yang diajarkan
oleh kepercayaan tertentu.


Ilmuwan modern mengilustrasikan proses tumimbal lahir ini seperti
bola-bola bilyar berangkai berdekatan. Misalnya, sebuah bola
menggelinding mengenai bola lain, bola menggelinding ini akan
berhenti mati, sedangkan bola yang dikenainya akan bergerak, demikian
seterusnya selama momentum atau impuls (dorongan) kamma masih ada,
maka impuls tersebut akan melahirkan penggelindingan bola selanjutnya.


Jadi, ketika tumimbal lahir, tidak ada roh yang berpindah, namun ada
khandha yang muncul. Kesadaran di dalam kelahiran yang baru tidak
sama dengan kesadaran di dalam hidup yang telah lewat dan juga tidak
berbeda, karena sekarang dan lampau masih dalam sebuah proses aliran
kehidupan. Ibarat keju, berasal dari susu namun keju tidak sama
dengan susu, demikian pula kehidupan lampau tidak sama dengan
kehidupan sekarang, namun sekarang berasal dari lampau.



DAFTAR PUSTAKA

Kaharuddin, J. 1989. Abhidhammatthasangaha. Sekolah Tinggi Agama
Buddha Nalanda. Jakarta, 187 hal.
Narada. The Buddha and His Teachings. Buddhist Misionary Society,
Kuala Lumpur, 713 hal.
Van Gorkom, Nina. 1979. Abhidhamma in Daily Life. H.M. Gunasekera
Trust, Sri Lanka, 259 p.


Pernah dimuat dalam majalah Pancaran Dharma Mei 1989 .

Diedit kembali oleh Chandadhammo Benny Chandra dan dimuat atas ijin
penulis.

To:IBFC-Network@yahoogroups.com
From: "Gita" Add to
Address Book
Date:Sat, 10 Jan 2004 02:24:49 -0000
Subject:[IBFC-Network] Persamaan dan perbedaan
agama Buddha dan Kristen

Dikutip dari: "Ringkasan Persamaan dan Perbedaan Agama Buddha dan
Kristen" karya
Aryaphala.


1. Apakah Tuhan menentukan kapan kita mati? Bila ya, lalu mengapa
pembunuh
berantai tidak dimatikan terlebih dahulu sebelum lebih banyak jatuh
korban?
Bukankah Tuhan adalah Maha Kuasa dan Maha Tahu?
a) Kristiani: Di luar pemikiran manusia. Itu semuanya hak Tuhan yang
telah
merencanakan segala sesuatu untuk tujuan tertentu. Mungkin Tuhan
memberikan
kesempatan kepada pelaku itu untuk mengubah dirinya menjadi baik.
Mungkin juga
Tuhan ingin memperlihatkan penderitaan kepada kita supaya
membangunkan kita
semua untuk berbuat kebajikan.

b) Buddhis: Mengapa pembunuh berantai tidak bisa dimatikan dengan
serangan
jantung sebelum membunuh lebih banyak orang? Di tahun 1992, di
Amerika Serikat
sebuah bus sekolah jatuh ke dalam jurang, dan semua anak kecil
meninggal kecuali
seorang dewasa. Lalu mengapa Tuhan membiarkan semua anak kecil itu
mati dengan
cara mengenaskan, sedangkan pembunuh berantai itu sendiri banyak yang
masih
berkeliaran di bumi ini?


Bila dikatakan bahwa Tuhan ingin memberikan kesempatan kepada
pembunuh serial
yang ada di muka bumi ini untuk memperbaiki moralnya, lalu apakah
Tuhan yang
Maha Tahu itu bisa meramalkan apakah pelaku itu akan berubah baik
atau tidak?
Bila Tuhan tidak mengetahuinya, berarti Tuhan tidak Maha Tahu dan
mengambil
risiko dengan membiarkan pembunuh berantai untuk hidup lebih lama
lagi. Bila
dikatakan bahwa Tuhan bisa meramalkan, lalu mengapa perbuatan
pembunuh berantai
terus berlanjut?


Juga terjadi di Indonesia di mana seorang balita perempuan berumur 6
tahun telah
diperkosa, dibunuh, dan kemudian digantung di sebuah pohon. Mengapa
Tuhan
mengizinkan hal yang sadis terjadi pada anak balita yang tak berdosa?
Jika
rencana Tuhan untuk memberikan peringatan kepada orang tuanya agar
berbuat baik
dan kembali ke jalan Tuhan, maka seharusnya pembunuh yang melakukan
perbuatan
bengis itu tidak perlu dikutuk dan dipenjarakan karena pembunuh itu
melakukan
hal demikian sesuai izin dari Tuhan. Bila dikatakan bahwa kejadian
ini merupakan
cobaan, lalu mengapa "cobaan" ini harus dialami dalam cara yang
demikian sadis?
Apakah hati Tuhan tega melihat perbuatan yang kejam tersebut
berlangsung di
depan matanya?

Buddha sendiri mengatakan bahwa beliau adalah Maha Tahu, tetapi bukan
Maha Kuasa
karena beliau tidak mampu melakukan tiga hal:


a) Tidak mampu memutarbalikkan arus karma yang telah dilakukan oleh
makhluk;

b) Tidak mampu melenyapkan alam kehidupan Samsara
(kelahiran-dan-kematian yang terus-menerus);

c) Tidak mampu menolong makhluk yang tiada jodoh afinitas dengan
beliau;
oleh sebab itu, Buddha harus terlebih dahulu menjalin hubungan baik
dengan semua
makhluk agar bisa menciptakan kondisi-kondisi kondusif di kemudian
hari.

Dalam agama Buddha, tidak ada makhluk yang Maha Kuasa. Bila ada Maha
Kuasa,
dunia ini tidak akan begitu kacau lagi.

Dikutip dari: "Ringkasan Persamaan dan Perbedaan Agama Buddha dan
Kristen" karya
Aryaphala.

1. Siapa yang mengontrol iklim, cuaca, dan bencana alam?

a) Kristiani: Tuhan.

b) Buddhis: Cuaca dipengaruhi oleh karma kolektif dari para makhluk.
Jika
benar Tuhan yang mengendalikan cuaca, kenapa ada bencana alam yang
menyebabkan
korban jiwa termasuk anak kecil? Mengapa anak kecil harus mati dengan
cara yang
demikian? Bila bencana alam adalah perwujudan dari kemurkaan Tuhan,
bagaimana
mungkin Tuhan, yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, bisa
memunculkan perasaan
murka? Menurut agama Buddha, segala fenomena adalah perwujudan dari
hasil
interaksi energi karma kolektif dan karma individu. Segala fenomena,
termasuk
pergerakan benda-benda angkasa, ditentukan oleh energi karma dan
pikiran. Oleh
sebab ada yang bisa meramalkan apa yang akan terjadi pada suatu
bangsa dengan
melihat bintang-bintang. Bahkan ada yang bisa meramalkan apa yang
akan terjadi
pada dirinya sendiri dengan mempelajari fenomena. Misalnya, kelahiran
Yesus
ditandai dengan Bintang Bethlehem. Semua fenomena kosmos mempunyai
makna dan
tujuan. Tidak ada kekuatan luar di samping karma dan pikiran yang
menggerakkan
kekuatan alam untuk menimbulkan bencana alam.

Menurut Buddhisme, bencana alam seperti letusan gunung berapi
dimusababkan
terutama oleh kebencian dan kedengkian, bencana banjir dimusababkan
terutama
oleh keserakahan, bencana alam angin topan dimusababkan terutama oleh
pandangan
sesat, dan bencana alam gempa bumi dimusababkan terutama oleh
ketidakadilan.

1. Kalau benar penderitaan manusia sekarang ini berasal dari dosa
nenek
moyang yang disebut dengan Dosa Awal, lalu mengapa Tuhan tidak
mengampuni dosa
kita?

a) Kristiani: Tuhan berusaha mengampuni dosa kita dengan cara
penyebaran
kitab suci.

b) Buddhis: Jika Tuhan adalah Sang Pencipta, tentu sangat mudah bagi
Tuhan
untuk menghilangkan dosa. Mengapa dosa tidak bisa dihilangkan oleh
Tuhan sendiri
yang menciptakannya? Mengapa Tuhan tidak mau menghilangkan dosa awal
yang
sekarang menimpa semua keturunan Adam dan Hawa? Bukankah Tuhan adalah
Maha
Pengasih? Mengapa Tuhan tidak bisa memaafkan "cucu-cucunya"?

Lalu mengapa ada orang yang lebih disayangi oleh Tuhan dan ada yang
lebih
dicintai oleh Tuhan bila masing-masing menerima warisan Dosa Awal
dari Adam?
Sebagai contoh, di dalam Maleakhi 1:2-3, Tuhan mengatakan, ". Namun
Aku
mengasihi Yakub, tetapi membenci Esau." Mengapa Tuhan, yang
seharusnya Maha
Adil, membenci Esau dan mencintai Yakub sedangkan mereka berdua
adalah saudara
kembar? Tentu ada alasannya. Apakah mungkin bahwa Tuhan mengetahui
perbuatan
yang dilakukan oleh kedua kembar itu pada kehidupan sebelumnya,
sehingga Tuhan
mencintai Yakub tetapi membenci Esau? Bila dikatakan bahwa kedua
saudara kembar
mendapat perlakukan yang berbeda karena adanya dosa awal, lalu
mengapa lebih
banyak bagian dosa awal yang ditimpahkan kepada Esau sehingga Tuhan
membencinya?
Ini tentu tidak adil, bukan?


Dari sudut pandang yang lain, bila penderitaan atau bencana
disebabkan oleh Dosa
Awal, maka Dosa Awal itu mempunyai sifat seperti karma yang berbuah
dan matang
di kehidupan sekarang. Bukankah demikian? Berarti Dosa Awal merupakan
penegasan
bahwa Karma itu eksis, dan bisa bertahan sampai waktu tak terhingga.

Dikutip dari: "Ringkasan Persamaan dan Perbedaan Agama Buddha dan
Kristen" karya
Aryaphala.
1. Apabila ada orang baik yang tidak percaya pada Tuhan atau Jesus,
atau
bukan penganut agama Kristen, apakah orang tersebut bisa masuk surga?

a) Kristiani: Tidak bisa.

b) Buddhis: Jika manusia hanya bisa masuk ke surga melalui Yesus
Kristus,
maka ada tiga isu krusial yang perlu dikaji lebih lanjut.

Pertama, bila menjadi Kristen and tidak berbuat adalah mutlak untuk
masuk surga,
lalu bagaimana dengan orang saleh yang tidak pernah mempunyai
kemujuran untuk
mendapatkan ajaran Yesus? Menurut mayoritas Kristen khususnya
Protestan bahwa
bagaimanapun salehny seseorang, dia tidak bisa masuk surga jika tidak
menjadi
seorang Kristen.

Di Efesus 2:8-9 dari Alkitab, dengan jelas dikatakan bahwa keyakinan
itu berasal
dari Tuhan, bukan dari usaha mereka sendiri. Bila ia ditakdirkan oleh
Tuhan
sendiri untuk tidak mendapat kesempatan menerima ajaran Tuhan, lalu
siapa yang
harus disalahkan?

Mengutip Efesus 2:8-9 (di dalam Alkitab), "Sebab karena kasih karunia
kamu
diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian
Allah. Itu
bukan hasil pekerjaanmu, jangan ada orang yang memegahkan diri." Di
ayat
tersebut sudah jelas dicantumkan bahwa seseorang mempunyai iman
karena itu
adalah pemberian Allah, maka adalah sangat ironis bahwa Tuhan tidak
memberikan
orang-orang tertentu untuk beriman menjadi Kristen. Mengapa Tuhan
tidak mau
memberikan iman kepada kita semua supaya semua orang tidak masuk ke
neraka?
Mengapa hanya orang-orang tertentu yang beriman? Alangkah ironisnya
bahwa Tuhan
menghukum manusia ke neraka selama-lamanya (hingga kedatangan Juru
Selamat)
sedangkan pada saat yang sama Tuhan tidak membekali umat manusia
dengan keimanan
untuk menjadi Kristen. Siapa sesungguhnya yang harus disalahkan?

Kedua, orang yang percaya pada Tuhan atau Jesus tidak usah berbuat
terlalu baik,
yang penting secukupnya saja. Mengapa dikatakan demikian? Karena bila
hanya ada
satu jenis surga, berarti tidak ada perbedaan "hadiah pahala" antara
orang yang
berbuat sedikit kebajikan dengan orang yang melakukan banyak
kebajikan.

Ketiga, semua manusia baik di masa sebelum kedatangan Jesus sudah
seharusnya
masuk ke dalam neraka sampai hari ini. Bukankah hal ini sangat
ironis, karena
secara definisi, Tuhan juga adalah Maha Pengasih? Tidakkah
penghukuman di neraka
oleh Tuhan sudah termasuk sangat kejam? Apakah ini berarti bahwa
banyak nenek
moyang kita banyak yang masih "digoreng" di neraka hingga hari ini?
Bila
benar-benar mereka masih dihukum di neraka hanya karena tidak percaya
pada
Tuhan, bukankah ini menunjukkan bahwa Tuhan sudah identik dengan
seorang monster
yang diktator dan gila hormat? Mengapa Tuhan tidak memprogramkan otak
kita sejak
dari kecil supaya semua percaya pada Tuhan? Bila Tuhan adalah
pencipta kita
semua, tentu hal "program otak" ini tidaklah sulit bagi Tuhan,
bukankah
demikian?

Coba dipikirkan apakah mungkin bahwa leluhur kita semua masih sedang
disiksa di
dalam neraka saat ini juga hanya karena mereka dulu tidak percaya
pada Tuhan
walaupun perbuatan mereka baik? Cinta sejati adalah yang bersifat
universal and
tanpa kondisi apa pun. Misalnya, seorang ibu yang cinta sekali pada
anaknya.
Sekalipun si anak tidak sayang pada ibunya, ibunya tidak akan
menghukum anaknya
melainkan tetap akan sayang pada anaknya. Itu yang dimaksud dengan
cinta sejati.
Jadi masalahnya bukan karena Tuhan menghukum orang yang tak
mempercayainya,
melainkan lebih karena tidak ada "frekuensi" yang sama sehingga Tuhan
tidak
mampu menolongnya.

Menurut Buddhisme, kelahiran di alam neraka dan siksaan yang dialami
di sana pun
tidaklah selama-lamanya. Setelah karma buruknya sudah cukup dibayar,
para
makhluk neraka akan dilahirkan di alam yang lebih tinggi. Sebagai
contoh,
seseorang yang masuk ke dalam penjara akan dibebaskan setelah
menjalani hukuman
sesuai dengan tingkat kejahatan yang dilakukannya.


Menurut Buddhisme lagi, seseorang tidak harus beragama apa pun untuk
bisa masuk
ke surga. Surga adalah milik semua orang, yaitu semua orang yang
berpikiran suci
bersih, dan melakukan banyak dana (sedekah). Surga itu bukanlah milik
agama
tertentu, melainkan milik orang-orang yang mempunyai kondisi-kondisi
yang cukup
untuk dilahirkan di sana.

From: "Neir Kate"
Date: Mon Jan 5, 2004 9:19 am
Subject: Adakah Penganut Agama Buddha Penyembah Berhala?



Namo Budhaya,

Banyak sekali orang-orang yang mengklaim kalo mereka (pernah)
beragama Buddha, yang padahal sebernarnya tidak beragama Buddha.
Karena mereka yang beragama Buddha tentu sudah jelas dan sangat
mengerti kalau agama Buddha sama sekali tidak menyembah berhala.

Seperti layaknya agama Kristen, mereka juga mempunyai tanda salib di
gereja2(yang biasanya besar2) atau rumah2, atau gambar2 Yesus yang
dipajang dirumah2,tentunya itu semua juga adalah berhala buatan
manusia.
Banyak dari mereka (yang saya lihat dari lingkungan saya) dengan
bangganya memamerkan tanda salib yang dikalungkan didepan dada,
semakin besar salibnya maka semakin bangga pula orang tersebut
memamerkan "berhala" tersebut.
Padahal sampai sebesar gajah pun salib/"berhala" yang dikalungkan
sama sekali tidak menunjukkan kesucian hati dari pemakainya.

Sekarang apakah agama Budha menyembah patung? Sekilas nampaknya
agama Buddha adalah agama yang menyembah patung, mengingat hampir di
setiap vihara,cetiya,klenteng/bio selalu terdapat patung-patung
untuk dipuja,baik patung Buddha atau Bodhisattva maupaun Dewa.

Seperti orang yang menghormati bendera suatu negara, dia bukan
menghormati kainnya, tapi menghormati makna yang terkandung di balik
kain tersebut.Demikian pula puja terhadap patung Buddha, bukan
patungnya yang dipuja,tapi makna yang tersirat dibalik patung
tersebut. Umat Buddha memuja terhadap patung Buddha, sebagai
ungkapan rasa hormat atas kebijaksanaan,kesucian,dan welas asih
Beliau kepada semua makhluk.
Andaikata tidak tersedia media patung,maka kita masih tetap bisa
menghormati Hyang Buddha didalam batin, dan hal ini tidak mengurangi
kesucian dan kesakralan beribadah. Dengan memberi hormat kepada
Buddha,bertekad mempelajari dan mengamalkan dharma,sekaligus
menjadikan Sakyamuni Buddha sebagai suri tauladan hidup. inilah arti
sebenarnya dari memuja dan bernamaskara (pai kui) di depan patung
Buddha.
Pendapat yang mengatakan kalau saya sudah bersembahyang, jadi pasti
selamat, adalah pendapat yang salah, karena dalam bersembahyang kita
tidaklah MENUNTUT sesuatu, jadi janganlah karena vihara dirasakan
tidak manjur maka menyalahkan Buddha, Bodhisattva, atau dewa, atau
mencari vihara lain atau bahkan berganti agama, karena kalau memang
sudah karma kita, maka kita pasti akan mendapatkannya walaupun tidak
meminta/memohon, tapi apabila bukan karmanya memohon sampai jungkir
balikpun tidak akan ada hasilnya.
Karena seperti kita tau, semua orang bisa bersembahyang dengan
setulus hati, tapi apa dengan begitu semua keinginan kita PASTI
dikabulkan?Kalau begitu,maka di dunia ini tidak ada lagi orang
miskin, karena semua orang akan bisa meminta dengan tulus supaya
jadi orang kaya, semoga bisa dimengerti.

Dalam bersembahyang kita sering mempersembahkan puja (lilin/pelita,
bunga, buah/makanan, air putih, dupa/hio). Misalnya memberikan puja
buah-buahan, bukan berarti Buddha / Bodhisattva ingin makan buah-
buahan atau yang lebih kasar lagi memberi buah-buahan dengan tujuan
untuk menyuap. Sehingga muncul anggapan, kalau buahnya makin banyak
dan makin mahal, maka doanya makin cepat terkabul, pendapat ini
sungguh keliru dan sesat. Puja yang paling baik dan berharga adalah
yang muncul dari ketulusan hati dan diberikan tanpa pamrih.
5 macam puja mempunyai arti filosofis sebagai berikut:
LILIN / PELITA : lambang dari penerangan batin, setelah batin cerah,
hendaknya mencerahkan orang lain juga.
BUNGA : mengingatkan kita akan ketidak-kekalan, seindah-
indahnya bunga, suatu hari pasti akan layu dan rontok, oleh karena
itu berlatihlah segera sebelum terlambat.
BUAH / MAKANAN : makhluk hidup memerlukan makanan, oleh karena itu
orang harus rajin dan giat bekerja keras agar kebutuhan hidupnya
tercukupi, serta berusaha meningkatkan diri ke arah kemajuan
AIR PUTIH : lambang dari kehidupan, tanpa adanya air maka tiada
kehidupan. Air juga bersifat membersihkan hati dan pikiran dari noda
kekotoran batin.
DUPA / HIO : asap hio yang halus dan harum bisa menenangkan
pikiran, membantu konsentrasi saat sembahyang. Dengan pikiran yang
tenang dan jernih, memudahkan seseorang berlatih meditasi guna
mencapai prajna paramita (kebijaksanaan tertinggi)

Berikut adalah kutipan dari ceramah dari Dhammananda Nayaka
Mahathera JSM., Ph.D,. D.Litt, Venerable. Dr. K. Sri yang cukup
panjang dan jelas

Adakah Penganut Agama Buddha Penyembah Berhala?
Oleh Ven. Dr K Sri Dhammananda


MENGHORMATI OBJEK

Di dalam setiap agama terdapat objek-objek atau simbol-simbol yang
diberi penghormatan. Di dalam agama Buddha terdapat tiga objek agama
yang utama untuk tujuan tersebut, yaitu:-

1. Saririka atau relik-relik Buddha.
2. Uddesika atau simbol-simbol agama seperti imej Buddha dan pagoda
3. Paribhogika atau barang-barang pribadi yang digunakan oleh Buddha
Sudah menjadi resam bagi semua penganut agama Buddha di seluruh
dunia untuk memberi penghormatan kepada objek-objek di atas. Satu
lagi tradisi Buddhis ialah mendirikan imej Buddha, pagoda serta
menanam pohon Bodhi di setiap Vihara sebagai objek agama untuk
diberi penghormatan.

Ramai yang salah faham dan menggangap penganut agama Buddha sebagai
penyembah berhala. Salah faham ini disebabkan oleh kurangnya
pengetahuan tentang ajaran Buddha serta adat-resam dan tradisi
penganut agama tersebut.

Menyembah berhala secara amnya bermaksud mendirikan patung dewa-dewi
di dalam berbagai bentuk untuk disembah, meminta restu dan
perlindungan serta mengharapkan kemewahan, kesihatan dan kekayaan
daripadanya di dalam agama-agama yang berunsurkan ketuhanan.
Terdapat juga mereka yang berdoa untuk diberkati berbagai kesenangan
walaupun kesenangan itu diperolehi dengan cara yang salah. Mereka
juga berdoa agar dosa mereka diampunkan.

Menyembah kepada imej Buddha sebenarnya berlainan daripada konsep
yang diterangkan diatas. Perkataan "menyembah" itu sendiri tidak
memenuhi maksud sebenar daripada sudut pandangan agama
Buddha. "Memberi penghormatan" merupakan istilah yang lebih tepat.
Umat Buddhis tidak menyembah berhala atau imej. Mereka memberi
penghormatan kepada seorang guru agama yang agung. Gambargambar dan
imej didirikan bagi bagi tujuan menghormati dan menghargai
Pencerahan Sempurna dan kesempurnaan tertinggi yang dicapai oleh
Buddha. Bagi seseorang Buddhis, imej Buddha hanya merupakan satu
simbol yang membantunya mengingati Buddha.

Seseorang Buddhis melutut dan memberi hormat kepada imej Buddha yang
sebenarnya mewakili Buddha. Mereka tidak harus memohon pertolongan
daripada imej tersebut. Mereka merenung dan bermeditasi tentang
Buddha untuk mendapatkan inspirasi daripada ciri-ciri peribadi
Beliau yang mulia. Mereka cuba mengikuti ciri-ciri kesempurnaan
Buddha dengan mengamalkan ajaran-ajaran Bhagava yang suci itu.
Seseorang Buddhis menghormati kebaikan dan kesucian guru agamanya
yang diwakili oleh imej tersebut. Malah, penganut semua agama
membentuk imej yang mewakili guru agama mereka sama ada yang boleh
dilihat atau digambarkan di dalam fikiran mereka untuk tujuan
menghormati guru agama mereka. Oleh itu, tidak tepat dan tidak adil
untuk mengkritik dan menyatakan bahawa penganut agama Buddha
merupakan penyembah berhala.

Amalan memberi penghormatan kepada seorang yang mulia seperti Buddha
bukan satu perbuatan yang dilakukan atas sebab takut atau untuk
memohon kebahagiaan duniawi. Seseorang Buddhis percaya bahawa
perbuatan menghargai dan menghormati ciri-ciri suci yang dipunyai
oleh guru agama mereka merupakan satu perbuatan yang berpahala dan
membawa berkat. Seseorang Buddhis juga percaya bahawa mereka sendiri
yang bertanggungjawab diatas penyelamatan diri mereka; tidak harus
bergantung kepada sesiapapun untuk penyelamatan mereka.

Walau bagaimanapun, terdapat juga mereka yang berpendapat bahawa
mereka boleh mendapat penyelamatan diri melalui perantaran pihak
ketiga. Golongan ini yang mengkritik penganut agama Buddha sebagai
penyembah imej seorang yang sudah tiada lagi di dunia. Jasad
seseorang boleh mengalami disintegrasi dan menjadi juzuk konstituen
(pepejal, cecair, haba dan arus) tetapi kemuliannya akan kekal
selamalamanya.

Seseorang Buddhis menghargai dan menghormati sifat-sifat mulia ini.
Oleh itu, tuduhan melulu terhadap penganut agama Buddha merupakan
satu perkara yang begitu malang, salah sama sekali serta tidak
berasas.

Apabila kita mempelajari ajaran Buddha, kita akan memahami bahawa
Bhagava telah menyatakan yang Buddha hanya merupakan seorang guru
yang telah menunjukkan jalan yang benar untuk penyelamatan diri.
Maka terpulang kepada penganutnya untuk menjalani kehidupan beragama
dan menyucikan minda mereka untuk penyelamatan diri tanpa bergantung
kepada guru agama mereka. Menurut Buddha, tiada tuhan atau guru
agama yang dapat memasukkan seseorang ke dalam syurga atau neraka.
Manusia mencipta syurga atau nerakanya sendiri melalui pemikiran,
tindak-tanduk serta pertuturan mereka.

Oleh itu, menyembah kepada pihak ketiga untuk penyelamatan diri
tanpa menyingkirkan fikiran yang jahat merupakan satu perbuatan yang
sia-sia. Namun begitu, terdapat juga sesetengah orang termasuk
penganut agama Buddha yang apabila sembahyang di hadapan imej Buddha
akan mencurahkan masalah-masalah mereka, nasib malang yang dialami
serta kesusahan yang dihadapi dan meminta pertolongan Buddha bagi
menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Walaupun perbuatan tersebut
bukan satu amalan Buddhis yang sebenar, tetapi perbuatan yang
sedemikian dapat mengurangkan ketegangan emosi, memberi inspirasi
dan ketabahan hati serta azam kepada mereka untuk menyelesaikan
masalah yang dihadapi. Perkara ini juga satu kebiasaan di dalam
agama-agama lain.

Bagi mereka yang benar-benar dapat memahami punca sebenar sesuatu
masalah, mereka tidak akan melakukan amalan yang sedemikian. Semasa
seseorang Buddhis memberi penghormatan kepada Buddha, dia
menghormati Bhagava dengan melafazkan kalimat – kalimat yang
memerincikan kemuliaan dan kesucian Buddha. Kalimat – kalimat ini
bukan untuk meminta maaf daripada tuhan atau dewa – dewi di atas
kesalahan dan dosanya. Kalimat – kalimat ini hanya bertujuan memberi
pujian kepada seorang guru yang agung yang telah mencapai Pencerahan
Sempurna serta menunjukkan cara hidup yang betul untuk kebaikan
manusia. Penganut agama Buddha menghormati guru agama mereka kerana
berterima kasih manakala penganut agama lain berdoa untuk mendapat
kebaikan dan kesenangan. Buddha juga menasihati kita
untuk "menghormati mereka yang wajar dihormati." Oleh yang demikian,
seseorang Buddhis boleh menghormati sebarang agama lain yang wajar
dan layak dihormati.

Seseorang Buddhis tidak sembahyang. Sebaliknya dia mengamalkan
meditasi untuk latihan minda dan disiplin diri. Untuk tujuan
meditasi, sesuatu objek diperlukan. Tanpa objek, agak sukar untuk
menumpukan minda kita. Kadang – kala, umat Buddhis menggunakan imej
atau gambar Buddha sebagai objek penumpuan fikiran dan pengawalan
minda mereka.

Antara banyak objek meditasi, objek yang boleh dilihat dengan ketara
mempunyai kesan yang lebih berkesan ke atas minda seseorang.
Diantara lima pancaindera, objek yang kita tanggap melalui indera
penglihatan (mata) mempunyai lebih pengaruh ke atas minda seseorang
berbanding dengan indera yang lain. Pengaruh indera penglihatan ke
atas minda seseorang lebih tinggi daripada indera lain. Oleh itu,
objek yang dapat dilihat membolehkan minda kita mencapai penumpuan
dengan lebih mudah dan lebih baik. Imej yang kita tanggap merupakan
pengetahuan subsedar (subconscious). Sekiranya Imej Buddha terbayang
di dalam minda seseorang sebagai penjelmaan seorang yang sempurna,
renungan seperti ini akan kekal di dalam subsedar. Kalau cukup kuat
penumpuannya, renungan ini secara automatik menghalang kecenderungan
yang jahat daripada mempengaruhi seseorang.

Sebagai satu objek yang dapat dilihat, Imej Buddha mempunyai kesan
yang baik ke atas minda seseorang. Merenung pencapaian Buddha dapat
menghasilkan kegembiraan, mengukuhkan minda serta menghapuskan
keadaan tegang, resah dan kecewa di dalam diri seseorang.

Salah satu tujuan meditasi "Buddha – nussati", iaitu renungan
tentang ciri-ciri Buddha ialah untuk mewujudkan keyakinan terhadap
Buddha dengan menyedari dan menghargai keagungan Beliau. Oleh
itu, "menyembah" Imej Buddha merupakan satu pemusatan
minda. "Menyembah" Imej Buddha tanpa puja, bernazar dan upacara
keagamaan tidak harus dianggap sebagai penyembahan berhala tetapi
sebagai satu cara penyembahan (memberi penghormatan) yang unggul.

PENGHORMATAN

Sesetengah daripada kalimat yang dibaca oleh penganut agama Buddha
untuk mengenang guru mereka yang agung sebagai tanda menghormati dan
memuji Buddha berbunyi seperti berikut:-

Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhassa – Terpujilah Bhagava,
Yang Maha Suci, Yang Telah Mencapai Pencerahan Sempurna.

Selanjutnya mereka membaca kalimat yang menerangkan ciri – ciri
agung dan kesucian Buddha seperti berikut:-

"Iti pi so Bhagava Araham Samma sambuddho vijja carana – sampanno
Sugato Lokavidu Anuttaro Purisa dammasarathi Sattha Devamanussanam
Buddho Bhagava ti"

Keseluruhan kalimat ini di dalam bahasa Pali. Sekitanya anda tidak
biasa dengan bahasa ini, anda boleh melafazkan ayat – ayat tersebut
di dalam bahasa yang anda ketahui. Terjemahannya di dalam bahasa
Malaysia seperti berikut:-

"Demikianlah Bhagava, Yang Maha Suci, Yang Telah Mencapai Pencerahan
Sempurna, Sempurna Pengetahuan serta tindak – tanduknya, Sempurna
menempuh jalan (ke Nibbana), Pengenal segenap alam, Pembimbing yang
tiada taranya, Guru para dewa dan manusia, Yang sedar, Yang patut
dimuliakan"

SEBUAH CERITA BUDDHIS

Terdapat sebuah cerita yang dapat membantu kita memahami kepentingan
Imej Buddha untuk memberi inspirasi kepada kita serta mengenang
Buddha. Cerita ini terdapat di dalam kitab suci Buddhis tetapi tidak
di dalam Tipitaka Pali.

Beberapa ratus tahun selepas Buddha mangkat, terdapat seorang
bhikkhu yang setia di India bernama Upagupta. Beliau merupakan
penyebar agama yang paling popular pada masa itu. Setiap kali beliau
menyampaikan ceramah Dhamma, beribu – ribu orang datang mendengar
ceramah Dhamma yang disampaikannya.

Pada suatu hari, Mara berasa iri hati dengan kemasyhuran Upagupta.
Mara mengetahui bahawa kemasyhuran Upagupta disebabkan penyebaran
agama Buddha. Mara tidak suka ajaran Buddha mengambil tempat di hati
dan fikiran orang ramai. Justeru itu, Mara menggunakan tipu muslihat
untuk mempengaruhi orang ramai. Beliau merancang untuk menghalang
orang ramai daripada mendengar penyampaian ceramah Dhamma oleh
Upagupta. Pada suatu hari, semasa Upagupta memulakan penyampaiannya,
Mara mengadakan satu pertunjukan bersebelahan dengan tempat
penyampaian Dhamma oleh Upagupta. Satu pentas yang cantik muncul
dengan tiba – tiba. Terdapat penari – penari wanita yang cantik
serta ahli – ahli muzik yang menyeronokkan.

Orang ramai yang mendengar syarahan Upagupta mula beralih tempat
untuk menikmati persembahan Mara. Upagupta memerhatikan bahawa ramai
orang yang tertarik dengan persembahan itu meninggalkannya. Kemudian
beliau juga bercadang untuk turut serta menyaksikan persembahan
tersebut. Selepas itu Upagupta bercadang untuk memberi satu
pengajaran kepada Mara.

Selepas persembahan itu tamat, Upagupta menghadiahkan satu kalungan
bunga kepada Mara.

"Kamu telah mengadakan satu persembahan yang sungguh menarik, "kata
Upagupta. Mara sudah tentu berasa gembira dan bangga dengan
pencapaiannya. Dengan sukacitanya, Mara menerma kalungan bunga itu
daripada Upagupta. Tiba – tiba kalungan bunga itu menjadi seperti
satu lingkaran ular. Secara perlahan – lahan lingkaran itu menjadi
semakin ketat dan mencerut leher Mara. Cerutan lingkaran itu sungguh
sakit lalu cuba dibuka oleh Mara. Walau berapa kuat Mara menariknya,
lingkaran itu tidak juga terbuka dari lehernya. Beliau bercadang
untuk meminta pertolongan daripada Sakka, iaitu raja bagi segala
deva. Beliau meminta Sakka membuka lingkaran itu. Sakka juga tidak
dapat membukanya. "Saya tidak dapat membukanya," kata
Sakka. "Pergilah kamu berjumpa Maha Brahma yang paling berkuasa
itu."

Jadi, Mara pun pergi berjumpa dengan Maha Brahma dan meminta
pertolongannya. Maha Brahma juga tidak berjaya membukanya. "Saya
tidak dapat membuka lingkaran ini. Orang yang dapat membuka
lingkaran ini ialah orang yang meletakknya di atas kamu," kata Maha
Brahma.

Jadi, Mara terpaksa berjumpa dengan Bhikkhu Upagupta.

"Tolong bukakan lingkaran ini; ia sungguh menyakitkan, "rayu Mara.

"Baiklah, saya boleh melakukannya tetapi dengan dua syarat," kata
Upagupta. "Syarat pertama ialah kamu mesti berjanji tidak akan
mengganggu penganut agama Buddha pada masa hadapan. Syarat kedua
ialah kamu mesti menunjukkan rupa Buddha yang sebenarnya kepada saya
kerana saya tahu awak pernah melihat Bhagava beberapa kali tetapi
saya tidak pernah melihatnya. Saya ingin melihat rupa yang betul –
betul serupa dengan Buddha berserta 32 tanda istimewa yang terdapat
pada tubuhnya."

Mara berasa sungguh gembira. Dia bersetuju dengan syarat – syarat
Upagupta. "Tapi hanya satu perkara", pohon Mara. "Sekiranya saya
menukar diri saya menjadi rupa Buddha, kamu mesti berjanji tidak
akan menyembah saya kerana saya bukannya seorang yang suci seperti
kamu."

"Saya tidak akan menyembah kamu," janji Upagupta.

Tiba – tiba Mara berubah rupa menjadi seakan – akan rupa Buddha.
Apabila Upagupta melihat imej itu, perasaanya dipenuhi dengan
inspirasi dan kebahagiaan. Satu perasaan setia dan kebaktian wujud
di hatinya. Dengan tangan yang beranjali, beliau menyembah Imej
Buddha itu.

"Kamu telah memungkiri janji kamu," jerit Mara. "Kamu berjanji tidak
akan menyembah saya. Sekarang, kenapa kamu menyembah saya?"

"Saya tidak menyembah kamu. Kamu mesti faham yang saya sedang
menyembah kepada Buddha," kata Bhikkhu Upagupta.

Berdasarkan cerita ini, kita dapat memahami mengapa Imej Buddha
penting untuk memberi perangsang kepada kita bagi mengingati Buddha
supaya kita dapat menghormatinya. Sebagai penganut agama Buddha,
kita sebenarnya tidak menyembah simbol atau bentuk yang hanya
mewakili Buddha tetapi kita memberi penghormatan kepada Buddha.

INSPIRASI DARIPADA IMEJ BUDDHA

Buddha telah pun mangkat dan mencapai Nibbana. Buddha tidak
memerlukan penyembahan atau persembahan kita.Akan tetapi Bhagava
akan disembah dan ramai orang akan mendapat manfaat dengan mengikuti
teladan Beliau serta mengikuti pengorbanan dan ciri-ciri Bhagava
yang agung itu.

Seseorang Buddhis juga tidak melakukan pengorbanan binatang di atas
nama Buddha. Apabila seseorang Buddhis ternampak imej Buddha,
kesetiaan (ketaatan) dan kebahagiaan wujud di dalam mindanya.
Kesetiaan dan kebahagian ini merupakan satu objek yang menghasilkan
pemikiran yang berpahala di dalam minda seseorang Buddhis yang
setia. Imej Buddha juga membantu seseorang melupakan kerisauan,
kekecewaan dan masalah-masalah serta membantu mengawal minda mereka.

Beberapa ahli falsafah serta ahli sejarah terkenal juga menyimpan
imej Buddha di dalam bilik bacaan mereka. Imej ini dijadikan sebagai
sumber inspirasi untuk kehidupan dan mencetus pemikiran yang lebih
tinggi. Kebanyakan daripada mereka bukannya penganut agama Buddha.
Ramai orang memberikan penghormatan kepada ibu bapa mereka yang
telah meninggal, guru, perwira, raja dan permaisuri, ketua-ketua dan
pemimpin negara serta orang-orang lain yang disayangi dengan
menyimpan gambar-gambar bagi mengenangkan mereka. Mereka
mempersembahkan bunga untuk menyatakan perasaan kasih, terima kasih,
penghargaan dan kesetiaan mereka. Mereka mengenang kembali ciri-ciri
mulia, pengorbanan serta perkhidmatan yang telah diberikan oleh
tokoh-tokoh ini semasa hidup mereka.

Manusia juga mendirikan tugu sebagai memperingati ahli-ahli politik
tertentu yang telah mengorbankan berjuta nyawa yang tidak berdosa.
Oleh kerana jahat dan tamakkan kuasa, askar-askar mereka dihantar
menakluki negara-negara yang miskin serta lemah sehingga
mengakibatkan kekejaman, kesusahan dan penderitaan yang tidak
terhingga kepada penduduknya. Sungguhpun begitu, mereka masih
dianggap sebagai wira dan diadakan hari peringatan sebagai tanda
penghormatan kepada mereka. Bunga-bunga diletak dan ditaburkan
diatas kubur mereka. Sekiranya perbuatan mereka yang sedemikian
boleh dihargai, kenapakah ada yang membuat kesimpulan bahawa
penganut agama Buddha penyembah berhala?

Pada hal penganut agama Buddha memberi hormat kepada seorang guru
agama yang telah berkhidmat kepada manusia tanpa mencederakan orang
lain dan telah menakluki dunia melalui perasaan kasih belas kasihan
dan kearifannya.

Bolehkah seorang yang waras menyatakan bahawa perbuatan menghormati
imej Buddha sebagai sesuatu yang tidak bertamadun, tidak bermoral
atau suatu perbuatan merbahaya yang boleh mengganggu keamanan dan
kebahagiaan orang lain? Sekiranya, sesuatu imej langsung tidak
penting kepada manusia di dalam mengamalkan agama ini bermakna
simbol-simbol agama dan tempat-tempat beribadat juga tidak
diperlukan. Umat Buddhis dikutuk oleh setengah-setengah orang
sebagai penyembah batu tetapi menyembah batu adalah tidak merbahaya
dan sebaliknya adalah lebih mulia kalau dibandingkan dengan mereka
yang membaling batu (melempar tuduhan) kepada penganut agama lain.

KEPENTINGAN AMALAN

Walau bagaimanapun, untuk mengamalkan ajaran-ajaran Buddha, imej
Buddha bukan satu kemestian . Seseorang Buddhis boleh mengamalkan
ajaran Buddha tanpa imej. Mereka boleh berbuat demikian kerana
Buddha tidak menggalakkan manusia membina "personality cult".
Mengikut ajaran Buddha, seseorang Buddhis tidak sepatutnya
bergantung kepada Buddha orang lain mahupun kepada untuk
menyelamatkan dirinya daripada belenggu Roda Kehidupan (Samsara).

Semasa Buddha masih hidup, terdapat seorang bhikku bernama Wakkali
yang selalu duduk di hadapan Buddha dan mengkagumi kecantikan rupa
paras Buddha. Wakkali menyatakan yang beliau mendapat kebahagiaan
dan inspirasi dengan mengkagumi kecantikan Buddha. Buddha
menjawab, "Kamu tidak dapat mengenali Buddha yang sebenarnya dengan
hanya melihat rupa dan parasnya. Mereka yang mengenali ajaran saya
yang benar-benar mengenali diri saya".

Di dalam agama Buddha, aspek yang paling penting sekali ialah
mengamalkan nasihatnasihat yang diberikan oleh Buddha. Di dalam hal
ini, tiada bezanya sama ada seseorang Buddhis memberi hormat kepada
Buddha atau tidak. Akan tetapi bagi ramai penganut agama Buddha,
perbuatan memberi hormat sangat penting. Walau bagaimanapun, Buddha
tidak menyatakan yang Beliau mengharapkan orang ramai memberi hormat
kepadanya.

ASAL – USUL IMEJ BUDDHA

Bagaimanakah Imej Buddha mula didirikan? Sangat sukar untuk
memastikan sama ada idea ini diberikan oleh Buddha atau tidak. Di
dalam kitab suci Buddhis, tiada bahagian yang menyebut bahawa Buddha
meminta imejnya di dirikan. Walau bagaimanapun, Buddha memang telah
membenarkan relik Beliau disimpan.

Bhikkhu Ananda pernah pada suatu ketika ingin mengetahui sama ada
Buddha membenarkan atau tidak sekiranya didirikan Pagoda sebagai
satu peringantan terhadap Bhagava dan sebagai satu cara untuk
memberikan penghormatan kepada Buddha. Justeru itu, Bhikkhu Ananda
bertanya Buddha," Adakah sesuai untuk mendirikan pagoda semasa Yang
Mulia masih hidup?" Jawapan Buddha ialah, "Tidak, adalah tidak
sesuai semasa Saya masih hidup. Kamu boleh mendirikan objek untuk
penghormatan hanya setelah saya telah tiada lagi."

Di dalam penyampaian Dhamma Beliau yang terakhir, iaitu Maha
Parinibbana Sutta, Buddha menasihati pengikutinya; iaitu sekiranya
mereka ingin menghormati Buddha selepas Bhagava tiada lagi, mereka
boleh mendirikan pagoda – pagoda untuk menyimpan reliknya. Nasihat
ini selaras dengan adat resam di India pada masa itu di mana pagoda –
pagoda didirikan untuk menyimpan relik orang – orang yang suci.
Relik ini disimpan sebagai satu tanda peringatan dan sebagai tanda
menghormati orang – orang yang suci. Buddha tidak menggalakkan
pengikutnya untuk mendirikan imejnya selepas meninggal dunia. Idea
untuk mendirikan Imej Buddha datang daripada pengikut – pengikutnya
yang mahu mengingati guru mereka yang disayangi serta bertujuan
mendapat inspirasi daripada peribadi Buddha yang luhur. Mereka juga
menyimpan sebahagian daripada relik Buddha di dalam imej – imej
tersebut tatkala didirikan. Fa-hsien yang melawat India pada
penghujung kurun yang keempat pernah menulis peristiwa bagaimana
Imej Buddha yang pertama didirikan. Sungguhpun begitu, kitab – kitab
suci Buddhis tidak menyebut apa –apa tentang pemerhatian Fa-hsien
itu. Walau bagaimanapun metos yang dicatitkan itu seperti berikut:-

Pada suatu ketika, Buddha berada di syurga selama tiga bulan
menyampaikan Abhiddhamma atau Dhamma Yang Tertinggi. Semasa
ketiadaan Beliau, mereka yang pergi ke vihara berasa sangat sedih
kerena tidak dapat berjumpa atau melihat Buddha. Mereka telah buat
berbagai sungutan. Bhikku Sariputta, ketua Bhikkhu Sangha telah
pergi berjumpa dengan Buddha disyurga dan melaporkan masalah yang
dihadapi.

Buddha menasihati beliau supaya mencari seorang yang dapat mengukir
imej yang menyerupainya. Orang ramai tentu akan gembila apabila
melihat Imej Buddha. Sariputta pun kembali ke bumi dan terus
berjumpa dengan Maharaja untuk meminta beliau menolong mencarikan
seorang yang dapat mengukir replika Buddha. Tidak lama kemudian,
orang yang dicari itu ditemui dan dia mengukir imej itu daripada
kayu cedana. Selepas patung itu diletakkan di vihara, orang ramai
menjadi gembira semula. Menurut Fa-hsien mulai saat itu, orang ramai
mula meniru replika Buddha tersebut.

Sungguhpun begitu, sukar untuk ditemukan bukti daripada
kesusasteraan dan sejarah agama Buddha bagi menyokong kenyataan
wujudnya Imej Buddha di India sehingga hampir 500 tahun selepas
Buddha mangkat. Sehingga masa tersebut, para penganut agama Buddha
biasanya menghormati Bhagava dengan menyimpan bunga teratai atau
gambar kaki Buddha sebagai tanda penghormatan. Pada permulaannya,
setengah – setengah Buddhis tidak bersetuju untuk mengukir Imej
Buddha kerana kemungkinan imej yang diukur itu tidak dapat
membayangkan rupa Buddha yang sebenarnya.

Ramai ahli sejarah percayai bahawa Imej Buddha buat pertama kalinya
didirikan di India pada masa penjajahan bangsa Yunani. Orang – orang
Yunani membantu dan menggalakkan orang – orang India di dalam seni
membina Imej Buddha. Bermula daripada masa itu, masyarakat di
negara – negara lain mula mendirikan Imej Buddha. Imej – imej itu
diukir dan dibentuk mengikut gaya dan seni yang menggambarkan ciri –
ciri fizikal orang – orang di negara masing – masing. Di setiap
negara Buddhis itu sendiri, gaya dan bentuk Imej Buddha berubah –
ubah mengikut zaman pemerintahan tertentu di negara masing – masing.

PENDAPAT PARA INTELEKTUAL IMEJ BUDDHA
Bekas Perdana Menteri India, Pandit Nehru mengulas tentang imej
Buddha seperti berikut:- "Mata Beliau tertutup tetapi seolah – olah
ada kuasa yang sedang melihat dan ada kuasa yang memenuhi
strukturnya. Tahun demi tahun berlalu, tetapi Buddha seolah – olah
tidak begitu jauh daripada kita; bisikan suaranya terdengar di
telinga dan menyuruh kita supaya jangan lari daripada perjuangan
tetapi hadapinya dengan tenang dan melihat akan peluang – peluang
yang terbuka luas untuk terus berkembang dan maju.

Nehru juga pernah berkata, "Semasa saya merengkok di dalam penjara,
saya sentiasa memikirkan tentang imej Buddha. Imej Buddha betul –
betul menjadi sumber inspirasi kepada saya."

Semasa Perang Dunia kedua, General Ian Hamilton terjumpa sebuah Imej
Buddha di dalam sebuah vihara yang termusnah di Burma. Beliau
mengirimkan imej tersebut kepada Winston Churchill yang pada masa
itu merupakan Perdana Menteri Britain dengan satu pesanan:- "Apabila
Tuan Churchill rungsing, cuba lihat imej ini yang wajahnya begitu
tenang. Sudah pasti kerunsingan Tuan akan hilang."

Count Keyserling, seorang ahli falsafah berkata:- "Saya belum
menjumpai apa jua yang lebih agung di dalam dunia ini selain
daripada imej Buddha: imej itu satu penjelmaan spiritual yang
sungguh sempurna di dalam domain penglihatan."

Seorang lagi ahli cendekiawan berkata:- "Imej – imej Buddha yang
kita lihat merupakan satu simbol bagi mewakili ciri – ciri mulia.
Penghormatan yang diberikan kepada Buddha sebenarnya merupakan satu
simbol penghargaan terhadap keagungan dan kebahagian yang kita
ketemui melalui ajarannya."

Ketenangan dan keluhuran imej Buddha telah menjadi satu konsep
kecantikan yang unggul bagi umum. Imej Buddha merupakan satu-satunya
harta pesaka kebudayaan Asia yang paling berharga dan dipunyai oleh
ramai orang. Tanpa imej Buddha, Asia hanya akan dikenali sebagai
satu kawasan geografikal sahaja walau semakmur mana ia mungkin
wujud.

Seseorang Buddhis menghormati imej Buddha sebagai tugu seorang guru
agama yang teragung, paling arif, paling sempurna serta tinggi belas
kasihannya yang pernah hidup di dunia ini. Imej ini diperlukan untuk
mengingati kembali Buddha serta ciri-ciri: Bhagava yang telah
memberikan inspirasi kepada berjuta – juta manusia daripada satu
generasi kepada satu generasi lain di sepanjang ketamadunan dunia.
Imej ini menolong seseorang Buddhis menumpukan perhatian kepada
Buddha. Mereka dapat merasakan kehadiran Buddha di dalam minda
mereka; kehadiran Buddha menjadikan penghormatan mereka lebih jelas
dan bermakna.

Sebagai seorang Buddhis, sangat sesuai sekiranya anda mempunyai imej
atau gambar Buddha di dalam rumah anda. Simpan patung atau gambar
ini sebagai objek untuk dikagumi, mendapat inspirasi dan untuk
diberi penghormatan, bukannya sebagai satu objek penghiasan. Imej
Buddha yang luhur merupakan satu simbol yang memancarkan kasih
sayang suci, kesucian dan kesempurnaan yang menjadi sumber
ketenangan dan inspirasi bagi membantu anda mengatasi masalah –
masalah serta kerungsingan yang ditempuhi di dalam aktiviti-aktiviti
seharian di dunia yang penuh dengan berbagai masalah ini.

Apabila anda memberi penghormatan kepada Buddha, anda akan mendapat
manfaat sekiranya diikuti dengan sessi meditasi yang pendek dengan
menumpukan minda kepada ciri-ciri agung dan mulia Buddha. Sekiranya
anda memikir akan Guru yang Agung ini, anda akan dapat
menyempurnakan diri anda menerusi ajarannya. Tidak menghairankan
sekiranya penghormatan tersebut diluahkan di dalam bentuk seni yang
paling halus dan indah yang pernah dilihat di dalam tamadun dunia.

Seorang lagi penulis terkenal menyatakan di dalam bahawa falsafah
beliau tentang maksud sebenar memberi hormat kepada Buddha, seperti
berikut:- "Kita juga memerlukan amalan memberi penghormatan walaupun
pemujaan itu ditujukan bukan kepada seorang manusia kerana
sebenarnya semua personaliti merupakan satu impian sahaja;
penghormatan tersebut terhadap suatu yang dianggap unggul di dalam
hati kita. Dengan itu, kita dapat menemui kekuatan baru dan membina
singahsana (kegemilangan) kehidupan kita sendiri, membersihkan hati
kita sehingga mempunyai peluang (yang amat bernilai) untuk
menanggung imej (Buddha) tersebut di dalam perlindungan kasih sayang
yang mendalam. Pada tempat pemujaan itu, kita semua perlu
mempersembahkan pemberian – pemberian. Bukannya pemberian cahaya
yang akan padam, bunga – bunga yang akan layu dan lenyap tetapi
amalan kasih sayang, pengorbanan dan sikap tidak semata – mata
mementingkan diri sendiri (selflessness) terhadap semua yang berada
di sekeliling kita."

Anatol France di dalam autobiografinya menulis, "Pada 1hb May 1890,
saya berpeluang untuk melawat sebuah muzium di Paris. Di dalam
muzium itu, berdirinya imej "Dewadewi Asia" dengan senyap dan cukup
merendahkan diri. Lantas pandangan saya tertumpu kepada Imej Buddha
yang menjemput umat manusia yang menderita untuk memperkembangkan
pemahaman dan belas kasihan. Sekiranya tuhan pernah berjalan di atas
muka bumi ini, saya merasakan beliaulah (Buddha) orangnya. Saya
berasa hendak melutut dan menyembah beliau seolah – olah dialah
Tuhan."

Encik Ouspensky, seorang lagi penulis Barat, mencurahkan perasaannya
tentang imej Buddha yang dijumpainya di Sri Lanka. Beliau
berkata, "Imej ini merupakan satu seni yang sungguh istimewa. Saya
tidak terjumpa seni lain yang setanding dengan imej Buddha ini yang
mempunyai mata yang bersinar seperti permata biru. Maksudnya, saya
belum terjumpa satu seni yang dapat mencerminkan dengan sempurna
idea sesuatu agama seperti yang dibayangkan oleh imej ini tentang
agama Buddha. Dengan memahami wajah Buddha, kita dapat memahami
agama Buddha." Selanjutnya beliau berkata," Tidak perlu membaca
banyak buku tentang agama Buddha atau belajar dengan professor yang
mengkaji agama – agama di Timur atau pun belajar dibawah bimbingan
seseorang bhikkhu yang bijak. Seseorang mesti datang ke sini,
berdiri di hadapan Imej Buddha ini dan membiarkan pancaran mata
birunya menembusi kehidupannya dan dia akan memahami agama Buddha."

Seni membina Imej Buddha yang indah dan lukisan – lukisan dinding
yang menggambarkan berbagai – bagai cerita agama Buddha telah
mendorong perkembangan seni dan kebudayaan di hampir kesemua negara
Asia selama lebih daripada dua ribu tahun.

Apakah yang menyebabkan ajaran – ajaran Buddha diminati oleh manusia
yang telah memperkembangkan intelektual mereka? Jawapannya mungkin
terletak pada wajah Buddha yang melambangkan ketenangan. Keyakinan
terhadap Buddha dan ajarannya yang memikat hati tidak hanya
digambarkan di dalam lukisan sahaja. Kemahiran mendirikan Imej
Buddha daripada logam dan batu merupakan salah satu daripada ciptaan
teragung oleh manusia.

Sekirannya seorang Buddhis benar – benar ingin melihat kecemerlangan
dan keindahan Buddha, mereka patut mengamalkan ajaran – ajaran
Beliau di dalam kehidupan sehari – harian. Hanya dengan mengamalkan
ajaran Beliau, mereka dapat merapatkan diri dan merasakan keindahan
sinaran kearifan dan belas kasihan Buddha yang tidak kunjung padam.
Hanya menghormati imej Buddha tanpa mengikuti ajaran Beliau bukannya
cara untuk menyelamatkan diri daripada belenggu Roda Kehidupan.

Kehidupan yang begitu indah, hati yang begitu suci dan baik, minda
yang mampu mendalami sesuatu serta telah mencapai Pencerahan
Sempurna, mempunyai dorongan sahsiah yang tinggi dan tidak
mementingkan diri sendiri. Kehidupan yang sebegitu sempurna, hati
yang sebegitu berbelas kasihan, minda yang sebegitu tenang serta
sahsiah yang sebegitu luhur, wajar dihormati, diberi penghormatan
dan diberi persembahan. Buddha merupakan kesempurnaan dan ciri
kemanusiaan yang tertinggi itu.

Sir Edwin Arnold menerangkan ciri – ciri Kebuddhaan di dalam
bukunya" Cahaya Asia" seperti berikut:- "Buddha bagaikan bunga di
pohonan manusia yang berkembang untuk beribu – ribu tahun. Takkala
berkembang, ruang dunia dipenuhi dengan keharuman kearifannya dan
kasih sayang sucinya."

Seorang penyajak India yang terkemuka, Rabindranath Tagore menggubah
sebuah puisi yang menunjukkan betapa pentingnya kehadiran Buddha:-

Semua makhluk memekik pintakan kelahiran barumu.
Oh, Kamu yang tiada batasan kehidupan
Selamatkan mereka, bangkitkan suaramu
Biarkan teratai cinta,
dengan madu yang tak terhingga itu,
mengembangkan kelopaknya
di dalam sinaran cahaya Mu.
Oh Kecerahan, Oh Kebebasan
Dengan belas kasihan dan kebaikan Mu
Yang tidak terhingga,
Bersihkan semua kenodaan
daripada muka bumi ini.
Namo Buddhaya – Saya memberi penghormatan kepada Buddha.
Diterjemahkan oleh Rakan-rakan se Dhamma Universiti Sains Malaysia,
penyelaras : Hong Tai Fook, penterjemah : Tan Hock Ming & Kong Sook
Fong, penyunting : Sim Miw Ing & K. Don Premaseri.

Sumber: http://www.geocities.com/Athens/Crete/6468/artikel163.html

Catatan lain: Penyakit disimpan dulu oleh Iblis melalui dukun????
Pernyataan yang aneh, dan sama sekali tidak masuk akal (mungkin
karena tidak melalui otak besar) tentunya akan lebih bermakna dan
logis kalau dikatakan tai kucing itu bau, dan tidak ada yang wangi
sekalipun itu pemberian Tuhan.
Kalau memang pernyataan yang mengatakan bahwa hanya Tuhan yang bisa
menyembuhkan, kok anehnya mereka yang beragama Kristen yang percaya
sekali pada Tuhan yang sudah pernah sakit pilek, masih bisa pilek?
yang pernah sakit demam, masih bisa sakit demam?berarti bukan
penyembuhan total, seperti pernyataannya itu sendiri kalau Iblis
menyimpan dulu penyakit tersebut entah dimana, baru nanti
dikembalikan lagi?Lucu sekali. Pernyataan itu (kalau Iblis menyimpan
penyakit itu melalui dukun) tidak terdapat dialkitab, jadi
seharusnya tidak bisa diterima oleh umat kristiani sendiri!
Jadi semua hanyalah merupakan karangan cerita dari pemikiran
sendiri, karena setahu saya banyak penginjil2 yang sebenarnya
merupakan pengarang2 cerita / dongeng yang handal, yang timbul dari
pemikiran sendiri, tentunya pengarang2 cerita tersebut sudah
qualified.Tapi kalo sudah terdesak alasan yang sama selalu keluar,
sepertinya saya sudah terlalu lama, atau saya ada urusan lain, atau
memang sudah waktunya untuk pulang tanpa memberikan dulu jawaban
yang memuaskan. Sebenarnya saya cukup muak,karena lucunya para
penginjil itu dalam selang berapa hari masih bisa datang lagi,
dengan kesiapan yang lebih matang tentunya, tapi dengan topik baru,
bukan jawaban dari pertanyaan yang lalu, dan apabila terdesak lagi,
alasan yang sama untuk "kabur" muncul lagi, saya cuma bisa tertawa
geli!
Ada sekali penginjil tersebut akhirnya mengatakan kalau firman Tuhan
itu bertentangan dengan ilmiah, jadi kita harus memilih salah satu,
dan dia memberikan buku ( yang sudah ketinggalan zaman) yang
mengatakan kalau ilmiah itu tentunya adalah dusta. Tentunya salah
satu antara Tuhan atau penulis buku tersebut ada yang "tidak
sekolah" jadi tidak bisa menerima hal-hal yang ilmiah. Jadi saya
sudah tidak heran kalau ada yang mengatakan alkitab itu tidak
ilmiah,jadi tentunya cerita2 karangannya juga pasti tidak ilmiah, in
conclusion kalau jawaban dari mereka tidak ilmiah adalah wajar, yang
lucunya bisa diterima oleh mereka sendiri.
Mengenai Iblis itu serigala berbulu domba, saya setuju, karena
seperti layaknya firman Tuhan banyak sekali terdapat hal-hal yang
baik, tapi juga exist something evil beyond that, semoga bisa
membedakan mana dari isi alkitab yang benar2 firman allah dan yang
mana yang ajaran salah yang merupakan firman iblis / tuhan /
sebenarnya allah sendiri, saya tidak tahu


To:milis_buddha@Yahoogroups.com
From:"Hengki Suryadi" Add to
Address Book
Date:Tue, 24 Feb 2004 13:02:56 +0700
Subject:[MB] Wawancara Sayadaw Ashin
Janakabhivamsa




"Dhamma makes me a meditation teacher," ujar Chanmyay Sayadaw Ashin
Janakabhivamsa. "Dhamma yang membuatku menjadi guru meditasi," itulah
sekilas cuplikan dari hasil wawancara redaksi majalah Dhammacakka
dengan
Chanmyay Sayadaw Ashin Janakabhivamsa pada hari Jumat siang, 28
November
2003. Beliau berasal dari Myanmar, sudah menjadi bhikkhu selama 56
tahun dan
telah mengajarkan meditasi selama 51 tahun ke 30 negara. Berikut adalah
hasil wawancara dengan Chanmyay Sayadaw Ashin Janakabhivamsa di Saung
Paramita, Bogor.

1. Apakah definisi meditasi?
Meditasi adalah pengembangan kesadaran.
Untuk pengembangan kesadaran dan untuk menyucikannya diperlukan praktek
meditasi. Kita harus memfokuskan pikiran kita sesuai dengan metode
meditasi
yang dipakai.

2. Adakah perbedaan antara samatha meditation dan vipassana?
Ya.

3. Apakah tujuan dari samatha meditasi?
Tujuan dari samatha meditasi adalah untuk pengkonsentrasian pikiran.

4. Apakah tujuan dari vipassana?
Tujuan dari vipassana adalah untuk mencapai Nibbana melalui praktek
latihan-latihan vipassana.

5. Apakah mungkin bagi seseorang untuk mencapai Nibbana di dalam
kehidupan ini setelah berlatih vipassana?
Ya, hal itu mungkin. Jika seseorang mempunyai waktu untuk berlatih
vipassana dan berusaha dengan giat,
orang tersebut pasti akan mencapai Nibbana di dalam kehidupan ini.

6. Apa yang menjadi rencana Sayadaw di dalam menyebarkan agama Buddha?
Saya mempunyai berbagai macam rencana di dalam menyebarkan agama
Buddha.
Misalnya, mendirikan pusat meditasi di dalam dan luar negara Myanmar,
mengajar, membabarkan Dhamma dan metode-metode meditasi dan sebagainya.

7. Kendala apa yang Sayadaw hadapi di dalam menyebarkan agama Buddha?
Kendala yang paling besar adalah perbedaan bahasa.

8. Bagaimana cara mengatasi kendala tersebut?
Dengan menggunakan penterjemah sehingga proses komunikasi dapat tetap
berjalan.

9. Kadang-kadang orang berpikir bahwa meditasi adalah sesuatu hal yang
kuno, apakah yang meditasi masih relevan dengan kehidupan modern
sekarang
ini?
Meditasi sangat dibutuhkan di dalam kehidupan semua orang setiap waktu.
Karena meditasi merupakan latihan untuk mendapatkan ketenangan dan
kebahagiaan. Setiap orang menginginkan hidup yang tenang dan bahagia.

10. Menurut Sayadaw, seberapa besarkah ketertarikan masyarakat sekarang
ini untuk mengikuti program meditasi?
Saya rasa ketertarikan masyarakat sekarang ini untuk mengikuti program
meditasi makin meningkat.

11. Bagaimana membuat masyarakat untuk semakin tertarik kepada
meditasi?
Saya berusaha untuk menjelaskan bahwa meditasi itu sangat bermanfaat
kepada
masyarakat sehingga mereka semakin tertarik kepada meditasi.

12. Bagaimana pendapat Sayadaw mengenai perkembangan agama Buddha di
abad ini?
Perkembangan agama Buddha di abad ini amat pesat karena masyarakat
tertarik dengan meditasi dan melatihnya.

13. Bagaimana pendapat Sayadaw mengenai meditasi umum seperti meditasi
kesehatan tanpa harus menjalankan Pancasila Buddhis?
Sila berarti moralitas, sila bertujuan untuk menyucikan perbuatan serta
perkataan
seseorang. Sebagian orang tidak menjalankan Pancasila Buddhis, umumnya
perkataan dan perbuatan orang tersebut tidak dijaga. Jika seseorang
menjaga/memurnikan perkataan dan perbuatannya di dalam kehidupannya
sehari-hari meskipun mereka tidak menjalankan Pancasila Buddhis, maka
mereka
dapat berlatih meditasi dengan baik dan dapat memperoleh keuntungan.

14. Mengapa banyak orang dari Barat menganut agama Buddha berasal dari
kalangan Yahudi?
Karena mereka mengerti bahwa agama Buddha adalah cara untuk
membebaskan diri dari penderitaan. Karena itu mereka tertarik untuk
berlatih
meditasi. Jika mereka tidak mengerti agama Buddha maka mereka tidak
akan
mampu untuk mengikuti agama Buddha.

Apa yang menjadi harapan Sayadaw untuk umat Buddha Indonesia?
Saya mengharapkan agar umat Buddha dapat terbebas dari penderitaan.

Date:Tue, 16 Sep 2003 20:58:31 -0700 (PDT)
Subject:[samaggiphala] SUKSES BISNIS(1 of 2 ) by
YM.Bhante Uttamo Thera

SUKSES BISNIS
Antara Tradisi dan Ajaran Sang Buddha
Oleh : YM. Uttamo Thera *)

Seperti yang telah diketahui bersama bahwa masyarakat
dunia terdiri dari berbagai suku, bangsa dan agama.
Berbagai perbedaan ini juga telah menimbulkan
bermacam-macam kebudayaan yang sangat unik. Perbedaan
ini pula yang mempengaruhi cara dan sikap mereka dalam
mengahadapi berbagai permasalahan kehidupan.

Agama sebagai bagian dari hasil kebudayaan juga ikut
menentukan seseorang dalam bersikap menghadapi
berbagai kesulitan yang dihadapinya. Hal ini tentu
saja juga berlaku untuk para umat Buddha yang
merupakan salah satu komponen masyarakat. Sebab,
seorang umat Buddha juga pasti mengalami suka dan duka
sebagaimana yang dialami oleh anggota masyarakat
lainnya. Suka duka ini dapat mereka rasakan dalam
kehidupan berumah tangga maupun dalam bekerja mencari
nafkah kehidupan ataupun yang lebih dikenal dengan
istilah “bisnis”.

I. TRADISI

Dalam usaha mengatasi kesulitan bisnis, kadang karena
ketidaktahuannya, sebagian umat Buddha mempergunakan
cara-cara yang sebenarnya TIDAK ADA dalam ajaran Sang
Buddha. Mereka mengikuti tradisi serta kebiasaan yang
telah lama berkembang dalam masyarakat tempat para
umat Buddha tersebut tinggal dan hidup.

Hal ini bisa saja terjadi karena memang Agama Buddha
terdiri dari dua bagian besar yaitu : Ajaran Sang
Buddha yang bertujuan membebaskan manusia dari
penderitaan serta tradisi setempat dimana Ajaran Sang
Buddha tersebut dilaksanakan.

Sebagian kecil dari begitu banyak macam tradisi yang
telah sering dilakukan para umat Buddha untuk
menyelesaikan masalah bisnis tersebut adalah :
1. Mempergunakan jasa paranormal dan juga para tukang
ramal nasib untuk ditanya tentang kemajuan bisnisnya
serta berbagai macam masalah yang mungkin timbul di
masa depan. Tentu saja hal ini juga termasuk
menanyakan berbagai macam cara untuk mengatasi
kesulitan-kesulitan yang mungkin menghadang kemajuan
bisnis mereka. Mereka juga tidak segan-segan
mengeluarkan sejumlah biaya untuk melaksanakan
berbagai macam upacara sesuai dengan saran sang
paranormal dan juga tukang ramal nasib tersebut.
Bahkan bukan hanya biaya saja yang mereka keluarkan,
mereka juga bersedia melaksanakan segala nasehat
paranormal tersebut, misalnya mereka bersedia setiap
malam hari tertentu meletakkan berbagai jenis bunga ke
sejumlah perempatan jalan. Mereka juga tidak segan
untuk memotong hewan sebagai tumbal asalkan usahanya
selalu lancar dan menghasilkan banyak uang.
Pemanfaatan jasa paranormal ini kadang memang
menampakkan hasil sesuai dengan harapan. Namun tidak
jarang, mereka pun mengalami kegagalan.
Dan bila mereka tidak berhasil mendapatkan yang
diinginkan, mereka juga sudah terbiasa berpindah ke
paranormal yang lain agar dapat mewujudkan harapan
untuk selalu dapat meningkatkan hasil bisnis mereka.
Sungguh merupakan kenyataan yang sangat banyak
dijumpai dalam masyarakat dewasa ini.
2. Membaca berbagai sutta datau paritta tertentu yang
diyakini dapat memberikan pengaruh dalam usaha
meningkatkan penghasilannya. Oleh karena itu, dalam
masyarakat Buddhis cukup mudah diperoleh brosur atau
selebaran yang berisikan ‘Mantra Kekayaan’.
Tampaknya sejak dahulu, di berbagai negara Buddhis,
mantra ini cukup banyak dicari orang. Dengan membaca
mantra berbahasa Pali ini, seorang umat Buddha merasa
yakin telah memiliki pegangan Dhamma untuk kesuksesan
pekerjaannya.
Padahal, mantra berbahasa Pali itu adalah merupakan
buah karya para senior yang mahir menggunakan bahasa
Pali, jadi sama sekali bukan merupakan Ajaran Sang
Buddha. Selain membacakan Mantra Kekayaan, ada pula
sebagian umat Buddha yang mempunyai kebiasaan membaca
Karaniyametta Sutta atau Khotbah Sang Buddha tentang
Cinta kasih dengan harapan agar timbul ‘getaran’ cinta
kasih di sekitar dirinya, sehingga para langganan lama
akan datang dengan tujuan serupa pula. Memang,
keinginan untuk menimbulkan getaran cinta kasih itu
mungkin saja tercapai, karena sesungguhnya dalam Sutta
tersebut termuat harapan luhur agar semua makhluk
selalu berbahagia.
Dengan seringnya mengembangkan pola pikir mengharapkan
semua makhluk yang tampak maupun yang tidak tampak
agar selalu berbahagia, maka dalam jangka waktu
tertentu, ornag tersebut akan terkondisi untuk
berpikir positif, berkurang pikiran yang berisikan
kebencian. Dengan demikian orang di sekitarnya akan
merasa aman bila berdekatan dengannya. Rasa aman ini
membuat banyak orang suka berdekatan dan ingin
menjalin hubungan bisnis dengannya. Dengan demikian,.
bisnispun menjadi lebih lancar.
3. Melepaskan makhluk juga merupakan salah satu usaha
yang disukai untuk membantu meperlancar bisnis
seseorang. Kebiasaan ini dilakukan karena sejalan
dengan pengertian akan Hukum Karma yang menyatakan
bahwa : Sesuai dengan benih yang ditanam, demikian
pula buah yang dipetiknya )Samyutta Nikaya I, 227).
Dengan demikian orang yang melepas makhluk beranggapan
bahwa dengan menanam kebebasan (makhluk), tentunya
bisa diarahkan agar kebajikannya berbuah dalam bentuk
terlepasnya dia dari berbagai kesulitan dalam bisnis.
Adapun binatang yang biasanya dilepaskan utnuk tujuan
kesuksesan bisnis ini adalah ikan lele atauoun burung
pipit. Pemilihan binatang ini karena jenis binatang
tersebut dianggap binatang yang suka kebebasan dan
tidak tergantung pada pemeliharaan orang. Meskipun
tidak tertutup kemungkinan untuk melepaskan
binatang-binatang yang lain, seperti kura-kura, belut
dan lain sebagainya, sesuai dengan kecendrungan mereka
sendiri atau atas petunjuk paranormal yang telah
didatangi sebelumnya.
Dengan rutinitas pelepasan makhluk ini, ternyata
banyak pula orang yang merasa berhasil menyelesaikan
berbagai permasalahan dalam usahanya.

Namun, berbagai cara yang berkembang sebagai tradisi
dalam masyarakat tersebut di atas sesungguhnya BELUM
MENJAMIN kelancaran usaha seseorang. Ada faktor yang
sangat penting yang harus diperhitungkan peranannya
agar dapat mematangkan karma baik sesuai dengan yang
diharapkan yaitu TIMBUNAN KEBAJIKAN yang telah pernah
dilakukan dalam kehidupan ini.

Timbunan kebajikan ini dapat diperoleh dengan
melaksanakan tiga pokok dasar Ajaran Sang Buddha,
yaitu : kerelaan, kemoralan dan konsentrasi.

Kerelaan adalah Ajaran agar seseorang dapat melepas
sebagian miliknya untuk dibagikan dan dipergunakan
oleh mereka yang membutuhkan. Hal ini bisa
dilaksanakan, misalnya dengan melepas makhluk itu
sendiri atau membagikan makanan maupun pakaian yang
masih layak di pakai ke berbagai panti asuhan.

Inti dari Ajaran tentang kerelaan ini adalah agar
seseorang lebih memperhatikan kesulitan orang lain dan
juga lingkungannya. Selain itu, hendaknya ditimbulkan
dlam dirinya kemauan dan kebiasaan untuk menolong
serta berbagi kebahagiaan denan lingkungannya.

Dengan demikian, ia sesungguhnya dilatih untuk tidak
melekat dengan segala sesuatu termasuk
barang-barangnya yang sesungguhnya tidak kekal itu.

Jadi. Latihan ini adalah untuk mengikis ketamakan
serta kemelekatan yang merupakan salah satu akar
perbuatan seperti yang diajarkan oleh Sang Buddha.

Kemoralan adalah latihan mengendalikan diri untuk
tidak melakukan, paling tidak lima hal yang merugikan
diri sendiri maupun pihak lain yaitu pembunuhan dan
penganiayaan, pencurian, pelanggaran kesusilaan,
kebohongan serta mabuk-mabukan (Anguttara Nikaya III,
203).

Apabila kerelaan adalah merupakan unsure posotif atau
yang harus diekrjakan, maka latihan kemoralan ini
merupakan unsur negatif atau perilaku yang harus
dihindari.

Dengan demikian, melaksanakan kerelaan dan kemoralan
secara bersamaan akan membentuk manusia seutuhnya yang
mengetahui perilaku yang sebaiknya dikerjakan dan
dihindari. Latihan kemoralan ini juga merupakan
latihan pengendalian diri. Seseorang dilatih untuk
tidak selalu melakukan segala bentuk keinginan yang
timbul dalam dirinya. Apalagi, kalau perilaku itu
dapat merugikan dirinya maupun ornag lain.

Lima latihan kemoralan ini merupakan pengendalian atas
lima perilaku yang cenderung memuaskan diri dari
kejengkelan serta ketidaksukaan denga pihak lain.

Sebagai contoh, melakukan pembunuhan nyamuk adalah
sebagai cerminan ketidaksukaan seseorang pada nyamuk
yang dianggap mengganggu serta berpotensi membawa
penyakit.

Pencurian adalah merupakan ungkapan ketidaksukaan
seseorang melihat kelebihan pihak lain, sehingga ia
berminat memilikinya pula.

Pelanggaran kesusilaan dapat diartikan sebagai
keinginan untuk memuaskan diri sendiri tanpa
memperdulikan status, kedudukan serta perasaan pihak
lain.

Kebohongan merupakan cerminan ketidaksukaan seseorang
mengungkapkan hal yang sebenarnya yang mungkin dapat
merugikan dirinya maupun pihak yang dilindunginya.

Dan mabuk-mabukan adalah sarana memuaskan diri tanpa
memperdulikan keberadaan pihak lain. Dengan bisa
melaksanakan pengendalian atas lima perilaku ini maka
seseorang akan terlatih untuk mengurangi ketamakan
serta kebencian yang juga merupakan akar perbuatan.

Sedangkan konsentrasi adalah latihan pengendalian
pikiran agar lebih terpusat pada hal-hal yang sedang
dikerjakan, diucapkan bahkan yang sedang dipikirkan.
Dengan selalu menyadari perilaku sendiri sampai yang
sekecil-kecilnya, seseorang akan dapat melepaskan diri
dari cengkeraman ketamakan dan kebencian tersebut.

Bahkan lebih maju lagi, orang tersebut mampu terbebas
dari kegelapan batin atau tidak menyadari bahwa
sesungguhnya segala sesuatu dalam kehidupan ini adalah
tidak kekal adanya. Karena justru dari ketidaksadaran
inilah yang membuat seseorang melekat dengan hal yang
disukainya dan juga selalu berusaha menyingkirkan hal
yang dibencinya. Dan, kadang orang dapat melakukan apa
saja untuk mendapatkan hal yang disukainya dan
melenyapkan hal yang dibencinya.

Dorongan inilah yang merupakan akar perbuatan yang
akan membawa seseorang melakukan kebajikan serta
kejahatan. Dengan membuka kabut ketidaktahuan tersebut
seseorang akan terbebas dari nafsu indria sehingga
batin menjadi tenang dan bahagia.

Ketiga inti ajaran Sang Buddha tentang kerelaan,
kemoralan serta konsentrasi ini bila dilakukan secara
rutin dan sungguh-sungguh akan memberikan banyak
timbunan kebajikan. Dengan memiliki banyak timbunan
kebajikan inilah, maka cara-cara tradisi yang dibahas
di atas barulah mungkin memberikan hasil yang sesuai
dengan harapan.

Hal ini bisa diibaratkan sebagai buah mangga yang
mestinya matang dalam satu minggu, tapi bisa menjadi
lebih cepat matang karena diolesi dengan bahan
tertentu. Namun, semua ini jelas tergantung kondisi
mangganya pula. Terlalu muda atau terlalu tua
mangganya akan memberikan hasil yang tidak sesuai
dengan yang di harapkan.

Demikian pula dengan timbunan kebajikan yang dimiliki,
kalau memang akan segera berbuah, barulah bisa
dirasakan hasil (dari) melakukan berbagai tradisi yang
disebutkan di atas.
Bersambung….

Date:Tue, 16 Sep 2003 21:00:50 -0700 (PDT)
Subject:[samaggiphala] SUKSES BISNIS(2 of 2 ) by
YM.Bhante Uttamo Thera




SUKSES BISNIS
Antara Tradisi dan Ajaran Sang Buddha
Oleh : YM. Uttamo Thera *)

II. AJARAN SANG BUDDHA

Dalam Ajaran Sang Buddha bila dicari dengan
sungguh-sungguh, dapat ditemukan pula tuntunan yang
dapat dipergunakan untuk meningkatkan hasil suatu
usaha. Hal ini disebabkan karena walaupun ajaran Sang
Buddha sesungguhnya adalah untuk membebaskan manusia
dari ketamakan, kebencian serta kegelapan batin, akan
tetapi banyak pula diantara pengikut Sang Buddha yang
bekerja sebagai pedagang ataupun pengusaha.

Salah satu ajaran tersebut adalah yang terdapat dalam
kitab Vibhangga 216 & 413. Disebutkan di sana bahwa
agar seseorang dapat meraih kesuksesan dan mampu
bekerja dengan giat, ulet serta bersemangat dibutuhkan
minimal empat syarat yaitu :

1. CHANDA : Kepuasan dan Kegembiraan di dalam
mengerjakan hal-hal yang sedang dikerjakan.

Langkah awal yang amat penting agar bisnis (dapat )
sukses adalah ketepatan menentukan jenis pekerjaan
kita. Memilih pekerjaan selain dibutuhkan kecerdasan
tertentu untuk melaksanakan pekerjaan itu hendaknya
dipikirkan pula bakat atau hobby yang dimiliki.
Menyesuaikan pekerjaan dengan hobbu atau kesenangan
ini perlu. Apabila kita senang dengan pekerjaan itu,
kita akan selalu bergembira dan bersemangat untuk
mengejakannya. Segala bentuk kesulitan yang muncul
darinya akan menjadi tantangan yang menarik dan sama
sekali bukan merupakan hambatan. Kegembiraan yang
dirasakan bukan di awal ataupun akhir pekerjaan,
tetapi justru pada saat menghadapi dan menyelesaikan
pekerjaan itu.

Pada umumnya orang hanya merasa gembira ketika di awal
ataupun akhir pekerjaan. Pada awalnya, mereka
membayangkan keindahan hasil yang akan dicapainya.
Pada akhir pekerjaan, mereka merasa puas bila berhasil
dan kecewa bila mengalami kegagalan. Pada saat proses
pelaksanaan pekerjaan itu berlangsung, mereka kadang
malah menjadi segan, bosan untuk mengerjakannya. Tidak
jarang, mereka kemudian bahkan menyerah sebelum kalah
karena merasa hasil yang hendak diraihnya datang
terlalu lambat. Padahal hasil pekerjaan itu adalah
akibat langsung dan sepadan dengan usaha yang telah
kita kerjakan dengan penuh keuletan serta kegembiraan
itu.

2. VIRIYA : Usaha yang bersemangat di dalam
mengerjakan sesuatu

Hobby dan kesenangan menjadikan kegembiraan dalam
melaksanakan tugas. Kegembiraan akan menimbulkan
semangat. Semangat memunculkan keuletan dalam
berusaha. Keuletan akan mewujudkan hasil yang
memuaskan. Hasil yang memuaskan akan membahagiakan
diri kita secara lahir dan batin. Kebahagiaan atas
keberhasilan tersebut dapat juga dirasakan oleh
lingkungan kita, keluarga, atasan dan masyarakat luas,
sejalan dengan jenis pekerjaan yang kita lakukan.
Itulah proses wajar yang akan muncul dalam diri kita
bila pelaksanaan pekerjaan telah diawali dengan cara
yang tepat.

Apabila ternyata kita tidak berhasil mendapatkan jenis
pekerjaan yang sesuai dengan hobby kita, untuk
menggantikan faktor pendorong yang amat penting ini,
kita dapat segera menetapkan tujuan hidup kita. Tujuan
hidup inilah yang telah kita sadari menjadi alasan
kuat untuk kita bekerja. Kelemahan, kemalasan dan
hilangnya semangat kerja kita dapat dikendalikan
dengan selalu memotivasi diri, memacu diri kita untuk
selalu ingat akan tujuan hidup yang belum tercapai.

Tujuan hidup yang paling pertama dan utama adalah
kecukupan kebutuhan pokok. Kita hendaknya menetapkan
ukuran “cukup” itu terlebih dahulu. Ukuran itulah yang
akan menjadi sasaran sementara kita. Bila telah
tercapai, kita dapat meninjau kembali dan meningkatkan
tujuan kita tersebut. Batas akhir sasaran sementara
ini tergantung pada tingkat kematangan berpikir setiap
orang. Sangat relatif.

Apabila tujuan keduniawian dirasa telah cukup, kita
dapat mulai mengimbanginya dengan memikirkan pula
tujuan surgawi. Fasilitas untuk menentukan tujuan
surgawi lengkap dengan rumusan usaha untuk mencapainya
adalah pokok ajaran yang telah disediakan oleh lembaga
keagamaan. Tujuan surgawi dapat dicapai dengan, salah
satunya, melaksanakan kerelaan sebagai awal perbuatan
baik. Melaksanakan kerelaan dapat mempergunakan
sebagian hasil yang telah kita dapatkan dari pekerjaan
kita. Hasil ini dapat berupa materi maupun non materi.

Pada titik inilah kebutuhan hidup lahir dan batin
dapat dipenuhi. Disini pulalah kebutuhan lahir dan
batin dapat saling mendukung. Pekerjaan dan agama
walaupun dua bidang yang berbeda, masing-masing mampu
saling melengkapi. Satu bidang akan memberikan
semangat untuk lebih giat melaksanakan bidang yang
lainnya.

3. CITTA : Memperhatikan dengan sepenuh hati hal-hal
yang sedang dikerjakan tanpa membiarkan begitu saja.

Karena senang dengan pekerjaan yang sedang dilakukan
maka muncullah padanya semangat, ketahanan dan
ketekunan. Tekun dan rajin mengerjakan sesuatu akan
menimbulkan konsentrasi. Konsentrasi dalam bekerja
adalah kemampuan untuk menghilangkan bentuk-bentuk
pikiran yang mungkin dapat menyimpang diri kita dari
tujuan pekerjaan semula.

Perhatian dan kewaspadaan terhadap pekerjaan merupakan
sikap yang akan menjauhkan diri kita dari kelalaian,
kecerobohan dan melewatkan peluang mencapai
keberhasilan. Perhatian serta kewaspadaan juga menjaga
kita agar tidak mudah berpaling pada hal-hal lain yang
berada di luar lingkup pekerjaan. Dengan demikian,
akhirnya produktivitas akan dapat ditingkatkan.

4. VIMANGSA : Merenungkan dan menyelidiki
alasan-alasan dalam hal-hal yang sedang dikerjakan

Perenungan dan penyelidikan tentang pekerjaan yang
sedang dilakukan berguna untuk menambah potensi kerja
yang sudah ada dan sekaligus utnuk meningkatkan diri
di masa depan. Keberhasilan dan kekurangan yang
didapati data ini berusaha dievaluasi dari segala
sudut pandang. Evaluasi ini dapat menimbulkan ide baru
yang berhubungan dengan pekerjaan yang sedang
dikerjakan.

Pekerjaan kita sebenarnya dapat mengundang cukup
banyak pendapat, gagasan, ide baru yang pada awalnya
tidak tampak mata tetapi baru tampak jelas apabila
dilakukan perenungan atau penyelidikanyang seksama
terhadapnya. Makin luas wawasan renungan serta
penyelidikan kita, makin lebar ide dan gagasan yang
dapat dijangkau dalam bentuk pekerjaan apapun.
Pendirian anak perusahaan yang saling mendukung dengan
perusahaan induk adalah salah stu contoh kasus ini.

Dalam kitab Anguttara Nikaya II, 16 evaluasi dibagi
menjadi dua bagian yaitu :

1. Melihat diri sendiri :
- Pahanappadhana : Usaha rajin untuk menghilangkan
keadaan buruk yang telah timbul.
- Anurakkhappadhana : Usaha rajin untuk menjaga
keadaan baik yang telah timbul.

2. Melihat orang lain :
- Sangvarappadhana : Usaha rajin untuk mencegah
kemungkinan timbulnya keadaan buruk (pada diri kita).
- Bhavanappadhana : Usaha rajin untuk menimbulkan
keadaan baik dalam diri sendiri (dengan belajar dari
orang lain).

III. KESIMPULAN

Dari uraian di atas, maka dapatlah disimpulkan di sini
bahwa sesungguhnya keberhasilan dan kemajuan dalam
bisnis akan lebih mudah dicapai dengan melaksanakan
Ajaran Sang Buddha. Hal ini tampak jelas, karena
walaupun seseorang harus menjalankan berbagai jenis
cara tradisional, keberhasilan cara tersebut haruslah
didukung pula oleh banyaknya timbunan kebajikan yang
dimilikinya. Semakin banyak kebajikan yang dimiliki,
maka akan semakin cepat pula harapan keberhasilan yang
bisa diwujudkan.

Sedangkan untuk mendapatkan timbunan kebajikan yang
cukup, seseorang diharapkan dapat melaksanakan dengan
sungguh-sungguh kerelaan, kemoralan serta konsentrasi
yang menjadi pokok dasar perilaku dalam Ajaran Sang
Buddha.

Tentu saja, segala usaha untuk mewujudkan keberhasilan
dalam bisnis itu dengan menggabungkan berbagai cara
tradisional dengan Ajaran Sang Buddha tersebut di atas
akan lebih besar menfaatnya apabila seseorang juga
menerapkan pengetahuan manajemen modern yang dapat
diperolehnya dari berbagai buku yang beredar di
masyarakat luas maupun mengikuti seminar-seminar
manajemen.

Semoga Anda selalu bersemangat dalam mempelajari dn
melaksanakan Buddha Dhamma. Semoga Anda selalu
berbahagia dalam Dhamma, sukses dalam segala bidang
bisnis Anda.

Semoga semua makhluk selalu berbahagia.

RENUNGAN :

Tugas yang harus dilaksanakan untuk meningkatkan
pencapaian saat ini adalah :

1. Semangat dan kerja keras menghasilkan kekayaan.
2. Perawatan dan perhiasan menambah kecantikan.
3. Melaksanakan pekerjaan pada saat yang sesuai
menjaga kesehatan.
4. Persahabatab sejati menumbuhkan kebajikan.
5. Pengendalian indria menjaga kehidupan suci.
6. Menghindari sengketa menumbuhkan persahabatan.
7. Pengulangan menghasilkan pengetahuan.
8. Bersedia mendengar dan bertanya menumbuhkan
kebijaksanaan.
9. Mempelajari dan menguji memperdalam Ajaran
Kebenaran (Dhamma).
10. Kehidupan yang benar menghasilkan kelahiran di
alam-alam sorga.

(Anguttara Nikaya V,136)

*) Bhikkhu Uttamo adalah Kepala Vihara Samaggi Jaya,
Blitar dan Kepala Panti Semedi Balerejo, Wlingi,
Blitar.

Dikutip dari : Bahagia Dalam Dhamma
Penerbit : Keluarga Buddhis Brahmavihara (KBBV)
Makasar

To:milis_buddha@yahoogroups.com
From: "Tan" Add to Address
Book
Date:Tue, 24 Feb 2004 05:56:17 -0000
Subject:[MB] Menjawab Pertanyaan-Pertanyaan Sulit
dalam Buddhisme




Menjawab Pertanyaan-Pertanyaan Sulit dalam Buddhisme

Pengantar

Rekan-rekan yang terkasih dalam Dharma,

Terkadang kita ditanya hal-hal memusingkan mengenai Buddhisme oleh
rekan-rekan yang baru mengenal Agama Buddha atau oleh para penganut
keyakinan lain. Karangan ini ditulis untuk membantu memecahkan
masalah yang memusingkan tersebut. Pertanyaan-pertanyaan yang ada di
sini memang baru sebagian kecil dari pertanyaan-pertanyaan yang ada
dan belum disistemasikan. Saya berharap agar pada masa mendatang
karangan ini dapat diwujudkan menjadi sebuah buku yang sistematis
dalam menjawab tantangan zaman yang ada. Oleh karena itu besar sekali
harapan saya agar mendapatkan dukungan pemikiran dan saran dari rekan-
rekan sekalian.

Sesungguhnya buku untuk menjawab pertanyaan ini sudah pernah ditulis
oleh Yang Arya Nagasena, namun seiring dengan berlalunya sang waktu,
umat manusia semakin kritis dan maju pengetahuannya. Sehingga
pertanyaan yang timbulpun semakin banyak. Selain itu dengan datangnya
era globalisasi, maka persinggungan dengan agama lainpun semakin
sering terjadi. Menimbang hal-hal tersebut di atas, maka untuk
menjawab tantangan zaman tersebut, kita perlu menyusun suatu buku
baru yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan sulit paling mutakhir.

Tentu saja jawaban yang saya tawarkan di sini bukanlah yang
paling benar, karena dimohon bantuan untuk mengkoreksinya, apabila
ada jawaban yang salah atau tidak benar. Sebelumnya saya mengucapkan
banyak terima kasih atas perhatiannya.


PERTANYAAN PERTAMA:
Pada minggu ketiga setelah mencapai penerangan sempurna Sang Buddha
menciptakan jembatan permata yang diciptakan di udara olehNya.
Kemudian Beliau berjalan mondar-mandir di atasnya untuk meyakinkan
para dewa bahwa Beliau telah mencapai Penerangan Sempurna. Apabila
Beliau benar-benar telah mencapai Penerangan Sempurna, maka mengapa
perlu Beliau melakukan "pameran" kesaktian semacam itu?

Jawaban:
Sang Buddha digelari sebagai Guru Para Dewa dan Manusia, oleh karena
belas kasihNya di dalam mengajar para makhluk yang dilanda
penderitaan. Pada saat itu Sang Buddha digerakkan oleh belas kasihNya
ingin menarik perhatian para dewa yang masih hidup dalam samsara agar
bersedia mendengarkan Ajaran Dharma Beliau.

Buddhisme mengajarkan bahwa para dewa masih memiliki
kemampuan yang terbatas. Mereka tidaklah maha tahu, meskipun
lebih "sakti" dibandingkan manusia. Jadi mereka tidaklah mengetahui
segalanya, termasuk bahwa pada saat itu seorang Buddha telah hadir di
muka bumi dan mencapai Penerangan Sempurna. Kosmologi Buddhis
mengajarkan bahwa alam dewa tersebut bertingkat-tingkat. Para dewa
dari alam Catuhmaharajika misalnya masih terbagi kembali menjadi
tiga, yakni Bhumattha (para dewa yang hidup di daratan, Akasattha
(dewa yang hidup di langit), dan Rukkha (para dewa yang hidup di
pepohonan). Para dewa-dewa tersebut dapat digolongkan sebagai makhluk
halus tingkat rendah, dan kemampuan mereka juga terbatas. Agar mereka
bersedia berlindung pada Sang Tiratana, maka Sang Buddha perlu
memamerkan kesaktiannya.

Hal ini dapat dianalogikan dengan mengiklankan sebuah produk.
Meskipun produk tersebut bagus, namun apabila tidak diiklankan maka
tidak ada yang bersedia membelinya. Hanya saja "proses pengiklanan"
yang dilakukan Sang Buddha tersebut tidak dilakukan oleh karena
mementingkan diri sendiri, melainkan oleh karena belas kasihNya pada
semua makhluk.


PERTANYAAN KEDUA
Lalu jika demikian, mengapa pada mulanya Sang Buddha menolak untuk
mengajarkan Dharma pada umat manusia? Sampai-sampai dewa Brahma
Sahampati harus membujuk Sang Buddha dan sesudah itu baru Beliau
bersedia membabarkan AjaranNya pada umat manusia. Apabila Sang Buddha
benar-benar memiliki belas kasih dan kemahatahuan, maka tidakkah hal
ini kontradiktif dengan jawaban pertanyaan pertama di atas?

Jawaban:
Memang benar ini merupakan salah satu pertanyaan sulit dalam
Buddhisme dan tidak mudah dijawab. Sang Buddha pada mulanya memang
tidak hendak membabarkan AjaranNya, oleh karena umat manusia diliputi
hawa nafsu keinginan sehingga sulit diajarkan Dharma. Brahma
Sahampati kemudian memohon pada Sang Buddha agar Beliau bersedia
mempertimbangkan kembali keputusanNya, dengan mengatakan bahwa masih
ada para makhluk yang walaupun jumlahnya sedikit dapat tertolong oleh
Ajaran Dhamma. Sang Buddha kemudian menganalisa kembali keadaan
bathin para makhluk dan mendapati bahwa memang terdapat berbagai
tingkatan spiritual mereka. Beliau kemudian memutuskan untuk
membabarkan AjaranNya dan berkata, "Terbukalah pintu menuju
kekekalan, hendaknya mereka yang dapat mendengar menjawabnya dengan
keyakinan" (VINAYA I, 4-7).

Sepintas ini memang bertentangan dengan jawaban pertanyaan pertama di
atas, mengenai belas kasih Sang Buddha yang berupaya menarik
perhatian para dewa. Padahal Buddhisme sendiri mengakui bahwa potensi
spiritualitas manusia melebihi para dewa. Hanya di alam manusialah
kebahagiaan dan penderitaan berimbang kekuatannya. Di alam dewa
tertentu adalah susah untuk mempelajari dan mempraktekkan Dhamma,
karena mereka diliputi kesenangan. Analoginya, orang yang bahagia
susah diarahkan perhatiannya pada spiritualitas. Demikian pula di
alam-alam menderita, karena penderitaan lebih besar kekuatannya, maka
juga susah belajar dan mempraktekkan Dharma. Analoginya adalah orang
yang lapar perutnya, dimana mereka juga susah untuk dibimbing para
jalan spiritual. Oleh karena itu, agar seseorang dapat belajar dan
mempraktekkan Dharma dengan baik, perlu ada kebahagiaan dan
penderitaan dalam porsi yang cukup berimbang dan syarat ini pada
umumnya terdapat pada alam manusia. Lalu jika demikian mengapa Sang
Buddha tidak meng"iklan"kan diriNya pada umat manusia sebagaimana
yang dilakukannya terhadap para dewa?

Sebenarnya pertanyaan ini telah dijawab dengan sangat memuaskan di
dalam UPAYA KAUSALYA SUTRA. Sang Buddha sedang memberikan kesempatan
para dewa Brahma Sahampati untuk berbuat kebajikan. Jadi Sang
Buddhalah yang mengilhamkan pikiranNya itu pada Brahma Sahampati agar
ia tergerak untuk memohon pada Sang Buddha. Ia berpikir bahwa seolah-
olah Ia tidak hendak membabarkan Dhamma pada umat manusia dan
men"transmisikan" pikiranNya pada sang dewa. Di sini Sang Buddha
sesungguhnya, semenjak awal telah memiliki niat untuk membabarkan
DhammaNya pada umat manusia. Hal ini terbukti pada raungan singa yang
diujarkan Beliau pada saat kelahiranNya. Beliau melangkah tujuh
langkah dan mengikrarkan bahwa Beliau akan membimbing SEMUA makhluk
menuju pencerahan sempurna. Niat awal inilah yang menunjukkan bahwa
Beliau PASTI akan membabarkan DhammaNya pada setiap makhluk, termasuk
manusia. Beliau dengan belas kasihNya memberikan kesempatan pada sang
dewa untuk melakukan kebajikan, dan oleh karena itulah dewa Brahma
Sahampati masih dikenang hingga hari ini.

Sebagai tambahan pada Sutra-Sutra Mahayana sering pula disebutkan
bahwa para Bodhisattva yang menghadiri persamuan Dharma, mengajukan
pertanyaan atas transmisi ilham Sang Buddha, dimana pertanyaan ini
seluruhnya bermanfaat bagi perkembangan spiritual umat manusia.


PERTANYAAN KETIGA
Buddhisme mengajarkan bahwa tidak ada suatu penyebab awal (prima
causa). Bagaimana ini mungkin terjadi? Sebagai contoh kita ambil
pesawat Boeing 737, yang tidak dapat terjadi begitu saja tanpa sebab.
Alam semesta dan seisinya yang begitu rumit ini pasti memiliki
pencipta. Oleh karena itu pandangan Buddhis tersebut tidak masuk akal.

Jawaban:
Ilmu pengetahuan hingga hari ini, masih belum dapat
memastikan apakah alam semesta dan seisinya ini memiliki penyebab
awal atau tidak. Jadi kita dapat mengatakan bahwa keduanya masih
merupakan hal spekulatif belaka.

Namun meskipun keduanya sama-sama spekulatif, kita akan
menganalisa dengan akal sehat mana di antara keduanya yang masuk akal.

Pertama-tama kita ambil asumsi bahwa segala sesuatu harus
memiliki penyebab, seperti misalnya Boeing 737 pada pertanyaan di
atas. Memang sekilas ini nampak masuk akal. Tetapi kita dapat
menanyakan apakah yang menjadi penyebab bagi penyebab awal (prima
causa) tersebut. Orang mungkin akan menjawab, bahwa penyebab awal
tersebut (atau kadang dikatakan sebagai "maha penyebab") tidak
memiliki awal mula. Jika memang demikian, bukankah ini kontradiktif
dengan asumsi pertama kita yang menyatakan bahwa segala sesuatu harus
memiliki penyebab? Inilah permasalahan dan pertanyaan pertama
sehubungan dengan konsep penyebab awal (prima causa). Jadi dengan
demikian asumsi pertama tadi (yakni bahwa segala sesuatu harus
memiliki penyeab) terpatahkan sudah.

Berikutnya orang menganut konsep prima causa dengan alasan
kerumitan alam raya ini. Marilah kita menganalisanya dengan teliti.
Alam semesta ini memang begitu rumitnya dan sepintas memang
mengharuskan adanya sang penyebab awal (prima causa). Namun kita
menyadari bahwa sesuatu tidaklah dapat menciptakan sesuatu yang lebih
rumit dari dirinya. Sebagai contoh, serumit apapun Boeing 737, tidak
dapat melebihi kerumitan manusia sebagai makhluk hidup. Manusia
tidaklah dapat menciptakan sesuatu benda atau sesuatu makhluk yang
lebih rumit atau kompleks dibandingkan dirinya. Begitu pula kita
asumsikan bahwa pencipta atau prima causa dari alam semesta ini
pastilah lebih rumit dibandingkan alam semesta itu sendiri. Kita
telah pula mengasumsikan bahwa sesuatu yang kompleks pastilah
memiliki penyebab. Sehingga pada akhirnya kita dapat pula berasumsi
bahwa prima causa yang lebih rumit dari alam semesta ciptaannya
tersebut, pastilah juga ada penciptanya. Apabila alam semesta yang
kalah rumit tersebut harus ada penciptanya, maka sang prima causa
yang lebih rumit tersebut tentunya juga lebih harus ada penyebabnya.
Sehingga dengan demikian konsep prima causa ini hanya akan
menghasilkan jurang intuisi tanpa akhir. Pada akhirnya suatu penyebab
awal (prima causa) tidak lagi menjadi suatu keharusan.

Pandangan Buddhisme yang mengajarkan ketidak-beradaan prima
causa tersebut terbebas dari segenap kelemahan dan pertanyaan yang
timbul terhadap konsep prima causa.


PERTANYAAN KELIMA
Dewasa ini penyakit demam berdarah melanda berbagai wilayah di
persada nusantara ini dan telah menelan banyak korban. Buddhisme
mengajarkan untuk tidak membunuh (panatipatta). Lalu apakah dengan
demikian kita harus membiarkan nyamuk demam berdarah itu merajalela?

Jawaban:
Ya, memang ini juga pertanyaan sulit di dalam Buddhisme dan akan
menimbulkan kebingungan bagi mereka yang baru belajar Dhamma.
Sepintas memang terkesan bahwa ajaran Buddhis tidak praktis, dan
sayangnya masih jarang yang dapat menjawabnya secara memuaskan.
Penulis sendiri pernah bertanya pada beberapa orang yang pakar
Buddhisme, tetapi sayangnya jawabannya terkesan rumit dan berputar-
putar, kadang malahan terlalu filosofis dan utopis (mengambang di
awang-awang). Pertanyaan ini juga sering dijadikan alat untuk
menyerang Buddhisme

Oleh karena itu penulis berusaha mensistemasikan jawaban
penulis sendiri. Sebagai orang yang sudah lama belajar Dhamma, kita
kadang malah "melekat" pada ajaran Dhamma dan teori yang "tinggi-
tinggi" (ini hanya istilah untuk memudahkan saja karena sesungguhnya
tidak ada tinggi-rendan di dalam Dhamma). Kita kadang lupa pada Empat
Kebenaran Mulia sebagai landasan bagi Buddhisme. Oleh karena itu kita
akan berpaling kembali pada hal paling mendasar bagi Buddhisme ini.
Kebenaran Mulia pertama menyatakan bahwa kehidupan ini bercirikan
dukkha. Dukkha sering diterjemahkan sebagai penderitaan, namun
sesungguhnya terjemahan yang tepat adalah bahwa hidup ini diliputi
segala sesuatu yang tidak memuaskan. Hal ini berlaku bagi kita semua
yang terjerat dalam samsara dan kita tidak dapat melepaskan diri dari
kondisi yang tidak mengenakkan ini. Antara lain kita terpaksa
menghadapi berbagai pilihan sulit yang tidak memiliki solusi
memuaskan, antara lain adalah masalah nyamuk tersebut. Apabila kita
bunuh, maka kita akan menerima akibat buruk dari perbuatan kita
tersebut, tetapi apabila tidak kita bunuh, maka akan berbahaya bagi
diri kita sendiri dan orang lain. Oleh karena ini kita harus membuat
pilihan dan menerima konsekuensinya. Ini tak dapat kita hindari
karena memang hidup ini bercirikan dukkha. Dengan menimbang
manfaatnya bagi diri kita dan orang lain, atau setidaknya kita
berusaha mengikis ego kita dengan hanya memikirkan orang lain saja,
maka kita dapat membasmi nyamuk-nyamuk tersebut. Buddhisme tidak
mengajarkan apatisme, dan menganjurkan kita untuk melakukan yang baik
bagi masyarakat. Tentu saja karena kita masih manusia biasa yang
diliputi lobha, dosa, dan moha, maka akibat buruk akan kita tuai
sebagai konsekuensi dari membunuh nyamuk tersebut. Tetapi kita jangan
putus asa, karena Buddhisme juga mengajarkan kita untuk senantiasa
berbuat kebajikan dan tidak menjadi pengecut yang takut akan
konsekuensi perbuatan kita sendiri. Dengan berbuat kebajikan kita
akan dapat menetralisir (bukan menghilangkan!) akibat perbuatan buruk
kita tersebut.

pula usulan untuk menggunakan obat nyamuk atau obat
serangga yang hanya membuat nyamuk pingsan. Namun ini bukan usulan
yang jitu, karena meskipun nyamuk tidak menggigit kita, ia masih
dapat mecelakai orang lain.

Demikianlah untuk sementara baru ada lima pertanyaan di atas. Apabila
ada lagi maka akan ditambahkan. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat
bagi semua makhluk (Ivan Taniputera dipl. Ing, 20 Februari 2004)

Tidak ada komentar: